BAB WUDHU (STUDI PERBANDINGAN FIQIH 4 MADZHAB)




BAB WUDHU

(STUDI PERBANDINGAN FIQIH 4 MADZHAB)

 

 


oleh


M. Rifqy Aziz Syafe'i

 

 



PENGERTIAN ([1])


Wudhu secara bahasa artinya adalah "wadha'ah" yaitu bersih, bagus, dan cemerlang. Adapun pengertian wudhu menurut istilah fiqih adalah membasuh anggota tubuh tertentu dengan niat yang khusus.

 

Umat muslimin sepakat bahwa wudhu disyariatkan dalam agama Islam yang didasari oleh Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’.

 

Al-Qur’an yang menjadi dasar disyariatkannya wudhu diantaranya adalah sebagai berikut :

 

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

 

Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki (Qs.Al-Maidah, Ayat 6)

 

Hadis yang mendasari disyaraitkannya wudhu diantaranya adalah sebagai berikut ini :

 

عَنْ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلَا صَدَقَةً مِنْ غُلُولٍ

 

"Dari abu bakar ia berkata : rosulullah SAW telah berkata : Tidak diterima shalat tanpa bersuci dan tidak diterima pula shodaqih dari harta curian." (HR. Ibnu Majah, Bukhori, & Muslim)

 

 

Sedangkan pernyataan Ijma’ (kesepakatan ulama) yang mendasari disyariatkannya wudhu diantaranya sebagai berikut :[2]

 

وَالْوُضُوءُ لِلصَّلَاةِ فَرْضٌ، وَلَا تُجْزِئُ الصَّلَاةُ إِلَّا بهِ لِمَنْ وَجَدَ الْمَاءَ. هَذَا إِجْمَاعٌ لَا خِلَافَ فِيْهِ مِنْ أَحَدٍ

 

Wudhu untuk shalat adalah fardhu, dan sholat tidak dinilai sah secuali dengan adanya wudhu bagi orang yang menemukan air. Ketentuan ini adalah ijma’ yang tidak ada perbedaan pendapat didalamnya.

 

SYARAT SAH WUDHU ([3])

 

Menurut madzhab hanafi syarat sah wudhu ada tiga perkara, yaitu sebagai berikut :

  • Meratakan air ke atas Seluruh anggota tubuh wudhu
  • Tidak ada sesuatu yang menghalangi sampainya air keanggota tubuh wudhu.
  • Tidak ada perkara yang membatalkan wudhu ketika pelaksanaan wudhu


Menurut madzhab maliki syarat sah wudhu ada tujuh perkara, yaitu sebagai berikut :

  • Islam
  • Berakal
  • Meratakan air yang suci ke atas seluruh anggota tubuh wudhu
  • Tidak ada sesuatu yang menghalangi sampainya air keanggota tubuh wudhu.
  • Tidak ada perkara yang menyebabkan hadas ketika pelaksanaan wudhu
  • Adanya air muthlak yang mencukupi
  • Tidak dalam kondisi tidur atau lupa ketika wudhu

 

Menurut madzhab syafi’i syarat sah wudhu ada dua belas perkara, yaitu sebagai berikut :

  • Islam
  • Tamyiz (sudah mampu makan, mandi, dan cebok sendiri)
  • Tidak ada sesuatu yang menghalangi sampainya air keanggota tubuh wudhu.
  • Tidak ada sesuatu yang merubah air diatas anggota tubuh wudhu
  • Menghilangkan najis ainiah pada tubuh sebelum wudhu, bagi orang yang tubuhnya terdapat najis ainiah
  • Air yang suci mensucikan sebagai alat wudhu.
  • Meratakan dan mengalirkan air ke atas seluruh anggota tubuh wudhu
  • Tidak ada perkara yang menyebabkan hadas dan membatalkan wudhu ketika pelaksanaan wudhu
  • Mengetahuai tata cara wudhu
  • Tidak ada perkara yang menafikan wudhu seperti riddah (keluar dari agama islam) dan tidak ada perkara yang memalingkan wudhu dari yang dimaksudkan
  • Tahaquq muqtadi, yaitu jelas dan mantap didalam niat wudhu, dengan tidak ada keraguan apakah ia wudhu dari hadas atau sekedar memperbaharui wudhu yang sebelumnya yang sudah sah
  • Telah masuk waktu sholat, khusus bagi orang yang selalu hadas seperti Wanita istihadhoh dan orang yang beser.

 

 

Menurut madzhab hanbali syarat sah wudhu ada sepuluh perkara, yaitu sebagai berikut :

  • Islam
  • Berakal
  • Tamyiz (sudah mampu makan, mandi, dan cebok sendiri)
  • Niat
  • Air muthlak sebagai alat wudhu
  • Air muthlak yang digunakan wudhu adalah air yang mubah digunakan, bukan air yang haram digunakan seperti air curian.
  • Tidak ada sesuatu yang menghalangi sampainya air keanggota tubuh wudhu.
  • Sudah cebok sebelum wudhu
  • Tidak ada perkara yang menyebabkan hadas dan membatalkan wudhu ketika pelaksanaan wudhu
  • Telah masuk waktu sholat, khusus bagi orang yang selalu hadas seperti Wanita istihadhoh dan orang yang beser.

