TES DNA SEBAGAI PEMBUKTIAN NASAB DALAM ISLAM




Belakangan ini, jagat media sosial ramai dengan isu soal nasab dan tes DNA para individu yang diduga sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW. Isu yang sebenarnya sudah lama namun kembali dihangatkan. Bagian terparahnya, beberapa kalangan terindikasi menganjurkan atau mendorong dengan berbagai narasi yang terbilang “offside” untuk membongkar makam nabi muhammad SAW guna mengecek kecocokan DNA para keturunan nabi Muhammad SAW.

Harum kontroversi dari isu tersebut sukses mengundang minat masyarakat. Reaksi netizen pun beragam, ada yang mencoba menanggapi dengan ilmiyah, ada yang mencoba memberikan pemahaman umat tentang hujjah masing-masing pihak yang berseteru, ada yang murni mempelajari secara seksama & menjadikannya sebagai kajian ilmiah apa adanya, ada yang merasa terpojokan, ada yang merasa tercerahkan dan mendapat hidayah, ada yang merasa bimbang karena status sang juru selamat & syafaat kini tersamarkan, ada yang kecewa, ada yang khawatir umat terpecah belah karena persoalan tidak penting, ada yang marah tanpa mampu membantah secara ilmiah, ada yang merasa hasrat kebenciannya terdukung dan tersalurkan, ada yang tiba-tiba menjadi dosen pembimbing, ada yang tiba-tiba menjadi profeseor ahli sejarah dan nasab, ada yang tidak peduli, ada yang melihatnya sebagai "celah konten", bahkan ada pula yang kegirangan bertepuk tangan dengan perselisihan umat islam. Ini semua, merupakan dampak ketika penelitian ilmiah bersifat privasi dan "sensitif" yang seharusnya berada diruang sidang munaqosyah dan didiskusikan oleh para ahli saja malah dibawa kemuka publik. Namun, perlu diakui bahwa dengan segala dampak positif dan negatifnya, penelitian tersebut cukup berhasil menarik minat masyarakat dalam ilmu pengetahuan agama islam dan membangkitkan tradisi diskusi ilmiah publik.

Terlepas dari permasalahan bersambung atau terputusnya nasab para keturunan Nabi yang ada di Indonesia, untuk “menakar” kecocokan DNA seseorang dengan orang lain, perlu diperhatikan terlebih dahulu sebenarnya DNA itu apa ? dari mana sample nya dapat diambil ? Seberapa akurat hasil tes DNA  jika sample yang diambil sudah sangat tua ? bagaimana metodologi penetapan nasab dalam islam ? Tentunya, jawaban-jawaban dari pertanyaan ini akan lebih tepat diuraikan oleh para Dokter, ilmuwan, dan ahli yang memang membidanginya dan biarkan mereka yang fokus membahas hal tersebut sampai tuntas.

Kemudian, apakah tes DNA bisa dimanfaatkan untuk dasar hukum dalam menetapkan nasab seseorang dalam islam ?

Permasalahan inilah yang in syaa' allah akan kami uraikan dengan merujuk pada pendapat para ulama fiqih.

Jawaban ringkas dari persoalan ini adalah sebagai berikut : masalah ini adalah masalah kontemporer khilafiyah (masalah baru yang penuh dengan perbedaan pendapat). Sekurang-kurangnya ada dua pendapat dalam masalah ini :


(PENDAPAT PERTAMA)

Kelompok ini menetapkan poin sebagai berikut :

  • Hasil tes DNA dalam fiqih  bisa untuk menafikan ilhaq al-Nasab, namun belum tentu bisa untuk menentukan ilhaq al-Nasab.

Jadi, bila DNA seseorang berbeda dengan orang lain yang maka dapat disimpulkan bahwa keduanya tidak ada hubungan nasab. Namun, bila hasil tes DNA ternyata sama dengan orang lain maka hasil tes DNA tersebut tidak dapat digunakan untuk menetapkan bahwa keduanya merupakan saudara satu ayah atau satu keturunan.  Pendapat ini merupakan ucapan Syeikh Shalih Nashir dalam Tharaiq al-Hukm fi al-Syar’iyah al-Islamiyah.

(PENDAPAT KEDUA)

Kelompok ini menetapkan beberapa poin sebagai berikut :

  • DNA harus digunakan dengan penuh kehati-hatian dan prosedur yang ketat, serta kaidah penetapan nasab secara syariat harus lebih dikedepankan

  • Hasil tes DNA tidak boleh di pergunakan untuk menafikan nasab yang telah dipastikan kebenarannya secara syariat (seperti ketetapan nasab dengan pernikahan, dan istilhaq/iqrar yaitu pengakuan seseorang terhadap orang lain sebagai anak atau orang tuanya dengan kriteria tertentu dalam fiqih)

  • Penggunaan DNA dalam menetapkan nasab diperbolehkan dan berlaku dalam kondisi-kondisi tertentu saja, misalnya, tidak teridentifikasinya nasab karena beberapa faktor, seperti ketiadaan bukti fisik ataupun bukti tertulis.

Jadi, berdasarkan pendapat ini tes DNA hanya dapat menjadi bukti penguat saja jika sudah ada bukti yang sesuai syariat dan tidak bisa menafikan nasab yang sudah sesuai dalam syariat, sedangkan jika dalam kondisi tertentu DNA dapat dijadikan bukti utama sebagai penetapan nasab seseorang. Pendapat ini merupakan hasil ketetapan Pertemuan Komite Fikih Islam ke-16 yang digelar di Makkah 2002 dan dihadiri oleh ulama dan pakar di bidang kedokteran

Untuk sampai kepada jawaban diatas, perlu diketahui bahwa permasalahan ini tidak ditemukan pernyataan jelas dengan redaksi “DNA” dalam kitab fiqih mu’tabarah madzhab manapun karena termasuk masalah yang baru muncul. Oleh sebab itu referensi yang dirujuk mayoritasnya berasal dari ulama kontemporer yang memang ahli dan sudah meneliti permasalahan ini.  Dalam literatur fiqih modern hasil tes DNA disebut dengan “bashmah al-wiratshiyah” (البصمة الوراثية) yang diterjemahkan menjadi "jejak genetik" atau "DNA". Selain itu, kata DNA dalam bahasa arab dan istilah ilmu nasab modern juga disebut dengan "al-hamd an-nawawiy" (الحمض النووي) yang diterjemahkan menjadi "Asam Deoksiribonukleat", dalam bahasa inggris "deoxyribonucleic acid" yang kemudian disingkat menjadi "DNA".



