TERJEMAH RISALAH BAJURI FI ILMI TAUHID



RISALAH AL BAJURI FI ILMI TAUHID

(MATAN TIJAN DARARI)


IMAM IBRAHIM AL-BAJURI




(Terjemah ini ditulis untuk sekedar memudahkan, bukan sebagai rujukan utama, oleh sebab itu utamakan mengaji langsung kepada guru)





بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang

 

 

الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ (وَ بَعْدُ)

Segala puji hanya milik Allah SWT Tuhan semesta alam, sanjungan Shalawat (curahan rahmat) & Salam (kesejahteraan) semoga senantiasa terlimpahkan kepada Rasūlullāh SAW, dan setelah itu (membaca basmalah, amdalah, shalawat dan salām).

 

فَيَقُوْلُ فَقِيْرٌ رَحْمَةَ رَبِّهِ الْخَبِيْرِ الْبَصِيْرِ إِبْرَاهِيْمُ الْبَاجُوْرِيُّ ذُو التَّقْصِيْرِ.

 

Maka berkatalah seseorang yang sangat memdambakan Rahmat Tuhannya Yang Maha Waspada serta Maha Melihat, yaitu Syaikh Ibrāhīm al-Bājūrī yang memiliki sifat lalai.

 

طَلَبَ مِنِّيْ بَعْضُ الْإِخْوَانِ أَصْلَحَ اللهُ لِيْ وَ لَهُمُ الْحَالَ وَ الشَّأْنَ أَنْ أَكْتُبَ لَهُ رِسَالَةً تَشْتَمِلُ عَلَى صِفَاتِ الْمَوْلَى وَ أَضْدَادِهَا، وَمَا يَجُوْزُ فِيْ حَقِّهِ تَعَالَى، وَمَا يَجِبُ فِيْ حَقِّ الرُّسُلِ وَمَا يَسْتَحِيْلُ فِيْ حَقِّهِمْ وَمَا يَجُوْزُ.

 

Beberapa dari saudara-saudaraku – semoga Allah memberi kebaikan kondisi dan urusan padaku dan pada mereka – telah memohon kepadaku agar aku menuliskan untuk mereka sebuah risalah yang memuat sifat-sifat wajib (sesuatu yang tidak dapat diterima akal ketidak adaannya) dan sifat kebalikannya (sesuatu yang tidak dapat diterima akal adanya), serta hal-hal yang boleh dalam aqq Allah SWT ., juga sifat yang wajib, yang mustaīl (sesuatu yang tidak bisa diterima akal adanya) serta yang boleh dalam aqq para Rasūl.

 

فَأَجَبْتُ إِلَى ذلِكَ فَقُلْتُ وَبِاللهِ التَّوْفِيْقُ.

Maka, akupun menjawab permohonan mereka – hanya kepada Allah aku memohon pertolongan – .

 

وَيَجِبُ عَلَى كُلِّ مُكَلَّفٍ أَنْ يَعْرِفَ مَا يَجِبُ فِيْ حَقِّهِ تَعَالَى وَ مَا يَسْتَحِيْلُ وَ مَا يَجُوْزُ.

Wajib secara syar'i atas setiap orang mukallaf (muslim yang baligh lagi berakal) mengetahui hal yang wājib dalam aqq Allah SWT ., yang mustaīl serta yang jā’iz (boleh).


 

CATATAN

  • Maksud "wajib" disini adalah wajib aqli, yaitu sesuatu yang pasti ada dan tidak mungkin untuk tidak ada, wajib jenis ini didefinisikan pula sebagai "sesuatu yang ketiadaannya tidak dapat tergambarkan oleh akal". Perkara yang wajib aqli bisa dinisbahkan kepada Allah SWT dan bisa pula pada makhluk. Contoh wajib aqli pada Allah SWT adalah Allah tersifati oleh sifat wujud (ada), sifat qidam (tiada awalan), sifat qudroh (kuasa), dan sifat kaunuhu qodiron (adanya Allah maha kuasa). Contoh wajib aqli pada makhluk adalah tersifatinya sebuah materi oleh salah satu dari dua hal yaitu bergerak dan diam. Perkara wajib aqli yang membutuhkan pemikiran mendalam disebut dengan "wajib aqli nazari" seperti wajibnya Allah tersifati oleh sifat wujud dan semisalnya, sedangkan mustahil aqli yang dapat diketahui dengan jelas tanpa butuh pemikiran disebut dengan "wajib aqli dharuri" seperti  jirim (materi) pasti mengambil tempat dari ruang hampa.

  • Maksud "mustahil" disini adalah mustahil aqli, yaitu sesuatu yang pasti tidak ada dan tidak mungkin untuk ada, mustahil jenis ini didefinisikan pula sebagai " sesuatu yang keberadaannya tidak dapat tergambarkan oleh akal. Perkara yang mustahil aqli bisa terjadi pada Allah dan bisa pula pada makhluk. Contoh mustahil Aqli pada Allah SWT adalah Allah tersifati oleh sifat tidak ada, tersifati sifat lemah, tersifati oleh keserupaan terhadap makhluk, tersifati oleh kekurangan dan semisalnya. contoh mustahil aqli pada makhluk adalah tidak tersifatinya sebuah materi oleh gerak dan diam atau tersifatinya suatu materi oleh bergerak dan diam secara bersamaan diwaktu yang sama pula. Perkara mustahil aqli yang membutuhkan pemikiran mendalam disebut dengan "mustahil aqli nazari" seperti kemustahilan Allah tersifati oleh sifat baru tercipta, sedangkan mustahil aqli yang dapat diketahui dengan jelas tanpa butuh pemikiran disebut dengan "mustahil aqli dharuri" seperti jumlah dua merupakan bagian setengah dari jumlah 4.