 

RUKUN WUDHU [4]

 

Menurut madzhab hanafi rukun wudhu ada empat perkara, yaitu sebagai berikut :

  • Membasuh muka
  • Membasuh kedua tangan sampai siku
  • Mengusap seperempat bagian kepala
  • Membasuh kedua kaki sampai mata kaki

 

 

Menurut madzhab maliki rukun wudhu ada tujuh perkara, yaitu sebagai berikut :

  • Niat ketika membasuh wajah
  • Membasuh muka
  •  Membasuh tangan sampai siku
  • Mengusap seluruh kepala
  • Membasuh kaki sampai mata kaki
  • Muwalat, yaitu tidak ada jeda yang dinilai sebagai pemisah saat melaksanakan fardhu wudhu
  • Menggosok ringan anggota tubuh wudhu dengan air

 

 

Menurut madzhab syafi’i rukun wudhu ada enam perkara, yaitu sebagai berikut :

  • Niat
  • Membasuh muka
  • Membasuh tangan sampai siku
  • Mengusap Sebagian dari kepala
  • Membasuh kaki sampai mata kaki
  • tertib.

 

 

Menurut madzhab hanbali rukun wudhu ada enam perkara, yaitu sebagai berikut :

  •  Membasuh muka
  • Membasuh tangan sampai siku
  • Mengusap seluruh kepala termasuk telinga
  • Membasuh kaki sampai mata kaki
  • Tertib.
  • Muwalat, yaitu tidak ada jeda yang dinilai sebagai pemisah saat melaksanakan fardhu wudhu

 

PEMBATAL WUDHU [5]

 

Menurut madzhab hanafi pembatal wudhu ada sebelas perkara, yaitu sebagai berikut :

  • Keluar sesuatu dari lubang qubul (kemaluan) atau dubur (pantat)
  • Hilang Akal Karena Mabuk, gila, dan ayan
  • Tidur, kecuali dalam posisi duduk menetapi tempat duduk
  • Keluarnya benda najis dari badan
  • Melahirkan dengan tanpa melihat adanya darah
  • Keluarnya najis dari tubuh selain dari lubang qubul dan dubur
  • Muntah yang memenuhi mulut
  • Adanya darah yang lebih dominan pada air ludah
  • Terangkatnya tempat duduk orang yang tidur sebelum bangun dari atas permukaan bumi
  • Tertawa keras (terbahak-bahak) didalam sholat yang terdapat rukun dan sujud didalamnya (seperti sholat lima waktu, bukan seperti sholat jenazah).
  • Persentuhan kemaluan lelaki yang berdiri tegang tanpa penghalang dengan kemaluan wanita atau lubang pantatnya, begitu pula persentuhan kemaluan lelaki yang berdiri tegang tanpa penghalang dengan sesama kelamin lelaki dan sesama kelamin wanita.

 

Menurut madzhab maliki pembatal wudhu ada tujuh perkara, yaitu sebagai berikut :

    • Keluar sesuatu yang normal dari lubang qubul atau dubur, seperti keluar kencing
    • Hilang Akal, karena Mabuk, gila, dan ayan
    • Tidur kecuali  dalam posisi  duduk menetapi tempat duduk dan pulas. (hal ini termasuk  kepada bagian dari hilang akal)
    • Menyentuh Kemaluan dengan telapak tangan
    • Menyentuh kulit lawan jenis yang sudah dapat menarik syahwat dan bukan mahram, jika merasa nikmat
    • Riddah/murtad (keluar dari islam)
    • Ragu dalam kesucian wudhunya setelah meyakini atau berprasangka kuat adanya hadas.

     

     

    Menurut madzhab syafi’i pembatal wudhu ada lima perkara, yaitu sebagai berikut :

    • Keluar sesuatu apapun dari lubang qubul atau dubur, kecuali keluar air mani
    • Hilang Akal seperti mabuk, gila,
    • Tidur, kecuali tidur dalam posisi  duduk menetapi tempat duduk.
    • Menyentuh kulit lawan jenis yang bukan mahram walaupun tidaj disengaja dan walaupun persentuhan terjadi dengan mayit.
    • Menyentuh Kemaluan atau lubang dubur dengan telapak tangan

     

     

    Menurut madzhab hanbali pembatal wudhu ada delapan perkara, yaitu sebagai berikut :

    • Keluar sesuatu apapun dari lubang qubul atau dubur
    • Hilang Akal Karena Mabuk, gila, ayan dan tidur, kecuali tidur yang sebentar menurut urfiah dalam posisi berdiri atau duduk menetapi tempat duduk
    • Menyentuh Kemaluan atau lubang dubur dengan tangan, baik bagian dalam telapak tangan maupun bagian luar telapak tangan
    • Menyentuh kulit lawan jenis yang bukan mahram, jika dengan syahwat
    • Keluarnya benda najis dari badan dengan jumlah yang banyak
    • Memandikan mayit
    • Memakan daging unta
    • Munculnya perkara yang mewajibkan mandi, seperti jima, keluar mani, dan masuk islam (berdasarkan madzhab hanbali)