Referensi :

Tharaiq al-Hukm fi al-Syar’iyah al-Islamiyah, Shalih Ali Nashir, h. 350

وَقَدْ تَكُوْنُ نَتَائِجُ التَّحْلِيْلاَتِ مُفِيْدَةٌ إِلاَّ أَنَّ الْقَطْعَ بِدِقَّتِهَا وَصِحَّتِهَا مَوْضُوْعُ نَظَرٍ لِأَنَّ تَشَابُهَ فَصَائِلَ الدَّمِ بَيْنَ شَخْصٍ وَآخَرَ أَمْرٌ وَارِدٌ مَعَ إِمْكَانِيَّةِ خَطَأِ التَّحَالِيْلِ وَتَزْوِيْرِهَا، وَلِذَلِكَ فَإِنَّ اْلإِسْتِعَانَةَ بِهَذِهِ الْقَرِيْنَةِ فِي النَّفْيِ وَلَيْسَتْ فِي اْلإِثْبَاتِ


Terkadang hasil penelitian laboratorium bisa memberi manfaat, hanya saja detail dan kebenaran secara pasti masih menjadi bahan diskusi, dikarenakan kemiripan golongan darah antara seseorang dengan orang lain merupakan hal yang bisa saja terjadi, di samping masih terbukanya kemungkinan kesalahan hasil analisa laborat dan terjadinya pemalsuan. Oleh karena itu penggunaan sarana ini hanya untuk meniadakan hubungan garis keturunan saja, dan tidak untuk digunakan dalam menetapkan hubungan garis keturunan (nasab).  

Berdasarkan uraian diatas maka dapat difahami secara langsung bahwa hasil tes laboratorium sepert hasil tes DNA bisa digunakan untuk meniadakan hubungan garis keturunan saja dan tidak bisa untuk menetapkan keturunan. Misalnya, bila ada seseorang ayah menguji tes DNA anaknya dan ternyata hasilnya berbeda, maka sang ayah dapat menafikan nasab anaknya tersebut dari dirinya (mengganggap bahwa anak itu bukan anaknya), sedangkan bila DNA keduanya sama maka hasil tes tersebut tidak mewajibkan sang ayah untuk mengakui anak tersebut sebagai anaknya.

 

Al-Burhan fi Ushul al-Fiqh, Abdul Malik al-Juwaini/Imam Haramain, h. 188


فَأَقْصَى اْلإِمْكَانِ فِيْ ذَلِكَ أَنَّ الرَّسُوْلَ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ لَوْ لَمْ يَكُنْ مُعْتَقِدًا قَبُوْلَ قَوْلِ الْقَائِفِ لَعَدَّهُ مِنَ الزَّجْرِ وَالْفَأْلِ وَالْحَدْسِ وَالتَّخْمِيْنِ، وَلَمَا أَبْعَدَ أَنْ يُخْطِئَ فِيْ مَوَاضِعَ وَإِنْ أَصَابَ فِيْ مَوَاضِعَ، فَإِذَا تَرَكَهُ وَلَمْ يَرُدَّهُ كَانَ الْكَلاَمُ عَلَى اْلأَنْسَابِ بِطَرِيْقِ الْقِيَافَةِ، فَهَذَا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ قَدْ يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ مُسْتَنَدُ اْلأَنْسَابِ، فَهَذَا هُوَ الْمُمْكِنُ فِيْ ذَلِكَ


Kemungkinan paling maksimal dalam hal tersebut adalah bahwa andaikan Rasulullah Saw. tidak meyakini informasi ahli nasab, tentu beliau menganggapnya sebagai larangan, asumsi, perkiraan, dan taksiran, dan tentu akan sering dalam tidak tepat dalam beberapa kesempatan, meski bisa tepat dalam kesempatan lain. Maka ketika beliau Saw. membiarkan dan tidak menolaknya, maka pembahasan tentang nasab itu berdasarkan teori qiyafah. Maka penerimaan ahli nasab dari kajian tersebut bisa menunjukkan, bahwa qiyafah adalah dasar penentuan nasab, dan demikian yang mungkin dalam masalah tersebut.  


Al-Thuruq al-Hukmiyah fi al-Siyasah al-Syari’ah, Ibn Qayyim al-Jauziyah, h. 139


وَالْمَقْصُوْدُ أَنَّ أَهْلَ الْقِيَافَةِ كَأَهْلِ الْخِبْرَةِ وَأَهْلِ الْخَرْصِ وَالْقَاسِمِيْنَ وَغَيْرِهِمْ مِمَّنْ اعْتِمَادُهُمْ عَلَى اْلأُمُوْرِ الْمُشَاهَدَةِ الْمَرْئِيَّةِ لَهُمْ وَلَهُمْ فِيْهَا عَلاَمَاتٌ يَخْتَصُّوْنَ بِمَعْرِفَتِهَا مِنَ التَّمَاثُلِ وَاْلاخْتِلاَفِ وَالْقَدْرِ وَالْمَسَاحَةِ وَأَبْلَغُ مِنْ ذَلِكَ النَّاسُ يَجْتَمِعُوْنَ لِرُؤْيَةِ الْهِلاَلِ فَيَرَاهُ مِنْ بَيْنِهِمْ الْوَاحِدُ وَاْلإِثْنَانِ فَيُحْكَمُ بِقَوْلِهِ أَوْ قَوْلِهِمَا دُوْنَ بَقِيَّةِ الْجَمْعِ


Yang dimaksud adalah sungguh ahli qiyafah itu seperti pakar bidang tertentu, juru taksir, juru pembagi, dan semisalnya dari orang-orang yang berpedoman pada perkara yang bersifat kasat mata dan bisa dilihat mereka. Dalam hal tersebut mereka memiliki tanda-tanda yang secara khusus diketahui mereka, yaitu kemiripan, perbedaan, taksiran, dan ukuran luas. Yang lebih mendalam dari hal itu adalah orang-orang yang berkumpul untuk melihat hilal, ketika satu atau dua orang di antara mereka melihatnya, maka diputuskan dengan informasi satu atau dua orang tadi, tanpa informasi dari selainnya.  