  • Perlu diingat bahwa yang umum dalam pembicaraan masyarakan sehari-hari tentang "mustahil" adalah  adalah "mustahil secara adat" (kebiasaan), mustahil jenis ini disebut dalam ilmu tauhid "mustahil adiy", contohnya seperti ucapan seseorang "mustahil kertas terkena api tidak terbakar", "mustahil laut itu dapat terbelah oleh manusia", "mustahil bulan dapat terbelah oleh manusia" dan semisalnya, ucapan-ucapan seperti ini memaksudkan arti "mustahil adiy" yaitu kemustahilan secara kebiasaan yang umumnya berpatokan pada hukum kausalitas atau sebab-akibat. perbedaan antara mustahil aqli dan mustahil adiy adalah mustahil aqli itu tidak pernah terjadi dan tidak akan terjadi sampai kapanpun dan tidak ada kemungkinan sedikitpun untuk terjadi, karena tidak dapat terbayangkan oleh akal sedangkan mustahil adiy adalah sesuatu yang jarang terjadi saja dan masih memungkinkan untuk terjadi karena masih dapat tergambarkan oleh akal. contohnya ucapan orang dizaman dahulu : "orang yang sedang berada di Jakarta mustahil dapat mengobrol dengan orang yang sedang berada di mekkah", pada kenyataannya dizaman sekarang ketika handphone dan jaringan internet sudah tersedia, mengobrol lintas negara secara real-time dapat terjadi dan sudah terjadi, karena memang semenjak dahulu mengobrol jarak jauh walaupun lintas negara secara real-time sebenarnya sudah dapat terkonsepkan, dapat dibayangkan, dan dapat diterima oleh akal, hanya sarananya saja yang belum ada pada saat itu. Sekarang mari kita perhatikan contoh mustahil aqli diatas yaitu "sebuah materi bergerak dan diam diwaktu yang bersamaan" agar lebih mudah coba bayangkan sebuah "pulpen bergerak dan diam diwaktu yang bersamaan". Setelah dibayangkan menjadi jelas bahwa hal tersebut tidak terfikirkan, tidak terbayangkan, dan tidak pula dapat diterima oleh akal, maka inilah yang disebut mustahil aqlli. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan dua poin lain yaitu : Pertama, mustahil adiy pada umumnya termasuk kedalam ja'iz aqli. Kedua, sesuatu yang mustahil secara akal (mustahil aqli) pasti ia juga ditetapkan sebagai mustahil secara kebiasaan (mustahil adiy), namun tidak sebaliknya.

  • Maksud "ja'iz" disini adalah jaiz aqliyaitu sesuatu yang bisa ada dan bisa pula tidak ada secara bergantian. Ja'iz jenis ini didefinisikan pula sebagai "sesuatu yang keberadaannya dan ketiadaannya dapat tergambarkan oleh akal secara bergantian". Perkara yang jaiz aqli bisa dinisbahkan kepada Allah SWT dan bisa pula pada makhluk. Contoh jaiz aqli pada Allah SWT adalah melakukan setiap hal yang mumkin seperti mengutus para rosul, memasukan ahli ma'siat ke neraka sedangkan orang yang taat kesurga, dan memasukan ahli ma'siat ke surga dan orang yang ta'at ke neraka. Contoh ja'iz aqli pada makhluk adalah keberadaannya manusia, terbelahnya laut, terbakarnya kulit manusia ketika terkena api,  tidak terbakarnya manusia walaupun terbakar api, langit meneteskan air hujan, langit menurunkan bongkahan es, dan semisalnya.

  • Tiga hal diatas (wajib, mustahil, dan jaiz) disebut dengan hukum aqli atau hukum akal. selain hukum akal terdapat hukum lain yaitu hukum adat dan hukum syara'. penjelasan tentang hal ini dikaji lebih rinci pada kitab-kitab tauhid yang lebih luas pembahasannya.

 



فَيَجِبُ فِيْ حَقِّهِ تَعَالَى الْوُجُوْدُ

Maka Wajib pada aqqnya Allah SWT ., sifat Wujūd (ada). Kebalikannya adalah sifat ‘Adam (tidak ada).

 

وَالدَّلِيْلُ الدَّلِيْلُ عَلَى ذلِكَ وُجُوْدُ هذِهِ الْمَخْلُوْقَاتِ.

Dalil bahwa Allah SWT ., itu ada adalah adanya makhluk (semua hal selain Allah).

 

وَيَجِبُ فِيْ حَقِّهِ تَعَالَى الْقِدَمُ. وَمَعْنَاهُ أَنَّهُ تَعَالَى لَا أَوَّلَ لَهُ تَعَالَى، وَضِدُّهُ الْحُدُوْثُ.

Dan Wajib pada aqqnya Allah SWT ., sifat al-Qidam (terdahulu). Artinya, sesungguhnya Allah SWT tiada permulaan bagi-Nya. Kebalikannya adalah sifat al-udūts (baru).

 

وَالدَّلِيْلُ عَلَى ذلِكَ أَنَّهُ لَوْ كَانَ حَادِثًا لَاحْتَاجَ إِلَى مُحْدِثٍ، وَهُوَ مُحَالٌ.

Dalil bahwasanya Allah SWT bersifatan terdahulu adalah: seandainya Allah adalah sesuatu yang baru. Maka Allah SWT butuh pada yang menciptakan. Dan hal itu tidak bisa diterima akal (mustaīl).

 

وَ يَجِبُ فِيْ حَقِّهِ تَعَالَى الْبَقَاءُ وَ مَعْنَاهُ أَنَّهُ تَعَالَى لَا آخِرَ لَهُ،

Dan Wajib pada aqqnya Allah SWT ., sifat al-Baqā’ (kekal). Artinya, sesungguhnya Allah SWT tiada akhir baginya.

 

وَالدَّلِيْلُ عَلَى ذلِكَ أَنَّهُ لَوْ كَانَ فَانِيًا لَكَانَ حَادِثًا وَ هُوَ مُحَالٌ.

Dan dalil atas sifat kekalnya Allah SWT adalah: seandainya Allah adalah sesuatu yang rusak (fanā’), maka tentunya Allah adalah sesuatu yang baru. Dan hal itu tidak dapat diterima akal (mustaīl).