     

    HAL HARAM BAGI ORANG BERHADAS KECIL[6]

     

    Menurut madzhab hanafi perkara yang haram dilakukan oleh orang yang berhadas kecil atau tidak memiliki wudhu ada tiga perkara :

    • Sholat
    • Menyentuh mushaf al-qur’an tanpa penghalang
    • Membawa mushaf al-qur’an tanpa penghalang

     

     

    Menurut madzhab maliki perkara yang haram dilakukan oleh orang yang berhadas kecil atau tidak memiliki wudhu ada empat perkara :

    • Sholat
    • Thawaf
    • Menyentuh mushaf al-qur’an
    • Membawa mushaf al-qur’an

     

     

    Menurut madzhab syafi’i perkara yang haram dilakukan oleh orang yang berhadas kecil atau tidak memiliki wudhu ada empat perkara :

    • Sholat
    • Thawaf
    • Menyentuh mushaf al-qur’an
    • Membawa mushaf al-qur’an

     

     

    Menurut madzhab hanbali pembatal perkara yang haram dilakukan oleh orang yang berhadas kecil atau tidak memiliki wudhu ada empat perkara:

    • Sholat
    • Thawaf
    • Menyentuh mushaf al-qur’an tanpa penghalang
    • Membawa mushaf al-quran tanpa penghalang

     

     

    MASALAH IKHTILAFIAH I

     

    Ulama bereda pendapat apakah menyentuh kemaluan manusia dapat membatalkan wudhu atau tidak membatalkan. Malikiah, Syafi’iah, dan Hanabilah berpendapat bahwa hal tersebut membatalkan wudhu dengan ketentuan yang berbeda-beda pada masing-masing madzhab, sedangkan Hanafiah berpendapat hal tersebut tidak membatalkan wudhu secara muthlak.[7]

     

    Sebab perbedaan pendapat dalam masalah ini diantaranya adalah dua hal : Pertama, adanya hadis-hadis yang sama-sama kuat namun saling bertentangan, sehingga menimbulkan perbedaan pendapat ulama dalam menyikapinya.

     

    Hadis yang menetapkan batalnya wudhu ketika menyentuh kemaluan diantaranya adalah berikut ini :

     

     

    عَنْ بُسْرَةَ بِنْتِ صَفْوَانَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلَا يُصَلِّ حَتَى يَتَوَضَّأَ.

     

    Dari busroh binti shofwan bahwa sesungguhnya nabi Muhammad SAW berkata : barang siapa yang menyentuh kemaluannya maka hendaknya ia tidak sholat sampai ia berwudhu. (HR. Tirmidzi)[8]

     

     

    عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْوَلِيدِ الزُّبَيْدِيِّ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ وَأَيُّمَا امْرَأَةٍ مَسَّتْ فَرْجَهَا فَلْتَتَوَضَّأْ

     

    Dari Muhammad bin walid az-zubaidi dari amr bin syu’ain dari ayahnya dari kakeknya, ia berkata : rosullullah SAW berkata kepada ku “barang siapa yang menyentuh kemaluannya maka hendaknya ia berwudhu, dan siapapun perempuan yang mengusap kemaluannya maka hendaknya ia berwudhu. (HR. Ahmad)[9]

     

    عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَفْضَى بِيَدِهِ إِلَى ذَكَرِهِ لَيْسَ دُونَهُ سِتْرٌ فَقَدْ وَجَبَ عَلَيْهِ الْوُضُوءُ

     

    Dari abu Hurairah dari nabi Muhammad SAW beliau berkata  barang siapa yang menyentuh kemaluannya dengan tangaanya tanpa ada penghalang maka sungguh wajib baginya untuk berwudhu. (HR. Ahmad)[10]

     

    Adapun Hadis yang menetapkan bahwa menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudhu adalah sebagai berikut ini :

     

    عَنْ قَيْسِ بْنِ طَلْقٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَدِمْنَا عَلَى نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَاءَ رَجُلٌ كَأَنَّهُ بَدَوِيٌّ فَقَالَ يَا نَبِيَّ اللَّهِ مَا تَرَى فِي مَسِّ الرَّجُلِ ذَكَرَهُ بَعْدَ مَا يَتَوَضَّأُ فَقَالَ هَلْ هُوَ إِلا مُضْغَةٌ مِنْهُ 

     

    Dari Qais bin Thalq dari Ayahnya dia berkata: Kami pernah datang menghadap Nabiyullah , lalu datang seorang laki-laki yang sepertinya seorang pedalaman, lalu dia berkata: Wahai Nabi Allah, bagaimana menurut anda tentang seseorang yang menyentuh kemaluannya setelah dia berwudhu? Maka beliau bersabda: Bukankah kemaluannya itu hanya sekerat daging dari orang tersebut?”. (HR. Abu Daud) [11]

     

    Menurut ibnu rusyd dalam bidayah hidayah para ulama berusaha menafsirkan hadits-hadits ini dalam dua cara : Pertama, metode tarjih atau metode naskh (menghapus). Kedua, metode  jam’u wa taufiq (kompromi).