Takmilah al-Majmu’ , Syeikh Bahkit al-Muti’i, Jilid XV, h. 311-312.


عَلَى أَنَّ أَسْبَابَ الْمَعْرِفَةِ فِيْ زَمَنِنَا هَذَا قَدِ اتَّسَعَتْ آفَاقُهَا وَاسْتَقَرَّتْ قَوَاعِدُهَا عَلَى أَسْبَابِ أَدَقَّ وَمَبَادِئَ أَضْبَطَ وَإِنْ كَانَتْ غَيْرَ قَطْعِيَّةِ فِيْ أَكْثَرِ أَحْوَالِهَا، وَقَدْ يَأْخُذُ الْعِلْمُ الْحَدِيْثُ بِالْقِيَافَةِ حَيْثُ يَعْجِزُ التَّحْلِيْلُ الطِّبِّيُّ، وَالْقِيَافَةُ أَحَدُ فُرُوْعِ الطِّبِّ الشَّرْعِيِّ أَوْ هِيَ  اْلأَسَاسُ الْفَعْلِيُّ لِلطِّبِّ الشَّرْعِيِّ وَمَنْ قَرَأَ كُتُبَ الطِّبِّ الشَّرْعِيِّ الْعَرَبِيَّةِ أَوِ اْلأَجْنَبِيَّةِ يَتَّضِحُ لَهُ صِحَّةُ هَذَا الْحُكْمِ  ...  وَيُلاَحَظُ أَنَّ قِيَافَةَ الدَّمِ هُنَا وَإِنْ كَانَتْ قَائِمَةً عَلَى أَسَاسٍ عِلْمِيٍّ إِلاَّ أَنَّهَا سَلَبِيَّةٌ وَلَيْسَتْ إِيْجَابِيَّةً، فَهِيَ تَقُوْلُ بِأَنَّ هَذَا لَيْسَ أَبًا وَلاَ نَسْتَطِيْعُ أَنْ تَقُوْلَ هَذَا أَبٌ لِأَنَّهُ قَدْ يَكُوْنُ اْلأَبُ شَخْصًا لَهُ فَصِيْلَةُ الْمُدَّعَى وَلَكِنْ يُمْكِنُ أَنْ يُنْفِيَ فَيَقُوْلُ إِذَا كَانَتْ فَصِيْلَةُ دَمِ اْلاِبْنِ  "أَوْ"  وَكَانَتْ فَصِيْلَةُ اْلأَبِ الْمُدَّعِى  "أَب"  وَاْلأُمِّ  "ب"  حَكَمُوْا بِالْقَطْعِ بِأَنَّ هَذَا لَيْسَ أَبَاهُ وَلَكِنْ لَوْ كَانَتْ فَصِيْلَتُهُ مِنْ فَصِيْلَةِ الطِّفْلِ قَالُوْا يَحْتَمِلُ أَنْ يَكُوْنَ أَبَاهُ وَيَحْتَمِلُ أَنْ يَكُوْنَ أَبُوْهُ غَيْرَهُ عَلَى أَنَّ أَحْسَنَ الْقِيَافَةِ التَّعَرُّفُ عَنْ طَرِيْقِ اْلأَطْرَافِ كَاْلأَيْدِي وَاْلأَرْجُلِ وَمَلاَمِحِ الْوَجْهِ


Berdasarkan pada sebab-sebab mengetahui (nasab seseorang) pada zaman kita ini telah begitu luas dan kaidah-kaidahnya berpijak pada sebab-sebab yang lebih detail dan dasar-dasar yang lebih kokoh, sekalipun pada sebagian kasus tidak bisa memberikan hasil pasti. Terkadang ilmu modern menggunakan teori qiyafah ketika penelitian medis tidak memberikan hasil. Qiyafah merupakan salah satu cabang ilmu kedokteran syar’i, atau merupakan landasan nyata kedokteran syar’i. Bagi orang yang membaca buku-buku kedokteran syar’i yang berbahasa Arab atau selain Arab, maka ia akan mendapat kejelasan tentang keabsahan hukum penentuan nasab berdasar pendapat pakar qiyafah ini … Dan perlu perhatikan, bahwa penelitian sempel darah di sini, meski berpijak pada dasar-dasar ilmiah, akan tetapi sifatnya hanya untuk menafikan hubungan darah, bukan untuk menetapkannya. Ia hanya dapat menyatakan: “Ini bukan bapaknya.”, dan tidak dapat menyatakan: “Ini bapaknya.” Sebab, terkadang seorang bapak punya golongan darah (yang bersambung dengan golongan darah) anak yang diklaim sebagai anak orang lain, namun hal ini bisa dimentahkan. Maka si pendakwa berkata: “Jika golongan darah si anak adalah O, sedangkan golongan darah ayah yang didakwa (bukan sebagai bapaknya) adalah AB dan si ibu adalah B, maka para ahli medis menghukumi secara pasti bahwa orang ini bukan ayah bagi anak tersebut. Namun jika golongan darahnya sama dengan golongan darah si anak, maka para ahli  medis menyatakan: “Kemungkinan dia adalah bapaknya, dan kemungkinan bapaknya adalah orang lain.” berdasarkan pada qiyafah yang paling bagus, yaitu mengenali bagian-bagian anggota tubuh semisal kedua tangan, kaki, dan ciri-ciri wajah.  


Takmilah al-Mjamu’ , Syeikh Bahkit al-Muti’i, Jilid XVII, h. 410.