 

وَ يَجِبُ فِيْ حَقِّهِ تَعَالَى الْمُخَالَفَةُ لِلْحَوَادِثِ، وَ مَعْنَاهُ أَنَّهُ تَعَالَى لَيْسَ مُمَاثِلًا لِلْحَوَادِثِ، فَلَيْسَ لَهُ يَدٌ وَ لَا عَيْنٌ وَ لَا أُذُنٌ وَ لَا غَيْرُ ذلِكَ مِنْ صِفَاتِ الْحَوَادِثِ.

Dan Wajib pada aqqnya Allah SWT ., sifat Mukhālafatu lil-awādits (berbeda dengan makhluk). Artinya, sesungguhnya Allah SWT tidak menyerupai kepada segala hal yang bersifat baru (makhluk). Maka, Allah tidak memiliki tangan, tidak memiliki mata, tidak memiliki telinga dan tidak pula memiliki yang lainnya dari sifat-sifat makhluk.

 

 

وَ ضِدُّهَا الْمُمَاثَلَةُ.

Kebalikannya adala sifat al-Mumātsalah (menyerupai).

 

وَ الدَّلِيْلُ عَلَى ذلِكَ أَنَّهُ لَوْ كَانَ مُمَاثِلًا لِلْحَوَادِثِ لَكَانَ حَادِثًا وَ هُوَ مُحَالٌ.

Dalil bahwasanya Allah SWT tidak menyerupai makhluk adalah: seandainya Allah memiliki keserupaan dengan makhluk, maka tentunya Allah adalah sesuatu yang baru tercipta. Dan hal itu tidak bisa diterima akal (mustaīl).

 

وَ يَجِبُ فِيْ حَقِّهِ تَعَالَى الْقِيَامُ بِالنَّفْسِ، وَ مَعْنَاهُ أَنَّهُ تَعَالَى لَا يَفْتَقِرُ إِلَى مَحَلٍّ وَ لَا إِلَى مُخَصِّصٍ.

Wajib pada aqqnya Allah SWT ., sifat al-Qiyāmu bin-Nafsi (berdiri sendiri/tidak butuh tempat dan pencipta). Artinya, sesungguhnya Allah SWT tidak membutuhkan tempat dan tidak butuh pada yang mewujudkan.

 

وَضِدُّهُ الْاِحْتِيَاجُ إِلَى الْمَحَلِّ وَ الْمَخَصِّصِ.

Kebalikannya adalah sifat al-Itiyāju ilal-Maalli wal-Mukhashshish (membutuhkan pada tempat dan pencipta).


وَالدَّلِيْلُ عَلَى ذلِكَ أَنَّهُ لَوِ احْتَاجُ إِلَى مَحَلِّ لَكَانَ صِفَةً وَكَوْنُهُ صِفَةً مُحَالٌ.

Dalil bahwasanya Allah SWT bersifat berdiri sendiri adalah: seandainya Allah SWT membutuhkan pada tempat, maka Allah adalah sebuah sifat sedangkan keadaan Allah sebuah sifat adalah hal yang tidak bisa diterima akal (mustaīl).

 

وَ لَوِ احْتَاجَ إِلَى مُخَصِّصٍ لَكَانَ حَادِثًا وَ كَوْنُهُ حَادِثًا مُحَالٌ.

Dan seandainya Allah membutuhkan pada yang menciptakan, maka tentunya Allah adalah sesuatu yang baru. Dan keadaan Allah merupakan sesuatu yang baru adalah hal yang tidak bisa diterima akal (mustaīl).

 

وَيَجِبُ فِيْ حَقِّهِ تَعَالَى الْوَحْدَانِيَّةُ فِي الذَّاتِ وَ فِي الصِّفَاتِ وَ فِي الْأَفْعَالِ،

Wajib pada aqqnya Allah SWT ., sifat al-Wadāniyyah (tunggal). Baik dalam Dzat-Nya, Sifat-Nya dan Perbuatan-Nya.

 

وَمَعْنَى الْوَحْدَانِيَّةِ فِي الذَّاتِ أَنَّهَا لَيْسَتْ مُرَكَّبَةً مِنْ أَجْزَاءٍ مُتَعَدِّدَةٍ.

Pengertian tungal dalam Dzat-Nya adalah, sesungguhnya dzatnya Allah tidak tersusun dari berbagai bagian yang banyak.

 

وَمَعْنَى الْوَحْدَانِيَّةِ فِي الصِّفَاتِ أَنَّهُ لَيْسَ صِفَتَانِ فَأَكْثَرَ مِنْ جِنْسٍ وَاحِدٍ كَقُدْرَتَيْنِ وَ هكَذَا وَ لَيْسَ لِغَيْرِهِ صِفَةٌ تُشَابِهُ صِفَتَهُ تَعَالَى.

Sedangkan pengertian tunggal dalam sifat-Nya adalah, sesungguhnya tidak ada bagi Allah dua sifat atau lebih dari satu jenis sifat, seperti adanya dua sifat Qudrah dan seterusnya. Dan tidak ada pada selain Allah satu sifat yang menyerupai terhadap sifatnya Allah SWT .

 

وَمَعْنَى الْوَحْدَانِيَّةِ فِي الْأَفْعَالِ أَنَّهُ لَيْسَ لِغَيْرِهِ فِعْلٌ مِنَ الْأَفْعَالِ.

Arti tunggal dalam perbuatan-Nya adalah, sesungguhnya tidak ada bagi selain Allah suatu perbuatan dari perbuatan-perbuatannya (semua pekerjaan makhluk adalah atas kekuatan yang diberikan oleh Allah SWT .).

 

وَضِدُّهَا التَّعَدُّدِ.

Kebalikannya adalah sifat at-Ta‘addud (berbilang).

 

وَالدَّلِيْلُ عَلَى ذلِكَ أَنَّهُ لَوْ كَانَ مُتَعَدِّدًا لَمْ يُوْجَدْ شَيْءٌ مِنْ هذِهِ الْمَخْلُوْقَاتِ.