    Ulama yang menggunakan metode tarjih menganggap hadis busroh dan semisalnya lebih kuat. Begitu pula, ulama yang menggunakan metode nasakh menyatakan bahwa hadis busroh tersebut me-nasakh (menghapus) hadits Qois bin Thalq sehingga mereka berpendapat bahwa wudhu menjadi batal karena menyentuh kemaluan. Inilah metode yang digunakan oleh Malikiah, Syafi’iah, dan Hanabilah


    Ulama lain yang menggunakan metode tarjih dan menilai bahwa hadis Qois bin Thalq lebih kuat mereka berpendapat bahwa menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudhu. Inilah metode yang digunakan hanafiah.


    Sedangkan ulama lain yang menggunakan metode jam'u wa taufiq (berusaha untuk mengkompromikan antara hadis-hadis yang berlawanan) menetapkan bahwa menyentuh kemaluan itu membatalkan wudhu pada satu keadaan dan tidak membatalkan pada keadaan yang lainnya, disisi lain mereka juga memahami bahwa larangan  yang terdapat pada hadits Busrah tidak menunjukan keharaman, melainkan sekedar makruh saja oleh sebab itu disunahkan berwudhu bila telah menyentuh kemaluan, sementara hadits Qois bin Thalq mereka memahaminya bagwa hadis tersebut menunjukan tidak adanya kewajiban berwudhu karena menyentuh kemaluan, karena nabi menilai bahwa kemaluan hanya sebatas anggota tubuh biasa seperti tangan dan semisalnya. Inilah metode yang digunakan oleh sebagian hanafiah.

     

    Kedua, isytirok (beragam) nya makna yang terkandung didalam lafadz “afdho” pada hadis Abu Hurairoh diatas.

     

    Malikiah dan Syafi’iah memaknai kata “afdho” dengan arti mengusap yang mana hal tersebut (mengusap) hanya terjadi dengan bagian telapak tangan saja bukan dengan selainnya sehingga menyentuh kemaluan membatalkan wudhu hanya jika menggunakan bagian dalam telapak tangan, sedangkan Hanabilah memaknai kata “afdho” dengan arti menyentuh yang mana hal tersebut dapat terjadi baik dengan telapak tangan maupun dengan luar telapak tangan, sehingga menyentuh kemaluan dengan tangan dapat membatalkan wudhu.

     

    Berikut ini adalah rincian pendapat empat madzhab disertai sumber dan cara pengambilan dalil yang mereka gunakan terkait masalah apakah menyentuh kemaluan dapat membatalkan wudhu atau tidak membatalkan:[12]

     

    Menurut Hanafiah menyentuh kemaluan tidaklah menyebabkan hadas dan tidak membatalkan wudhu secara muthlak, karena hadis Qois bin Thalq dan semisalnya yang menyatakan bahwa wudhu tidak batal dengan sebab menyentuh kemaluan lebih diunggulkan dari pada hadis Busroh Binti Shofwan dan semisalnya yang menyatakan bahwa wudhu menjadi batal sebab menyentuh kemaluan,  namun disunnahkan untuk mencuci tangan bagi orang yang menyentuh kemaluannya berdasarkan dari penggabungan makna antara hadis yang menyatakan wudhu tidak batal dengan sebab menyentuh kemaluan yang lebih unggul dan hadis yang menyatakan bahwa wudhu menjadi batal dengan sebab menyentuh kemaluan yang dinilai marjuh (tidak diunggulkan) dengan memaknai kata “fal yatawadho’” pada hadis Busroh Binti Shofwan dengan arti “membasuh” atau “mencuci” tangan.

     

    Menurut malikiah dan syafi’iah menyentuh kemaluan menyebabkan hadas dan membatalkan wudhu jika dengan telapak tangan berdasarkan hadis-hadis yang menyatakan demikian. Adapun Hadis yang menyatakan bahwa wudhu tidak batal dengan sebab menyentuh kemaluan seperti hadis Qois bin Thalq maka hadis ini lemah dan tidak dapat dijadikan dalil, sebagaimana hadis tersebut dinilai lemah juga oleh Abu Hatim, Abu Zur'ah, ad-Daruquthni, al-Baihaqi, dan Ibnul Jauzi. Adapun pengkhususan batalnya wudhu dengan pengusapan telapak tangan saja maka hal tersebut dipahami dari kata “masaa” pada hadis busroh binti shofwan yang memunyai arti “mengusapdengan bagian dalam telapak tangan. Dengan demikian menyentuh kemaluan dengan selain telapak tangan tidak dapat disebut “mengusap” dan tidak membatalkan wudhu. Begitu pula redaksi “afdho” yang ada pada hadis abu hurairoh diartikan dengan makna “mengusap”. Hal ini sesuai dengan pendapat sebagian ahli lughoh seperti ibnu faris dalam Al-Mujmal.