وَلَنَا أَنَّهُ يُمْكِنُ الاسْتِعَانَةُ بِالطِّبِّ الشَّرْعِيِّ فِيْ تَحْلِيْلِ فَصَائِلِ دَمِ كُلٍّ مِنَ الرَّجُلَيْنِ وَاْلأُمِّ، فَإِنْ تَشَابَهَتْ فَصَائِلُ الدَّمِ عِنْدَهُمَا أَخَذَ بِالْقَافَةِ


Bagi kita madzhab Syafi’iyah (dalam kasus dua orang lelaki menikahi dua perempuan bersaudara, lalu tertukar dalam berhubungan badan pada masa sucinya dari haid, dan si perempuan melahirkan anak yang mungkin berasal dari dua lelaki itu, dalam penentuan nasab anak itu), sungguh bisa memakai kedokteran syar’i untuk menganalisa golongan darah dua lelaki (si suami dan si lelaki lain) tersebut dan si ibu. Jika terjadi kekaburan golongan darah bagi kedua lelaki itu, maka digunakan teori qiyafah


Badai’ al-Shanai’ fi Tartib al-Syarai’ , Syekih Mahmud bin Ahmad al-Kasani Al-Hanafi, Jilid IV, h. 58-59.


 فَإِنَّ الشَّرْعَ وَرَدَ بِقَبُوْلِ قَوْلِ الْقَائِفِ فِي النَّسَبِ فَإِنَّهُ رُوِيَ أَنَّ قَائِفًا مَرَّ بِأُسَامَةَ وَزَيْدٍ وَهُمَا تَحْتَ قَطِيْفَةٍ وَاحِدَةٍ قَدْ غَطَّى وُجُوْهَهُمَا وَأَرْجُلَهُمَا بَادِيَةٌ فَقَالَ إِنَّ هَذِهِ اْلأَقْدَامَ يُشْبِهُ بَعْضُهَا بَعْضًا فَسَمِعَ رَسُوْلُ اللهِ   فَفَرِحَ بِذَلِكَ حَتَّى كَادَتْ تَبْرُقُ أَسَارِيْرُ وَجْهِهِ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ، فَقَدْ اعْتَبَرَ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ قَوْلَ الْقَائِفِ حَيْثُ لَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ بَلْ قَرَّرَهُ بِإِظْهَارِ الْفَرَحِ. وَلَنَا إِجْمَاعُ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ فَإِنَّهُ رُوِيَ أَنَّهُ وَقَعَتْ هَذِهِ الْحَادِثَةُ فِيْ زَمَنِ سَيِّدِنَا عُمَرَ   فَكَتَبَ إِلَى شُرَيْحٍ لَبَّسًا فَلُبِّسَ عَلَيْهِمَا وَلَوْ بَيَنَّا لَبُيِّنَ لَهُمَا هُوَ ابْنُهُمَا يَرِثُهُمَا وَيَرِثَانِهِ وَكَانَ ذَلِكَ بِمَحْضَرٍ مِنَ الصَّحَابَةِ وَلَمْ يُنْقَلْ أَنَّهُ أَنْكَرَ عَلَيْهِ مُنْكِرٌ فَيَكُوْنُ إِجْمَاعًا لِأَنَّ سَبَبَ اسْتِحْقَاقِ النَّسَبِ بِأَصْلِ الْمِلْكِ وَقَدْ وُجِدَ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فَيَثْبُتُ بِقَدْرِ الْمِلْكِ حِصَّةٌ لِلنَّسَبِ ثُمَّ يَتَعَدَّى لِضَرُوْرَةِ عَدَمِ التَّجَزِّي فَيَثْبُتُ نَسَبُهُ مِنْ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَلَى الْكَمَالِ. وَأَمَّا فَرَحُ النَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ وَتَرْكُ الرَّدِّ وَالنَّكْرِ فَاحْتُمِلَ أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ لِاعْتِبَارِهِ قَوْلَ الْقَائِفِ حُجَّةً بَلْ لِوَجْهٍ آخَرَ وَهُوَ أَنَّ الْكُفَّارَ كَانُوْا يَطْعَنُوْنَ فِيْ نَسَبِ أُسَامَةَ   وَكَانُوْا يَعْتَقِدُوْنَ الْقِيَافَةَ فَلَمَّا قَالَ الْقَائِفُ ذَلِكَ فَرِحَ رَسُوْلُ اللهِ   لِظُهُوْرِ بُطْلاَنِ قَوْلِهِمْ بِمَا هُوَ حُجَّةٌ عِنْدَهُمْ فَكَانَ فَرَحُهُ فِي الْحَقِيْقَةِ بِزَوَالِ الطَّعْنِ بِمَا هُوَ دَلِيْلُ الزَّوَالِ عِنْدَهُمْ وَالْمُحْتَمَلُ لاَ يَصْلُحُ حُجَّةً