Dalil bagi sifat Tunggalnya Allah SWT adalah: seandainya Allah adalah sesuatu yang berbilang, maka tentunya tidak akan dapat dijumpai sesuatu pun dari Makhlūq (sesuatu selain Allah) ini.

 

وَ يَجِبُ فِيْ حَقِّهِ تَعَالَى الْقُدْرَةُ وَ هِيَ صِفَةٌ قَدِيْمَةٌ قَائِمَةٌ بِذَاتِهِ تَعَالَى يُوْجَدُ بِهَا وَ يُعَدِّمُ.

Wajib pada aqqnya Allah SWT ., sifat al-Qudrah (Maha Berkuasa). Sifat Qudrah adalah suatu sifat terdahulu yang menetap pada Dzatnya Allah SWT yang dengan sifat tersebut Allah mewujudkan dan meniadakan sesuatu.

 

وَضِدُّهَا الْعَجْزُ.

Kebalikannya adalah sifat al-‘Ajz (lemah).

 

وَالدَّلِيْلُ عَلَى ذلِكَ أَنَّهُ لَوْ كَانَ عَاجِزًا لَمْ يُوْجَدْ شَيْءٌ مِنْ هذِهِ الْمَخْلُوْقَاتِ.

Dalil bahwa Allah SWT bersifat Maha Berkuasa adalah: seandainya Allah lemah, maka tentunya tidak akan dapat dijumpai sesuatu pun dari makhluq-Nya.

 

وَ يَجِبُ فِيْ حَقِّهِ تَعَالَى الْإِرَادَةُ وَ هِيَ صِفَةٌ قَدِيْمَةٌ قَائِمَةٌ بِذَاتهِ تَعَالَى يُخَصِّصُ بِهَا الْمُمْكِنَ بِالْوُجُوْدِ أَوْ بِالْعَدَمِ أَوْ بِالْغِنَى أَوْ بِالْفَقْرِ أَوْ بِالْعِلْمِ أَوْ بِالْجَهْلِ إِلَى غَيْرِ ذلِكَ.

Wajib pada aqqnya Allah SWT ., sifat al-Irādah (Maha Berkehendak). Sifat Irādah adalah suatu sifat terdahulu yang menetap pada Dzatnya Allah SWT yang dengan sifat tersebut Allah menentukan hal yang mungkin menjadi wujud atau tidak wujud atau kaya atau miskin atau mengerti atau bodoh dan seterusnya.

 

وَ ضِدُّهَا الْكَرَاهَةُ.

Kebalikannya adalah sifat al-Karāhah (terpaksa).

 

وَ الدَّلِيْلُ عَلَى ذلِكَ أَنَّهُ لَوْ كَانَ كَارِهًا لَكَانَ عَاجِزًا وَ كَوْنُهُ عَاجِزًا مُحَالٌ.

Dalil bahwa Allah SWT memiliki sifat Maha Berkehendak adalah: Seandainya Allah terpaksa, maka tentunya Allah bersifat lemah. Dan adanya Allah bersifat lemah adalah hal yang tidak bisa diterima akal (mustaīl).

 

 

 

وَ يَجِبُ فِيْ حَقِّهِ تَعَالَى الْعِلْمُ وَ هِيَ صِفَةٌ قَدِيْمَةٌ قَائِمَةٌ بِذَاتِهِ تَعَالَى يَعْلَمُ بِهَا الْأَشْيَاءَ.

Wajib pada aqqnya Allah SWT ., sifat al-‘Ilmu (Maha Mengetahui). Sifat al-‘ilmu adalah sifat terdahulu yang menetap pada Dzatnya Allah SWT yang dengan sifat tersebut Allah mengetahui semua hal.

 

وَ ضِدُّهَا الْجَهْلُ.

Kebalikannya adalah sifat al-Jahl (bodoh).

 

وَ الدَّلِيْلُ عَلَى ذلِكَ أَنَّهُ لَوْ كَانَ جَاهِلًا لَمْ يَكُنْ مُرِيْدًا وَ هُوَ مُحَالٌ.

 

Dalil bahwa Allah SWT memiliki sifat Maha Mengetahui adalah: seandainya Allah memiliki sifat bodoh, maka tentunya Allah tidak memiliki sifat Maha Berkehendak. Dan hal itu adalah hal yang tidak bisa diterima akal (mustaīl).

 

وَ يَجِبُ فِيْ حَقِّهِ تَعَالَى الْحَيَاةُ وَ هِيَ صِفَةٌ قَدِيْمَةٌ قَائِمَةٌ بِذَاتِهِ تَعَالَى تُصَحِّحُ لَهُ أَنْ يَتَّصِفَ بِالْعِلْمِ وَ غَيْرِهِ مِنَ الصِّفَاتِ.

Wajib pada aqqnya Allah SWT ., sifat al-ayāh (Maha Hidup). Sifat al-ayāh adalah sifat terdahulu yang menetap pada Dzatnya Allah SWT yang dengan sifat tersebut dapat membenarkan bahwa Allah memiliki sifat ‘Ilmu dan sifat-sifat lainnya.

 

وُ ضِدُّهَا الْمَوْتُ.

Kebalikannya adalah sifat al-Maut (Mati).

 

وَ الدَّلِيْلُ عَلَى ذلِكَ أَنَّهُ لَوْ كَانَ مَيِّتًا لَمْ يَكُنْ قَادِرًا وَ لَا مُرِيْدًا وَ لَا عَالِمًا وَ هُوَ مُحَالٌ.

 

Dalil bahwa Allah SWT memiliki sifat Maha Hidup adalah: Seandainya Allah mati, maka tentunya Allah tidak memiliki sifat Maha Berkuasa dan Maha Berkehendak, dan hal itu adalah hal yang tidak bisa diterima akal (mustaīl).

 


وَ يَجِبُ فِيْ حَقِّهِ تَعَالَى السَّمْعُ وَ الْبَصَرُ وَ هُمَا صِفَتَانِ قَدِيْمَتَانِ قَائِمَتَانِ بِذَاتِهِ تَعَالَى يَنْكَشِفُ بِهِمَا الْمَوْجُوْدُ. وَ ضِدُّهُمَا الصَّمَمُ وَ الْعَمَى.