     

    Menurut hanabilah menyentuh kemaluan menyebabkan hadas dan membatalkan wudhu baik dengan bagian dalam telapak tangan maupun bagian luar telapak tangan, ketetapan tersebut berdasarkan Hadis Busroh Binti Shofwan dan hadis lain yang menyatakan bahwa wudhu menjadi batal dengan sebab menyentuh kemaluan. sedangkan  hadis Qois bin Thalq yang menyatakan bahwa wudhu tidak batal dengan sebab menyentuh kemaluan dinilai “dhoif” (lemah), sebagaimana pandangan Syafi’iah. Adapun keumuman batalnya wudhu sebab menyentuh kemaluan baik dengan bagian dalam telapak tangan maupun bagian luar telapak tangan maka hal tersebut didasari oleh hadis Abi Hurairoh, karena pada hadis tersebut menggunakan redaksi “afdho bi yadihi, kata “afdhodiartikan dengan “menyentuh”, bukan “mengusap”. Berbeda dengan mengusap, kata menyentuh bermakna lebih umum baik dengan bagian dalam telapak tangan maupun bagian luarnya, sedangkan kata mengusap maknanya lebih khusus yaitu hanya persentuhan yang terjadi dengan bagian dalam telapak tangan saja. Dengan demikian, menyentuh kemaluan dengan tangan baik hal itu terjadi dengan bagian dalam telapak tangan maupun bagian luarnya dinilai tetap membatalkan wudhu.

     

     

    MASALAH IKHTILAFIAH II

     

    Ulama berbeda pendapat dalam masalah apakah persentuhan kulit antara pria dewasa dan wanita dewasa membatalkan wudhu atau tidak membatalkan  wudhuHanafiah berpendapat hal tersebut tidak membatalkan wudhu secara muthlak. Sedangkan Malikiah, Syafi’iah, dan Hanabilah berpendapat bahwa hal tersebut membatalkan wudhu dengan ketentuan yang berbeda-beda pada masing-masing madzhab.[13] 

     

    Sebab perbedaan pendapat ini terjadi karena dua hal, Pertama beragamnya makna “laamastum” pada ayat berikut :

     

    يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَقۡرَبُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَنتُمۡ سُكَٰرَىٰ حَتَّىٰ تَعۡلَمُواْ مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغۡتَسِلُواْۚ وَإِن كُنتُم مَّرۡضَىٰٓ أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوۡ جَآءَ أَحَدٞ مِّنكُم مِّنَ ٱلۡغَآئِطِ أَوۡ لَٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآءٗ فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدٗا طَيِّبٗا فَٱمۡسَحُواْ بِوُجُوهِكُمۡ وَأَيۡدِيكُمۡۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا 

     

    Wahai orang-orang yang beriman, janganlah mendekati salat, sedangkan kamu dalam keadaan mabuk sampai kamu sadar akan apa yang kamu ucapkan dan jangan (pula menghampiri masjid ketika kamu) dalam keadaan junub, kecuali sekadar berlalu (saja) sehingga kamu mandi (junub). Jika kamu sakit, sedang dalam perjalanan, salah seorang di antara kamu kembali dari tempat buang air, atau kamu telah menyentuh perempuan, sedangkan kamu tidak mendapati air, maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci). Usaplah wajah dan tanganmu (dengan debu itu). Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.

     

    Pada ayat ini adalah kata “laamas-tum” atau “laamasa” memiliki dua makna yaitu makna hakiki dan makna majazi (metafora, bukan makna sebenarnya). Makna hakiki dari “laamasa” adalah bersentuhan, sedangkan makna majazilaamasa” adalah bersetubuh. Hanafiah berpendapat bahwa makna “lamastum” pada ayat tersebut dalah makna majazi yaitu “bersetubuh”. Sedangkan Syafi’iah, Malikiah, dan Hanabilah berpendapat bahwa makna yang terdapat pada kata “laamastum” pada ayat ini adalah makna hakiki yaitu “bersentuhan” atau “menyentuh”. 

     

    Kedua, adanya perbedaan kriteria dalam penerimaan riwayat pada hadis berikut :

     

    عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا قَالَتْ كُنْتُ أَنَامُ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرِجْلايَ فِي قِبْلَتِهِ فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِي فَقَبَضْتُ رِجْلَيَّ فَإِذَا قَامَ بَسَطْتُهُمَا قَالَتْ وَالْبُيُوتُ يَوْمَئِذٍ لَيْسَ فِيهَا مَصَابِيحُ.