(Dalam kasus budak perempuan yang dimiliki dua orang lelaki, lalu melahirkan anak dan kedua pemilik mengklaimnya sebagai anak darinya, maka menurut madzhab Hanafi anak itu adalah anak kedua mereka berdua dan si ibu menjadi umm al-mustauladahnya. Sedangkan menurut Menurut Imam Syafi’i, anak itu adalah hanya anak salah satu dari mereka). Karena sungguh syariat menerima pendapat seorang pakar qiyafah dalam menentukan nasab. Sebab diriwayatkan, seorang ahli qiyafah lewat di depan Usamah dan Zaid ketika keduanya berada di bawah selendang bersabut yang menutupi wajah mereka, sementara kaki mereka terlihat. Lalu ahli qiyafah itu berkata: “Kaki-kaki ini memiliki kemiripan antara satu dengan yang lain.” Ketika mendengar hal itu Rasulullah Saw. bergembira sehingga terlihat keceriaan tersimpul di wajahnya. Maka Rasulullah Saw. mengakui pendapat ahli qiyafah, karena beliau tidak membantahnya, bahkan beliau tetapkan dengan memperlihatkan kegembiraannya. Dan kita (madzhab Hanafiyah) memiliki dalil ijma’ sahabat. Sebab diriwayatkan, bahwa peristiwa tersebut pernah terjadi di masa Khalifah Umar bin al-Khatththab Ra. Lalu beliau menulis surat pada Syuraikh yang berisi: “Mereka berdua telah membuat samar (kasus ini), maka samarkan (kasus ini) bagi mereka. Anak itu adalah anak mereka, dia mewarisi (harta) mereka dan mereka mewarisinya.” Peristiwa itu dihadiri para sahabat dan tidak dikutip ada seseorang yang mengingkarinya, maka menjadi ijma’. Mengingat sebab hak nasab anak tersebut adalah berdasarkan hukum asal kepemilikan (atas ibunya), dan kepemilikan itu ada pada mereka berdua. Maka dengan kadar kepemilikan tersebut, bagian nasabnya menjadi tetap, lalu menjalar (ke keseluruhan anak tersebut) karena darurat nasab tidak bisa dibagi-bagi. Maka tetaplah nasab anak itu dari masing-masing mereka berdua secara sempurna. Adapun kegembiran Nabi Saw. dan tidak adanya bantahan dan pengingkaran dari beliau, maka kemungkinan bukan karena beliau menerima informasi ahli qiyafah sebagai hujjah, melainkan karena hal lain, yaitu orang kafir mencela nasab Usamah Ra. dan mereka meyakini metode qiyafah. Ketika seorang ahli qiyafah menyatakan hal tersebut, maka gembiralah Rasulullah Saw. karena nampak sudah kesalahan pendapat mereka berdasar metode yang menjadi hujjah menurut mereka. Maka kegembiraan beliau pada hakekatnya disebabkan hilangnya celaan mereka pada Usamah karena metode yang menjadi dalil hilangnya celaan menurut mereka sendiri. Dan riwayat yang bersifat kemungkinan tidak layak dijadikan hujjah.  


Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, Abdurrahman al-Juzairi, Jilid IV, h. 461.

الْحَنَابِلَةُ قَالُوا  يُشْتَرَطُ فِي انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ بِوَضْعِ الْحَمْلِ ثَلَاثَةُ شُرُوطٍ .... وَالْمُرَادُ بِالْقَافَةِ مَنْ لَهُمْ خِبْرَةٌ بِشِبْهِ الْوَلَدِ بِأَبِيْهِ، هَذَا مَا قَالَهُ الْفُقَهَاءُ وَلَعَلَّهُ يَقُوْمُ مَقَامَهُ فِيْ زَمَانِنَا تَحْلِيْلُ الدَّمِ فَإِذَا أَمْكَنَ مَعْرِفَةُ كَوْنِ دَمِ الطِّفْلِ مِنْ دُوْنِ دَمِ وَالِدِهِ يَكُوْنُ حَسَنًا وَإِذَا لَمْ يَكُنْ مَعْرِفَةُ شِبْهِهِ بِوَاحِدٍ مِنْهُمَا أَوِ اخْتَلَفَ الْقَافَةُ فِيْ أَمْرِهِ فَإِنَّ عَلَيْهَا أَنْ تَعْتَدَّ بِثَلاَثِ حَيْضٍ بَعْدَ وَضْعِهِ عَلَى أَيِّ حَالٍ


Ulama madzhab Hanabilah berpendapat, dalam habisnya masa ‘iddah dengan melahirkan bayi disyaratkan tiga hal: … Dan maksud ahli qiyafah yaitu orang yang mempunyai keahlian mengidentifikasi kemiripan anak dengan bapaknya. Ini adalah yang dikatakan para Fuqaha. Barangkali di masa kita sekarang ini tes darah bisa menggantikannya. Maka jika dimungkinkan mengetahui golongan darah anak dari golongan darah sang bapak, maka bagus. Dan jika tidak bisa diketahui kemiripannya dengan salah satu dari kedua lelaki yang bersetubuh dengan ibunya (dalam kasus seorang wanita yang menikah di masa ‘iddah dan melahirkan seorang anak yang mungkin dinisbatkan pada kedua lelaki itu), atau pendapat para ahli qiyafah berbeda dalam kasus ini, maka bagaimanapun si ibu harus menjalani masa ‘iddah selama masa tiga kali haid, terhitung setelah melahirkan.  



Madkhal Ila Ilmi An-Nasab wa Qawa'iduhu, Syarif Ibrahim bin Manshur Al-Hasyimi, h. 100

تَقَدَّمَ مِرَارًا أَنَّ الْأَنْسَابَ إِنَّمَا تَثْبُتُ بِالشُّهْرَةِ وَالِاسْتِفَاضَةِ الصَّحِيحَةِ . وَأَنَّ هَذِهِ هِيَ الطَّرِيقَةُ اَلشَّرْعِيَّةُ لِإِثْبَاتِ الْأَنْسَابِ بِإِجْمَاعِ عُلَمَاءِ اَلْأُمَّةِ. وَهَهُنَا نَذْكُرُ بَعْضَ الطُّرُقِ اَلْبَاطِلَةِ اَلَّتِي أَحْدَثَهَا الْبَعْضُ لِإِثْبَاتِ اَلْأَنْسَابِ . غَافِلِينَ أَوْ مُتَغَافِلِينَ عَنْ تِلْكَ الْقَاعِدَةِ اَلْمُجْمَعِ عَلَيهَا (الشُّهْرَةِ وَالِاسْتِفَاضَةِ). وَمِنْ تِلْكَ الطُّرُقِ اَلْبَاطِلَةِ :  ١- اَلِاسْتِشْهَادُ بِوَثَائِقِ الْبَيْعِ وَالشِّرَاءِ وَنَحْوِهَا لِإِثْبَاتِ اَلْأَنْسَابِ اَلْبَعِيدَةِ .  ٢- اَلِاَعْتِمَادُ عَلَى الْحَمْضِ النَّوَوِيِّ المَعْرُوفِ بِ DNA لِإِثْبَاتِ الْأَنْسَابِ الْبَعِيدَةِ . ٣- اَلِاسْتِدْلَالُ بِالْقَافَةِ لِإِثْبَاتِ الْأَنْسَابِ الْبَعِيدَةِ .