Wajib pada aqqnya Allah SWT ., sifat as-Sama‘ (Maha Mendengar) dan al-Bashar (Maha Melihat). Keduanya adalah sifat terdahulu yang menetap pada Dzatnya Allah SWT yang dengan keduanya menjadi terbukalah hal yang wujud. Kebalikannya adalah sifat as-Shamam (Tuli) dan al-‘Amā (Buta).

 

 

وَ الدَّلِيْلُ عَلَى ذلِكَ قَوْلُهُ تَعَالَى: (وَ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ) – (الشورى: 11)

Dalil bahwa Allah SWT memiliki sifat Maha Mendengar dan Maha Melihat adalah firman Allah SWT : "Dialah Allah Dzat yang Maha Mendengar dan Maha Melihat."(asy-Syūrā, ayat 11).

 

وَ يَجِبُ فِيْ حَقِّهِ تَعَالَى الْكَلَامُ وَ هُوَ صِفَةٌ قَدِيْمَةٌ قَائِمَةٌ بِذَاتِهِ تَعَالَى لَيْسَتْ بِحَرْفٍ وَ لَا صَوْتٍ. وَ ضِدُّهَا الْبُكْمُ وَ هُوَ الْخَرَسُ.

Wajib pada aqqnya Allah SWT ., sifat al-Kalām (Maha Berfirman). Sifat Kalām adalah sifat terdahulu yang menetap pada Dzatnya Allah SWT dan tidak berwujud huruf dan tidak berwujud suara. Kebalikannya adalah sifat al-Bukmu yaitu al-Kharas (Bisu).

 

وَ الدَّلِيْلُ عَلَى ذلِكَ قَوْلُهُ تَعَالَى: (وَ كَلَّمَ اللهُ مُوْسَى تَكْلِيْمًا) – (النساء: 164).

Dalil bahwa Allah SWT memiliki sifat Maha Mengetahui adalah firman Allah SWT .: "Dan Allah telah berfirman kepada Mūsā dengan Firman yang Nyata" (an-Nisā’, ayat 164).

 

وَ يَجِبُ فِيْ حَقِّهِ تَعَالَى كَوْنُهُ قَادِرًا. وَ ضِدُّهُ كَوْنُهُ عَاجِزًا.

Wajib pada aqqnya Allah SWT ., sifat Kaunuhu Qādiran (adanya Allah Dzat yang Maha Kuasa). Kebalikannya adalah sifat Kaunuhu ‘Ājizan (adanya Allah Dzat yang lemah).

 

وَ الدَّلِيْلُ عَلَى ذلِكَ دَلِيْلُ الْقُدْرَةِ.

Dalil bahwa Allah SWT memiliki sifat adanya Allah Dzat yang Maha Kuasa adalah sebagaimana dalilnya sifat al-Qudrah (Maha Berkuasa).

 

وَ يَجِبُ فِيْ حَقِّهِ تَعَالَى كَوْنُهُ مُرِيْدًا. وَ ضِدُّهُ كَوْنُهُ كَارِهًا.

Wajib pada aqqnya Allah SWT ., sifat Kaunuhu Murīdan (adanya Allah Dzat yang Maha Berkehendak).

 

وَ الدَّلِيْلُ عَلَى ذلِكَ دَلِيْلُ الْإِرَادَةِ.

Kebalikannya adalah sifat Kaunuhu Kārihan (adanya Allah Dzat yang terpaksa).

Dalil bahwa Allah SWT memiliki sifat adanya Allah Dzat yang Maha Berkehendak adalah dalil sifat al-Irādah (Maha Berkehendak).

 

وَ يَجِبُ فِيْ حَقِّهِ تَعَالَى كَوْنُهُ عَالِمًا. وَ ضِدُّهُ كَوْنُهُ جَاهِلًا.

Wajib pada aqqnya Allah SWT ., sifat Kaunuhu ‘Āliman (adanya Allah Dzat yang Maha Mengetahui). Kebalikannya adalah sifat Kaunuhu Jāhilan (adanya Allah Dzat yang Bodoh).


وَ الدَّلِيْلُ عَلَى ذلِكَ دَلِيْلُ الْعِلْمِ.

Dalil bahwa Allah SWT memiliki sifat adanya Allah Dzat yang Maha Mengetahui adalah dalil sifat al-‘Ilmu (Maha Mengetahui).

 

وَ يَجِبُ فِيْ حَقِّهِ تَعَالَى كَوْنُهُ حَيًّا. وَ ضِدُّهُ كَوْنُهُ مَيْتًا.

Wajib pada aqqnya Allah SWT ., sifat Kaunuhu ayyan (adanya Allah Dzat yang Maha Hidup). Kebalikannya adalah sifat Kaunuhu Mayyitan (adanya Allah Dzat yang Mati).


وَ الدَّلِيْلُ عَلَى ذلِكَ دَلِيْلُ الْحَيَاةِ.

Dalil bahwa Allah SWT memiliki sifat yang Maha Hidup adalah dalil sifat al-ayyāh (Maha Hidup).

 

وَ يَجِبُ فِيْ حَقِّهِ تَعَالَى كَوْنُهُ سَمِيْعًا بَصِيْرًا. وَ ضِدُّهُ كَوْنُهُ أَصَمَّ وَ كَوُنُهُ أَعْمَى.

Wajib pada aqqnya Allah SWT ., sifat Kaunuhu Samī‘an (adanya Allah Dzat yang Maha Mendengar) dan Kaunuhu Bashīran (adanya Allah Dzat yang Maha Melihat). Kebalikannya adalah sifat Kaunuhu ‘Ashamma (adanya Allah Dzat yang Tuli) adan Kaunuhu A‘mā (adanya Allah Dzat yang Maha Buta).


وَ الدَّلِيْلُ عَلَى ذلِكَ دَلِيْلُ السَّمْعِ وَ دَلِيْلُ الْبَصَرِ.