     

    Dari 'Aisyah isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, ia berkata, "Aku pernah tidur di depan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sementara kedua kakiku di arah Qiblat (shalatnya). Jika sujud beliau menyentuh kakiku, maka aku tarik kedua kakiku. Dan jika berdiri aku kembali meluruskan kakiku." 'Aisyah berkata, "Pada saat itu di rumah-rumah belum ada lampu penerang.[14]

     

    عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبَّلَ بَعْضَ نِسَائِهِ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلاةِ وَلَمْ يَتَوَضَّأْ

     

    Dari aisyah Ra, bahwa sesungguhnya nabi Muhammad SAW mencium Sebagian wanitanya kemudian ia keluar untuk sholat sedangkan beliau tidak berwudhu kembali.[15]

     

    Hanafiyah menerima hadis tersebut sebagai penguat pendapat mereka bahwa persentuhan kulit antara pria dewasa dan wanita dewasa tidaklah membatalkan wudhu. Malikiah dan Hanabilah juga menerima hadis tersebut dan menggabungkannya dengan pemahaman pada ayat surat an-nisa ayat 43 diatas dengan hasil yang berbeda, menurut malikiah persentuhan yang membatalkan adalah persentuhan yang terdapat kenikmatan didalamnya atau bertujuan untuk mendapat kenikmatan, sedangkan menurut hanabilah persentuhan yang membatalkan adalah persentuhan dengan syahwat. Adapun Syafi’iah mereka tidak menerima hadis tersebut sebagai dalil karena menilainya dhoif (lemah) dan mursal (tidak sampai ke nabi Muhammad) sehingga tidak dapat dijadikan rujukan hukum.[16]

     

    Berikut ini adalah rincian pendapat empat madzhab tersebut dalam masalah persentuhan kulit secara langsung antara pria dan wanita dewasa yang bukan mahrom :[17]

     

    Menurut hanafiah persentuhan kulit antara pria dewasa dan wanita dewasa yang bukan mahrom tidaklah membatalkan wudhu secara muthlak. Mereka berpendapat demikian karena memaknai kata “laamastum” pada ayat diatas dengan makna bersetubuh bukan bersentuhan. mereka juga tidak menganggap batalnya wudhu karena persentuhan kulit antara pria dewasa dan wanita dewasa karena dilandasi oleh hadis yang menyatakan bahwa nabi Muhammad mencium istrinya lalu keluar untuk sholat tanpa berwudhu kembali.

     

    Menurut malikiah persentuhan kulit antara pria dewasa wanita dewasa yang bukan mahrom membatalkan wudhu jika mengandung kenikmatan. Mereka berpendapat demikian karena memaknai “lamastum” dengan arti “bersentuhan” dan mereka mensyaratkan adanya “kenikmatan” karena menerima hadis aisyah diatas kemudian menggabungkan antara pemahaman Surat An-Nisa Ayat 43 dan Hadis A’isyah yang menunjukan bahwa wudhu tidak Menjadi batal hanya semata-mata karena persentuhan kulit antara lelaki & wanita yang bukan mahrom saja, melainkan karena ada sebab lain yaitu adanya kenikmatan.

     

    Menurut syafi’iah persentuhan kulit antara pria dewasa dan wanita dewasa yang bukan mahrom, membatalkan wudhu. Mereka berpendapat demikian karena memaknai “lamastum” dengan arti “bersentuhan” dan mereka tidak menerima hadis aisyah yang menyatakan bahwa nabi Muhammad mencium istri nya lalu keluar untuk sholat tanpa berwudhu kembali karena hadis ini dinilai dhoif.

     

    Menurut hanabilah persentuhan kulit antara pria dewasa dan wanita dewasa yang bukan mahrom dapat membatalkan wudhu, baik sentuhan dengan telapak tangan maupun dengan punggung telapak tangan. Madzhab hanbali berpendapat demikian karena mereka memaknai “lamastum” dengan arti “bersentuhan” secara umum dan menyeluruh. mereka mensyaratkan adanya “kenikmatan” karena menerima hadis aisyah diatas kemudian menggabungkan (jam'u wa taufiq) antara pemahaman Surat An-Nisa Ayat 43 dengan Hadis A’isyah yang menunjukan bahwa wudhu tidak Menjadi batal hanya karena persentuhan kulit antara lelaki dan wanita yang bukan mahrom saja, melainkan karena ada sebab lain yaitu adanya kenikmatan. Sebagaimana diutarakan oleh madzhab maliki.


    Perlu diperhatikan, bahwa maksud dari kata "dewasa" disini bukanlah terkhusus pada "orang yang sudah baligh" saja, melainkan lebih umum yaitu kondisi fisik seseorang yang sudah dapat mengundang syahwat orang lain pada umumnya. misalnya, jika terdapat anak berumur 8 tahun (belum baligh) namun memiliki fisik seperti orang berumur 18 tahun yang sudah dapat mengundang syahwat orang lain pada umumnya (berdasarkan syahwat umumnya manusia, bukan berdasarkan syahwat orang yang berkelainan seperti pedofil) maka anak tersebut sudah dinilai dewasa secara fisik. sehingga bersentuhan kulit dengannya tanpa ada penghalang dan tanpa ada hubungan mahrom hukumnya membatalkan wudhu menurut syafi'iah.


    MASALAH IKHTILAFIAH III

     

    Ulama berbeda pendapat tentang Tertib (berurutan) dalam amalan wudhu. Hanafiah dan Malikiah berpendapat bahwa tertib hanya sunnah wudhu saja dan bukan termasuk fardhu wudhu sehingga bila tertib tidak dikerjakan wudhu tetap sah, sedangkan Syafi’iah dan Hanabilah berpendapat bahwa tertib merupakan fardhu wudhu dan bila tidak dikerjakan maka wudhu menjadi tidak sah.