Sebelumnya telah lalu dengan berulang-ulang bahwa nasab hanya dapat menjadi tetap dengan "syuhrah wal istifadhah shahihah" (keterkenalan & ketersebaran yang shahih), dan sesungguhnya hal ini adalah metode syariat  untuk menetapkan nasab-nasab dengan kesepakatan ulama ummat. Dan disini (pembahasan ini) kami akan menyebutkan sebgaian metode bathil yang dibuat oleh sebagian orang untuk menetapkan nasab-nasab, mereka (sebagian orang tersebut) lupa atau pura-pura lupa dari pada kaidah penetapan nasab sesuai syariat yang telah disepakati oleh ulama (metode syuhrah & istifadhah"). Sebagian dari metode bathil tetsebut adalah : Pertama, metode jual-beli dan semisalnya untuk itsbat (menetapkan) nasab-nasab yang jauh. Kedua, mengandalkan "al-hamd an-nawawi" yang dikenal dengan sebutan DNA untuk menetapkan nasab-nasab yang jauh. Ketiga, mencari petunjuk dengan "qafah" (atau ilmu Qiyafah, yaitu metode yang dipakai untuk mengenali jejak seseorang dalam menetukan nasab berdaarkan ciri-ciri dan kemiripan, Penerjemah) untuk menetapkan nasab-nasab yang jauh.


Qarraraat Al-Majma’ Al-Fiqh Al-Islami 1997 – 2004, h. 343

أَوَّلاً : لَا مَانِعَ شَرْعًا مِنَ الِاعْتِمَادِ عَلَى الْبَصْمَةِ الْوِرَاثِيَّةِ فِي التَّحْقِيقِ الْجِنَائِيِّ ، وَاعْتِبَارِهَا وَسِيلَةَ إِثْبَاتٍ فِي الْجَرَائِمِ الَّتِي لَيْسَ فِيهَا حَدٌّ شَرْعِيٌّ وَلَا قِصَاصٌ، لِخَبَرٍ : « اِدْرَؤُوا الْحُدُودَ بِالشُّبُهَاتِ » ، وَذَلِكَ يُحَقِّقُ الْعَدَالَةَ وَالْأَمْنَ لِلْمُجْتَمَعِ، وَيُؤَدِّي إِلَى نَيْلِ الْمُجْرِمِ عِقَابَهُ وَتَبْرِئَةَ الْمُتَّهَمِ ، وَهَذَا مَقْصَدٌ مُهِمٌّ مِنْ مَقَاصِدِ الشَّرِيعَةِ . ثَانِيًا : إِنَّ اِسْتِعْمَالَ الْبَصْمَةِ الْوِرَاثِيَّةِ فِي مَجَالِ النِّسَبِ لَا بُدَّ أَنْ يُحَاطَ بِمُنْتَهَى الْحَذَرِ وَالْحِيطَةِ وَالسِّرِّيَّةِ ، وَلِذَلِكَ لَا بُدَّ أَنْ تَقَدُّمَ النُّصُوصُ وَالْقَوَاعِدُ الشَّرْعِيَّةُ عَلَى الْبَصْمَةِ الْوِرَاثِيَّةِ . ثَالِثًا : لَا يَجُوزُ شَرْعًا اَلِاعْتِمَادُ عَلَى الْبَصْمَةِ الْوِرَاثِيَّةِ فِي نَفْيِ النَّسَبِ ، وَلَا يَجُوزُ تَقْدِيمُهَا عَلَى اللِّعَّانِ . رَابِعًا : لَا يَجُوزُ اِسْتِخْدَامُ اَلْبَصْمَةِ الْوِرَاثِيَّةِ بِقَصْدِ التَّأَكُّدِ مِنْ صِحَّةِ الْأَنْسَابِ الثَّابِتَةِ شَرْعًا، وَيَجِبَ عَلَى الْجِهَاتِ الْمُخْتَصَّةِ مَنْعُهُ وَفَرْضُ الْعُقُوبَاتِ الزَّاجِرَةِ، لِأَنَّ فِي ذَلِكَ الْمَنْعِ حِمَايَةً لِأَعْرَاضِ النَّاسِ وَصَوْنًا لِأَنْسَابِهِمْ. خَامِسًا : يَجُوزُ الِاعْتِمَادُ عَلَى الْبَصْمَةِ الْوِرَاثِيَّةِ فِي مَجَالِ إِثْبَاتِ النِّسَبِ فِي الْحَالَاتِ الْآتِيَةِ : أ - حَالَاتُ التَّنَازُعِ عَلَى مَجْهُولِ النِّسَبِ بِمُخْتَلِفِ صُوَرِ التَّنَازُعِ الَّتِي ذَكَرَهَا الْفُقَهَاءُ سَوَاءٌ أَكَانَ التَّنَازُعُ عَلَى مَجْهُولِ النِّسَبِ بِسَبَبِ اِنْتِفَاءِ الْأَدِلَّةِ أَوْ تَسَاوِيهَا، أَوْ كَانَ بِسَبَبِ الِاشْتِرَاكِ فِي وَطْءِ الشُّبْهَةِ وَنَحْوِهِ. ب - حَالَاتُ الِاشْتِبَاهِ فِي الْمَوَالِيدِ فِي الْمُسْتَشْفَيَاتِ، وَمَرَاكِزِ رِعَايَةِ الْأَطْفَالِ وَنَحْوِهَا، وَكَذَا الِاشْتِبَاهُ فِي أَطْفَالِ الْأَنَابِيبِ . ج - حَالَاتُ ضَيَاعِ الْأَطْفَالِ وَاخْتِلَاطِهِمْ ، بِسَبَبِ الْحَوَادِثِ أَوْ الْكَوَارِثِ أَوْ الْحُرُوبِ، وَتَعَذُّرِ مَعْرِفَةِ أَهْلِهِمْ ، أَوْ وُجُودِ جُثَثٍ لَمْ يُمْكِنِ التَّعَرُّفُ عَلَى هُوِيَّتِهَا ، أَوْ بِقَصْدِ التَّحَقُّقِ مِنْ هُوِيَّاتِ أَسْرَى الْحُرُوبِ وَالْمَفْقُودِينَ. سَادِسًا : لَا يَجُوزُ بَيْعُ الْجِينُوم الْبَشَرِيِّ لِجِنْسٍ أَوْ لِشَعْبٍ ، أَوْ لِفَرْدٍ ، لِأَيِّ غَرَضٍ ، كَمَا لَا تَجُوزُ هِبَتُهَا لِأَيِّ جِهَةٍ ، لِمَا يَتَرَتَّبُ عَلَى بَيْعِهَا أَوْ هِبَتِهَا مِنْ مَفَاسِدَ. وَأَوْصَى الْمَجْمَعُ بِأَنْ تَمْنَعَ الدَّوْلَةُ إِجْرَاءَ الْفَحْصِ الْخَاصِّ بِالْبَصْمَةِ الْوِرَاثِيَّةِ إِلَّا بِطَلَبٍ مِنَ الْقَضَاءِ، وَأَنْ يَكُونَ فِي مُخْتَبَرَاتٍ لِلْجِهَاتِ الْمُخْتَصَّةِ، وَأَنْ تَمْنَعَ الْقِطَاعَ الْخَاصَّ الْهَادِفَ لِلرُّبْعِ مِنْ مُزَاوَلَةِ هَذَا الْفَحْصِ، لِمَا يَتَرَتَّبُ عَلَى ذَلِكَ مِنَ الْمَخَاطِرِ الْكُبْرَى . وَأَنْ تُوضَعَ آلِيَّةٌ دَقِيقَةٌ لِمَنْعِ الِانْتِحَالِ وَالْغِشِّ ، وَمَنْعِ التَّلَوُّثِ وَكُلِّ مَا يَتَعَلَّقُ بِالْجُهْدِ الْبَشَرِيِّ فِي حَقْلِ مُخْتَبَرَاتِ الْبَصْمَةِ الْوِرَاثِيَّةِ، حَتَّى تَكُونَ النَّتَائِجُ مُطَابِقَةً لِلْوَاقِعِ، وَأَنْ يَتِمَّ التَّأَكُّدُ مِنْ دِقَّةِ الْمُخْتَبَرَاتِ، وَأَنْ يَكُونَ عَدَدُ الْمَوْرُوثَاتِ - الْجِينَاتُ الْمُسْتَعْمَلَةُ لِلْفَحْصِ - بِالْقَدْرِ الَّذِي يَرَاهُ الْمُخْتَصُّونَ ضَرُورِيًّا دَفْعًا لِلشَّكِّ