Dalil bahwa Allah SWT memiliki sifat adanya Allah Dzat yang Maha Mendengar dan adanya Allah Dzat yang Maha Melihat adalah dalil sifat as-Sama‘ dan dalil sifat al-Bashar (Maha Mendengar dan Maha Melihat).

 

وَ يَجِبُ فِيْ حَقِّهِ تَعَالَى كَوْنُهُ مُتَكَلِّمًا. وَ ضِدُّهُ كَوْنُهُ أَبْكَمَ.

Wajib pada aqqnya Allah SWT ., sifat Kaunuhu Mutakalliman (adanya Allah Dzat yang Maha Berfirman). Kebalikannya adalah sifat Kaunuhu Abkama (adanya Allah Dzat yang Bisu).

وَ الدَّلِيْلُ عَلَى ذلِكَ دَلِيْلُ الْكَلَامِ.

Dalil bahwa Allah memiliki sifat adanya Allah SWT Dzat yang Maha Berfirman adalah dalil sifat al-Kalām (Maha Berfirman).

 

وَ الْجَائِزُ فِيْ حَقِّهِ تَعَالَى فِعْلُ كُلِّ مُمْكِنٍ أَوْ تَرْكُهُ.

Boleh bagi aqqnya Allah SWT bersifat mengerjakan setiap perkara yang mungkin atau meninggalkannya.

 

وَ الدَّلِيْلُ عَلَى ذلِكَ أَنَّهُ لَوْ وَجَبَ عَلَيْهِ سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى فِعْلُ شَيْءٍ أَوْ تَرْكُهُ لَصَارَ الْجَائِزُ وَاجِبًا أَوْ مُسْتَحِيْلًا وَ هُوَ مُحَالٌ.

Dalil bahwa Allah SWT bersifat mengerjakan setiap perkara yang mungkin atau meninggalkannya adalah seandainya Allah berkewajiban untuk mengerjakan sesuatu atau berkewajiban untuk meninggalkannya niscaya sifat Jā’iz tersebut menjadi Wājib atau Mustaīl. Dan hal itu adalah hal yang tidak dapat diterima oleh akal (mustaīl).

 

وَ يَجِبُ فِيْ حَقِّ الرُّسُلِ عَلَيْهِمُ الصَّلَاةُ وَ السَّلَامُ الصِّدْقُ. وَ ضِدُّهُ الْكِذْبُ.

Dan wajib bagi aqqnya para rasūl ‘Alaihim-ush-Shalātu was-Salām sifat ash-Shiddīq (Benar atau Jujur). Kebalikannya adalah sifat al-Kidzbu (Berbohong).

 

وَ الدَّلِيْلُ عَلَى ذلِكَ أَنَّهُمْ لَوْ كَذَبُوْا لَكَانَ خَبَرُ اللهِ سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى كَاذِبًا وَ هُوَ مُحَالٌ.

Dalil bahwa para rasul memiliki sifat ash-Shidqu adalah seandainya para rasul berbohong niscaya berita/khabar dari Allah SWT adalah suatu hal yang tidak benar/bohong. Dan hal itu tidak dapat diterima oleh akal (mustaīl).

 

وَ يَجِبُ فِيْ حَقِّهِمْ عَلَيْهِمُ الصَّلَاةُ وَ السَّلَامُ الْأَمَانَةُ. وَ ضِدُّهَا الْخِيَانَةُ.

Dan wajib bagi aqqnya para rasūl ‘Alaihim-ush-Shalātu was-Salām sifat al-Amānah (dapat dipercaya/terpercaya). Kebalikannya adalah sifat al-Khiayānat (Berkhianat/tidak dapat dipercaya).

 

وَ الدَّلِيْلُ عَلَى ذلِكَ أَنَّهُمْ لَوْ خَانُوْا بِفِعْلٍ مُحَرَّمٍ أَوْ مَكْرُوْهٍ لَكُنَّا مَأْمُوْرِيْنَ بِمِثْلِ ذلِكَ وَ لَا يَصِحُّ أَنْ نُؤْمَرَ بِمُحَرَّمٍ أَوْ مَكْرُوْهٍ.

Dalil bahwa para rasul memiliki sifat al-Amānah adalah seandainya pula rasul berkhianat dengan berbuat hal yang diharamkan atau yang dimakruhkan niscaya kita semua diperintahkan dengan hal yang serupa. Dan tidak benar jika kita diperintah untuk melakukan hal yang diharamkan atau yang dimakruhkan.

 

وَ يَجِبُ فِيْ حَقِّهِمْ عَلَيْهِمُ الصَّلَاةُ وَ السَّلَامُ تَبْلِيْغُ مَا أُمِرُوْا بِتَبْلِيْغِهِ لِلْخَلْقِ. وَ ضِدُّهُ كِتْمَانُ ذلِكَ.

Dan wajib bagi aqqnya para rasūl ‘Alaihim-ush-Shalātu was-Salām sifat Tablīghu Mā Umirū bi Tablīghihi (Menyampaikan hal yang diperintahkan untuk disampaikan). Kebalikannya adalah sifat Kitmān (Menyembunyikan hal yang diperintahkan untuk disampaikan)

 

الدَّلِيْلُ عَلَى ذلِكَ أَنَّهُمْ لَوْ كَتَمُوْا شَيْئًا مِمَّا أُمِرُوْا بِتَبْلِيْغِهِ لَكُنَّا مَأْمُوْرِيْنَ بِكِتْمَانِ الْعِلْمِ وَ لَا يَصِحُّ أَنْ نُؤْمَرَ بِهِ، لِأَنَّ كَاتِمَ الْعِلْمِ مَلْعُوْنٌ.

Dalil bahwa para rasul memiliki sifat Tablīghu Mā Umiru bi Tablīghihi adalah seandainya para rasul menyembunyikan suatu hal yang diperintahkan untuk disampaikan, niscaya kita diperintahkan untuk menyembunyikan ilmu. Dan tidak benar jika kita diperintah untuk itu. Karena sesungguhnya orang yang menyembunyikan ilmu itu dilaknat.