     

    Sebab perbedaan pendapat tersebut adalah dua hal:  Pertama, makna yang terkandung dalam huruf wawu athof pada ayat berikut :

     

    يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

     

    Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki.

     

    Terkadang, wawu athof digunakan untuk bermakna tartib (berurutan), dan terkadang tidak mengandung makna tartib. Ulama nahwu (gramatika) dalam hal ini terbagi dua pendapat, ulama Bashrah berpendapat bahwa wawu athof tidak mengandung makna urutan, ia hanya mengandung makna menyatukan, sementara ulama Kufah menyatakan bahwa wawu mengandung makna urutan. Maksudnya, ulama yang berpendapat bahwa wawu athof dalam ayat tentang wudhu mengandung makna urutan, mereka menggunakan pendapat ulama kuffah yang menetapkan makna tertib didalam wawu athof sehingga mewajibkan tertib. Sedangkan ulama yang tidak mewajibkan tertib mereka mengunakan pendapat ulama bashroh yang tidak menetapkan makna tertib didalam wawu athof, sehingga tidak ada kewajiban tertib dalam wudhu.

     

    Kedua, perbedaan dalam penerimaan hadis. Mayoritas hadis tentang wudhu menyebutkan bahwa nabi Muhammad SAW selalu berwudhu dengan cara berurutan, sebagaimana hadis berikut ini :

     

     عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ تَوَضَّأَ فَغَسَلَ وَجْهَهُ أَخَذَ غَرْفَةً مِنْ مَاءٍ فَمَضْمَضَ بِهَا وَاسْتَنْشَقَ ثُمَّ أَخَذَ غَرْفَةً مِنْ مَاءٍ فَجَعَلَ بِهَا هَكَذَا أَضَافَهَا إِلَى يَدِهِ الأُخْرَى فَغَسَلَ بِهِمَا وَجْهَهُ ثُمَّ أَخَذَ غَرْفَةً مِنْ مَاءٍ فَغَسَلَ بِهَا يَدَهُ الْيُمْنَى ثُمَّ أَخَذَ غَرْفَةً مِنْ مَاءٍ فَغَسَلَ بِهَا يَدَهُ الْيُسْرَى ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ ثُمَّ أَخَذَ غَرْفَةً مِنْ مَاءٍ فَرَشَّ عَلَى رِجْلِهِ الْيُمْنَى حَتَّى غَسَلَهَا ثُمَّ أَخَذَ غَرْفَةً أُخْرَى فَغَسَلَ بِهَا رِجْلَهُ يَعْنِي الْيُسْرَى ثُمَّ قَالَ هَكَذَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ

     

    dari [Ibnu 'Abbas], bahwa Nabi Muhammad SAW berwudlu', ia mencuci wajahnya, lalu mengambil air satu cidukan tangan dan menggunakannya untuk berkumur dan istintsaq, lalu ia kembali mengambil satu cidukan tangannya dan menjadikannya begini -menuangkan pada tangannya yang lain-, lalu dengan kedua tangannya ia membasuh wajahnya, lalu mengambil air satu cidukan dan membasuh tangan kanannya, lalu kembali mengambil air satu cidukan dan membasuh tangannya yang sebelah kiri. Kemudian mengusap kepala, lalu mengambil air satu cidukan dan menyela-nyela kaki kanannya hingga membasuhnya, lalu mengambil air satu cidukan lagi dan membasuh kaki kirinya. Setelah itu ia berkata, "Seperti inilah aku lihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berwudlu."[18]  (HR. Bukhori)

     

    Namun, terdapat hadis ibnu Abbas yang menyatakan bahwa nabi pernah melakukan wudhu dengan tidak tertib, berikut ini hadisnya :

     

    عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا : { أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ فَغَسَلَ وَجْهَهُ ثُمَّ يَدَيْهِ ثُمَّ رِجْلَيْهِ ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ }

    Dari ibnu Abbad RA : sesungguhnya nabi Muhammad SAW berwudhu, beliau membasuh wajahnya, kemudian kedua tangannya, kemudian kakinya, kemudian kepalanya.[19]

     

    Makna hadis yang kedua ini, menjelaskan bahwa ketika berwudhu Rasulullah pernah mendahulukan membasuh kaki baru kemudian diakhir dengan mengusap kepala. Hal ini berbeda dengan urutan yang disebutkan didalam Al-Qur’an dan hadis lain yang menjelaskan bahwa rosul mengusap muka kemudian tangan, kemudian mengusap kepala, dan kemudian membasuh kaki.

     

    Hanafiah dan Malikiah menerima hadis ini sebagai dalil, sedangkan Syafi’iah dan Hanabilah menilai hadis ini adalah hadis dhoif sehingga tidak dapat dijadikan hujjah atau dalil.