Pertama: Tidak ada keberatan hukum untuk mengandalkan DNA dalam penyelidikan pidana, mengingat hal tersebut dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam penyelidikan pidana yang tidak ada hukuman had atau qishas, karena hadis : “hindarilah hukuman dengan keraguan,” dan hal itu dapat mencapai keadilan dan keamanan masyarakat, serta menyebabkan penjahat menerima hukumannya dan membebaskan tertuduh dari tuduhan orang lain, dan ini merupakan tujuan penting dari hukum Islam. Kedua: Penggunaan DNA dalam bidang nasab harus dilingkupi dengan kehati-hatian, dan kerahasiaan yang sangat tinggi, oleh karena itu teks dan aturan hukum harus dihadirkan pada DNA tersebut. Ketiga: Menurut syariat, tidak boleh mengandalkan DNA untuk mengingkari keturunan, dan tidak boleh mengutamakannya di atas li'an/penistaan (lihat pengertian li'an dalam terminologi fiqih). Keempat: Tidak boleh menggunakan  DNA dengan tujuan untuk memastikan keabsahan nasab yang telah ditetapkan menurut syariat, otoritas yang berwenang harus mencegahnya dan memberikan hukuman yang berat, karena di dalam larangan itu terdapat perlindungan terhadap kehormatan manusia dan terpeliharanya garis keturunan mereka. Kelima: Diperbolehkan mengandalkan DNA di bidang pembuktian keturunan (nasab) dalam kasus-kasus berikut: (a) Kasus sengketa yang tidak diketahui nasab dalam berbagai bentuk sengketa yang disebutkan oleh para ahli hukum, baik sengketa yang tidak diketahui nasabnya karena ketiadaan dalil atau ketiadaan sesuatu yang sederajat dengan dalil, atau karena ikut serta masuknya kecurigaan dan sejenisnya. (b) Kasus samarnya bayi baru lahir yang berada di rumah sakit, tempat penitipan anak dan sejenisnya, serta samarnya anak dari orang tua tabung. (c) Kasus anak-anak hilang dan bercampur, seperti karena kecelakaan, bencana, atau perang, dan ketidakmampuan untuk mengetahui keluarganya, atau keberadaan Jenazah yang identitasnya tidak dapat diidentifikasi, atau dengan maksud untuk memverifikasi identitas tawanan perang dan orang hilang. Keenam: Genom manusia tidak boleh dijual kepada ras, orang, atau individu untuk tujuan apa pun, sama seperti tidak boleh disumbangkan ke pihak mana pun, karena konsekuensi negatif dari menjual atau memberikannya. Majma' fiqh (komite ulama fiqih) merekomendasikan agar : (1) negara mencegah pelaksanaan pemeriksaan DNA, kecuali atas permintaan pengadilan, (2) pengujian DNA itu harus berada di laboratorium otoritas yang berwenang, (3) mencegah sektor swasta, yang bertujuan untuk mempraktikkan uji klinis atau praktek terkait DNA ini karena dapat menimbulkan potensi bahaya besar yang terjadi dikemudian hari (4) pelaksanaan mekanisme tes DNA harus dilaksanakan dengan cara yang tepat/transparan dan tercegah dari manipulasi, penipuan, dan segala campur tangan rekayasa manusia di bidang DNA agar hasilnya sesuai dengan kenyataan. (5) keakuratan dan kelayakan laboratorium harus dikonfirmasi terlebih dahulu, (6) jumlah DNA yang diambil haruslah Item gen DNA yang digunakan untuk pemeriksaan saja sejauh yang dianggap perlu oleh spesialis untuk menolak ketidak jelasan.