 

وَ يَجِبُ فِيْ حَقِّهِمُ الصَّلَاةُ وَ السَّلَامُ الْفَطَانَةُ. وَ ضِدُّهَا الْبَلَادَةُ.

Dan wajib bagi aqqnya para rasūl ‘Alaihim-ush-Shalātu was-Salām sifat al-Fathanah (Cerdas/Pandai).

 

وَ الدَّلِيْلُ عَلَى ذلِكَ أَنَّهُ لَوِ انْتَفَتْ عَنْهُمُ الْفَطَانَةُ لَمَّا قَدَرُوْا أَنْ يُقِيْمُوْا حُجَّةً عَلَى الْخَصْمِ وَ هُوَ مُحَالٌ َلِأَنَّ الْقُرْآنَ دَلَّ فِيْ مَوَاضِعَ كَثِيْرَةٍ عَلَى إِقَامَتِهِمُ الْحُجَّةَ عَلَى الْخَصْمِ.

Dalil bahwa para rasul memiliki kecerdasan niscaya mereka tidak akan mampu untuk berhujjah mengalahkan para lawan/musuhnya. Dan hal itu tidak dapat diterima akal. Karena al-Qur’ān telah menunjukkan dalam banyak tempat atas kemampuan para rasul berhujjah mengalahkan para lawan/musuhnya.

 

وَ الْجَائِزُ فِيْ حَقِّهِمْ عَلَيْهِمُ الصَّلَاةُ وَ السَّلَامُ الْأَعْرَاضُ الْبَشَرِيَّةُ الَّتِيْ لَا تُؤَدِّيْ إِلَى نَقْصٍ فِيْ مَرَاتِبِهِمُ الْعَلِيَّةِ كَالْمَرَضِ وَ نَحْوِهِ.

Boleh bagi aqqnya para rasūl ‘Alaihim-ush-Shalātu was-Salām sifat al-A‘rādh-ul-Basyariyyah (sifat Manusiawi) yang tidak sampai mendatangkan pada rendahnya martabat mereka yang luhur, seperti sakit dan semisalnya.

 

وَ الدَّلِيْلُ عَلَى ذلِكَ مُشَاهَدَتُهَا بِهِمْ عَلَيْهِمُ الصَّلَاةُ وَ السَّلَامُ.

Dalil bahwa para rasul memiliki sifat Manusiawi (al-A‘rādh-ul-Basyariyyah) adalah kenyataan yang dapat disaksikan pada diri para rasul ‘Alaihim-ush-Shalātu was-Salām.

 

 

 

خَاتِمَةٌ

 

PENUTUP

 

 

 

يَجِبُ عَلَى الشَّخْصِ أَنْ يَعْرِفَ نَسَبَهُ (ص) مِنْ جِهَةِ أَبِيْهِ وَ مِنْ جِهَةِ أُمِّهِ.

 

Wajib bagi semua orang untuk mengetahui silsilah Nabi s.a.w., baik dari pihak ayah Beliau maupun dari pihak ibu Beliau.

 

فَأَمَّا نَسَبُهُ (ص) مِنْ جِهَةِ أَبِيْهِ فَهُوَ سَيِّدُنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ بْنِ هَاشِمِ بْنِ عَبْدِ مَنَافٍ بْنِ قُصَيِّ بْنِ كِلَابِ بْنِ مُرَّةَ بْنِ كَعْبِ بْنِ لُؤَيِّ ابْنِ غَالِبِ بْنِ فِهْرِ بْنِ مَالِكِ بْنِ النَّضَرِ بْنِ كِنَانَةَ بْنِ خُزَيْمَةَ بْنِ مُدْرِكَةَ بْنِ إِلْيَاسِ بْنِ مُضَرِ بْنِ نِزَارِ بْنِ مَعَدِّ ابْنِ عَدْنَانَ وَ لَيْسَ فِيْمَا بَعْدَهُ إِلَى آدَمَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَ السَّلَامُ طَرِيْقٌ صَحِيْحٌ فِيْمَا يُنْقَلُ.

 

Adapun silsilah Nabi s.a.w., dari jalur ayah beliau adalah, baginda kita Muammad s.a.w., adalah putra ‘Abdullāh putranya ‘Abd-ul-Muththalib putranya Hāsyim putranya ‘Abdu Manāf putranya Qushay putranya Kilāb putranya Murrah putranya Ka‘b putranya Lu’ay putranya Ghālib putranya Fihr putranya Mālik putranya Nadhar putranya Kinānah purtranya Khuzaimah putranya Mudrikah putranya Ilyās putranya Mudhar putranya Nizār putranya Ma‘add putranya ‘Adnān. Dan – sampai Sayyid ‘Adnān ini – tidak ada silsilah yang Shaī hingga Nabi ‘Ādam a.s.

 

وَ أَمَّا نَسَبُهُ (ص) مِنْ جِهَةِ أُمِّهِ فَهُوَ سَيِّدُنَا مُحَمَّدُ بْنُ آمِنَةَ بِنْتِ وَهْبِ بْنِ عَبْدِ مَنَافٍ بْنِ زُهْرَةَ بْنِ كِلَابٍ، فَتَجْتَمِعُ مَعَهُ (ص) فِيْ جَدِّهِ كِلَابٌ.

 

Adapun silsilah Nabi s.a.w., dari jalur ibunya adalah, Baginda kita Muammad s.a.w., adalah putra Āminah putrinya Wahb putranya ‘Abdu Manāf putranya Zuhrah putranya Kilāb. Maka bertemulah Sayyidah Āminah beserta Nabi s.a.w., pada kakeknya, yakni Sayyid Kilāb.

 

وَ مِمَّا يَجِبُ أَيْضًا أَنْ يُعْلَمَ أَنَّ لَهُ حَوْضًا.

 

Dan dari sebagian perkara yang wajib untuk diketahui adalah sesungguhnya Nabi Muammad s.a.w., memiliki audh (danau di surga).