Download kitab Qararat majma' fiqh islam : Disini



Adapun masalah tentang apakah nasab para haba'ib di indonesia yang bergaris keturunan syeikh ubaidilah ini terputus atau tidak terputus maka dalam ranah ilmiyah "tawaquf" adalah jalan yang kami pilih, karena tidak mendalamnya pengetahuan penulis tentang ilmu nasab. Berdasarkan keterangan para ulama leluhur seperti Syeikh Nawawi al-bantani, Syekh Yasin al-Faddani, dan KH. Mahfudz Termas mereka menyematkan gelar "sayyid" bahkan "habib" pada para keturunan Syeikh Ubaidilah sebagaimana tertera didalam kitab-kitab Tsabat atau catatan sanad ilmiah mereka. Hal ini menandakan bahwa para ulama tersebut mengakui keturunan Syeikh Ubaidillah sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW. Kecondongan pada pendapat para ulama inilah yang penulis yakini.

Setidaknya, hiruk-pikuk masalah nasab yang sampai saat ini masih belum selesai, memberikan kita beberapa pelajaran penting :

  • Umat manusia pada dasarnya setara, siapapun nenek moyangnya sebenarnya yang paling mulia adalah orang yang bertaqwa.

  • Nasab berada didalam darah, kualitas jiwa, ilmu, dan ajaran, bukan dibalik jubah, sorban, penampilan dan pengakuan lisan yang bertentangan dengan tingkah laku keseharian.

  • Penyampaian dakwah yang ma'ruf harus dikedepankan, karena sesuatu yang baik baru menjadi baik bila dilakukan dengan cara dan waktu yang memang baik. Bukan dengan cara mencela dan mencaci. Begitu pula pencarian kebenaran, seyogyanya dilakukan dengan cara yang terbaik dan tidak menyinggung sesama muslim dengan menjaga muru'ah & meminimalisir timbulnya dampak-dampak negatif dari pihak lain yang dapat mengakibatkan kesalah-pahaman antar pihak dan kesamaran apakah dampak negatif tersebut muncul karena untuk  "mencegah pencarian kebenaran" atau hanya "mengkritik cara mencari kebenaran".

  • Tradisi ilmiah publik dengan nalar kritis dan sistematis yang terjalin tidak boleh dihalangi-halangi sekaligus harus tetap menjaga adab dan akhlak.

  • Taudhihul wadhihat minal musykilat, menerangkan suatu yang sudah jelas itu termasuk dari kerumitan. Mengangkat tema nasab para habib dan keturunan walisongo yang sudah jelas dikenal masyarakat dan diakui ulama taraf nasionsl dati generasi ke generasu - terlebih hal ini termasuk tema "sensitif"- merupakan perkara yang sulit dan rumit. Hampir mirip dengan orang yang disiang hari melihat matahari berwarna kuning lalu ia berkata bahwa "matahari tidak hanya memancarkan cahaya kuning saja melainkan ada warna-warna lain yang terdapat didalamnya", atau berkata "matahari itu tidak ada", dan sudah pasti kajian seperti ini butuh penelitian yang mendalam. Oleh sebab itu, perlu kehati-hatian ekstra dalam masalah ini baik hati-hati dalam penelitian, penyampaian, maupun sikap.

  • Kajian ilmiyah mempunyai ruang dan tempatnya tersendiri dalam dunia pendidikan, untuk mencapai dan mencernanya pun dibutuhkan tahapan-tahapan, ketika sesuatu yang "sensitif" dan belum semestinya atau tidak etis menjadi konsumsi publik malah diberikan ke khalayak umum maka berbagai reaksi pasti akan bermunculan yang mana seharusnya hal itu perlu dipertimbangkan manakah yang lebih baik bagi umat dengan memprediksi dan mengukur seberapa besar presentase maslahat & mafsadahnya.

  • Mempelajari ilmu tentang sejarah, nasab, dan kedokteran merupakan hal yang penting bagi umat islam, maka bagi setiap orang yang memiliki kemampuan dan cocok tabi'atnya dengan bidang ilmu tersebut hendaknya mendalaminya.

Tentu catatan pelajaran diatas bukan bermaksud untuk mendikte atau menghimbau para kyai, asatidz, ulama, haba'ib, Doktor dan cendikiawan muslim lainnya. Melainkan sebagai pengingat bagi kami para pelajar/santri dan masyakarat awam yang menyaksikan fenomena belakangan ini.


Hemat kami, selain dari sisi hukum fiqih, perlu sangat dipertimbangkan apakah benar-benar dibutuhkan tes DNA para keturunan Nabi baik mereka yang berasal dari Yaman keturunan Syeikh Ubaidillah maupun keturunan walisongo ? bukankah hal tersebut termasuk privasi yang sebaiknya tidak perlu diumbar dimuka publik ? Se-begitu pentingkah mengungkap nasab orang lain ke muka publik ? Se-wajib itu kah soal nasab sampai semua orang harus tau dan turut ikut campur berkomentar ? Walhasil, mari biarkan para ahli yang mengurusi masalah tersebut, indonesia memiliki MUI, LBMNU, Rabithah Alawiyah, Naqobah Asyrof, BKKMHB (Badan Kenaziran Kesultanan Maulana Hasanudin Banten), NAAT (Naqobah Ansab Auliya Tis'ah) dan lembaga hebat lainnya serta para kyai yang memang mumpuni dalam bidang penetapan nasab dan hukum islam. Tetap utamakan adab, akhlak dan petuah para masyayikh, karena jalan terbaik adalah jalan yang ditunjukan dan dituntun oleh guru. Semoga tulisan ini bermanfaat.


Selesai.

waullahu a'lam





M. Rifqy Aziz Syafe'i