 

وَ أَنَّهُ (ص) يَشْفَعُ فِيْ فَصْلِ الْقَضَاءِ، وَ هذِهِ الشَّفَاعَةُ مُخْتَصَةٌ بِهِ (ص).

 

Dan sesungguhnya Nabi Muammad s.a.w. akan memberi syafaat ketika dalam Fashl-ul-Qadhā’ (pemutusan hukum untuk seluruh makhluk), dan Syafā‘ah ini dikhususkan kepada Nabi Muammad s.a.w.

 

وَ مِمَّا يَجِبُ أَيْضًا أَنْ تَعْرِفَ الرُّسُلَ الْمَذْكُوْرِيْنَ فِي الْقُرْآنِ تَفْصِيْلًا وَ أَمَّا غَيْرُهُمْ فَيَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يَعْرِفُهُمْ إِجْمَالًا.

 

Dan yang wajib untuk diketahui juga adalah nama para rasul yang disebutkan dalam al-Qur’ān secara rinci, adapun selain para rasul yang disebutkan dalam al-Qur’ān, maka wajib mengetahuinya secara global saja.

 

وَ قَدْ نَظَّمَ بَعْضُهُمُ الْأَنْبِيَاءَ الَّتِيْ تَجِبُ مَعْرِفَتُهُمْ تَفْصِيْلًا فَقَالَ:

 

Dan sebagian ulama telah menazhamkan nama para Nabi yang wajib diketahui secara rinci, mereka berkata:

 

خَتْمٌ عَلَى كُلِّ ذِي التَّكْلِيْفِ مَعْرِفَةٌ ... بِأَنْبِيَاءَ عَلَى التَّفْصِيْلِ قَدْ عُلِمُوْا  

Wajib bagi setiap Mukallaf mengetahui, Nama para Nabi secara terperinci yang telah diketahui.

 

فِيْ تِلْكَ حُجَّتُنَا مِنْهُمْ ثَمَانِيَةٌ ... مِنْ بَعْدِ عَشْرٍ وَ يَبْقَى سَبْعَةٌ وَ هُمُ

Didalam ayat “tilka hujjatuna” (maksudnya nama-nama nabi pada surat al-maidah dimulai dari ayat 83 sampai 87). Sebagian mereka ada delapan, Setelah sepuluh (8+10=18) dan sisanya ada tujuh

 

إِدْرِيْسُ هُوْدٌ شُعَيْبٌ صَالِحٌ وَ كَذَا ... ذُو الْكِفْلِ آدَمُ بِالْمُخْتَارِ قَدْ خُتِمُوْا

yakni. Nabi Idrīs, Hūd, Syu‘aib, Shāli, begitu juga, Nabi Zulkifli, Ādam dengan Nabi yang terpilihlah (Nabi Muammad) para Nabi diakhiri.

 

وَ مِمَّا يَجِبُ اعْتِقَادُهُ أَيْضًا أَنَّ قَرْنَهُ أَفْضَلُ الْقُرُوْنِ ثُمَّ الْقَرْنُ الَّذِيْ بَعْدَهُ ثُمَّ الْقَرْنُ الَّذِيْ بَعْدَهُ.

 

Dan sebagian yang wajib diyakini lagi adalah, bahwa sesungguhnya masa/era Rasūlullāh s.a.w., adalah masa yang terbaik, lantas masa sesudahnya (Shahabat Nabi) kemudian masa sesudahnya lagi (Tābi‘īn).

 

وَ يَنْبَغِيْ لِلشَّخْصِ أَنْ يَعْرَفَ أَوْلَادَهُ (ص) وَ هُمْ سَبْعَةٌ عَلَى الصَّحِيْحِ سَيِّدُنَا الْقَاسِمُ وَ سَيِّدَتُنَا زَيْنَبٌ وَ سَيِّدَتُنَا رُقَيَّةٌ وَ سَيِّدَتُنَا فَاطِمَةٌ وَ سَيِّدَتُنَا أُمُّ كُلْثُوْمٍ وَ سَيِّدُنَا عَبْدُ اللهِ وَ هُوَ الْمُلَقَّبُ بِالطَّيِّبِ وَ الطَّاهِرِ وَ سَيِّدُنَا إِبْرَاهِيْمُ وَ كُلُّهُمْ مِنْ سَيِّدَتِنَا خَدِيْجَةَ الْكُبْرَى إِلَّا إِبْرَاهِيْمَ فَمِنْ مَارِيَّةَ الْقِبْطِيَّةِ.

 

Dan seyogyanya bagi seseorang untuk mengetahui putra seseorang untuk mengetahui putra-putri Nabi Muammad s.a.w. Dan jumlah mereka berdasarkan riwayat yang Shaī adalah Sayyid Qāsim, Sayyidah Zainab, Sayyidah Ruqayyah, Sayyidah Fāthimah, Sayyidah Ummi Kultsūm, Sayyid ‘Abdullāh yang dijuluki ath-Thayyib dan ath-Thāhir, Sayyid Ibrāhīm. Dan mereka semuanya dari Ibu Sayyidah Khadījah al-Kubrā kecuali Sayyid Ibrāhīm dari Ibu Māriyyah al-Qibthiyyah.

 

وَهذَا آخِرُ مَا يَسَّرَهُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ وَ كَرَمِهِ.

 

Ini akhir dari sesuatu yang telah dimudahkan oleh Allah SWT ., dari sifat Kedermawanan-Nya dan Kemuliaan-Nya.

 

وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.

 

Segala puji hanya milik Allah SWT ., Tuhan semesta alam. Shalawat kepada Baginda kita Muammad SAW., dan juga kepada keluarganya dan para Shahabatnya.







Semoga amal ini diterima Allah SWT dan kami hadiahkan pahalanya untuk orang yang banyak menanggung kesulitan karena kami, yaitu khususnya orang tua, guru, adik, keluarga, istri, anak, dan sahabat.


waullohu a'lam




M. Rifqy Aziz Syafe'i