     

    Ketiga, perbedaan dalam memahami perbuatan Nabi SAW ketika wudhu dengan cara tertib apakah menunjukan kewajiban atau kesunnahan ?. Hanafiah dan Malikiah memahami bahwa perbuatan Nabi SAW dalam tertib ketika berwudhu menunjukan kesunnahan, maka tertib pun sunnah. Adapun Syafi’iah dan Hanabilah memahami bahwa perbuatan Nabi SAW dalam tertib ketika berwudhu menunjukan kewajiban, maka mereka berpendapat bahwa tertib itu adalah wajib dalam wudhu, karena tidak ada satu riwayat yang shajih yang menjelaskan bahwa beliau melakukan wudhu dengan tidak tertib, Adapun hadis Riwayat ibnu abbas yang menceritakan bahwa Rosullulah pernah melakukan wudhu dengan tidak tertib maka hadis tersebut adalah hadis yang dhoif dan tidak bisa dijadikan hujjah.

     

    Berikut ini adalah rincian pendapat empat madzhab tersebut disertai sumber dan cara pengambilan dalil yang mereka gunakan terkait masalah apakah tertib termasuk fardhu wudhu atau tidak :[20]

     

     

    Menurut hanafiah dan malikiah tertib bukanlah fardhu wudhu, Ayat perintah wudhu diatas hanya memerintahkan untuk membasuh anggota tubuh tanpa dan “athof” (kata "dan") yang terdapat didalam ayat tersebut tidak bermakna harus berurutan, maka bagaimanapun cara orang yang wudhu membasuh anggota tubuhnya baik dengan tertib maupun tidak dengan tertib, ia dinilai sudah memenuhi perintah Allah pada ayat tersebut. Adapun hadis yang meriwayatkan bahwa nabi Muhammad berwudhu dengan cara berurutan maka hal tersebut hanya mengandung ketetapan sunnah saja, bukan bermakna wajib.

     

    Menurut Syafi’iah dan hanabilah tertib merupakan fardhu wudhu, Ayat perintah wudhu diatas selain memerintahkan untuk wudhu juga memerintahkan tertib dalam wudhu, karena “athof” yang terdapat didalamnya bermakna harus berurutan, hal ini didukung pula oleh hadis yang meriwayatkan bahwa nabi Muhammad berwudhu dengan cara berurutan. Selain itu pada ayat perintah wudhu diatas terdapat perintah mengusap wajah  dengan redaksi “wamsahu bi ru’usikum” yang berada ditengah-tengah perintah “membasuh” anggota tubuh, hal ini menunjukan adanya perintah urutan, karena dalam bahasa arab pemotongan suatu kata dari yang diathofkannya pasti memiliki suatu faidah, dan faidah yang terdapat disini adalah adanya tertib (urutan). Dengan demikian, tertib juga merupakan perintah yang terkandung dalam ayat kewajiban wudhu.

     

     

    SUMBER PRIMER :

     

    • Fiqh Ibadah Ala Madzhab Hanafi, Hajah Najah Al-Halabi, Bab Wudhu
    • Fiqh Hanafi Muyasar, Dr. Wahbah Zuhaili, Bab Wudhu
    • Fiqh Ibadah Ala Madzhab Maliki, Hajah Kaukab Ubaid, Bab Wudhu
    • Fiqh Maliki Muyasar, Dr. Wahbah Zuhaili, Bab Wudhu
    • Fiqh Ibadah Ala Madzhab Syafi'i, Hajah Duriyah al-Ithah, Bab Wudhu
    • Fiqh Syafi’i Muyasar, Dr. Wahbah Zuhaili, Bab Wudhu
    • Fiqh Ibadah Ala Madzhab Hanbali, Hajah Su'ad Zarzur, Bab Wudhu
    • Fiqh Hanbali Muyasar, Dr. Wahbah Zuhaili, Bab Wudhu
    • Bidayah Al-Hidayah, Ibnu Rusyd, Bab Wudhu
    • Maushu’ah Fiqih Kuwait, Kementerian Agama Dan Wakaf Kuwait, Wudhu
    • Fiqih Islam Wa Adilatuhu, Dr. Wahbah Zuhaili, Bab Wudhu

     

     




    Semoga amal ini diterima Allah SWT. dihadiahkan untuk orang yang banyak menanggung kesulitan karena kami, yaitu khususnya orang tua, guru, adik, keluarga, istri, anak, dan sahabat.

     

     

     

     

    waullohu a'lam

     

     

    M. Rifqy Aziz Syafe’i

     



    [1] Maushua’ah Fiqhiah Kuwaitiah, juz 43, hal.327-328

    [2] Al-Iqna Fi Masa’il Ijma’, juz 1, hal.81

    [3] Fiqh Hanafi Muyasar, juz 1, hal. 54 / Fiqh Syafi’i Muyasar juz 1 hal.119 / Fiqh Hanbali Muyasar, hal.194 / Khulasoh Al-Fiqhiah Ala Madzhab As-Sadah Al-Malikiah, juz.1 hal.15 / Maushua’ah Fiqhiah Kuwaitiah, juz 43, hal.329

    [4] Fiqh Hanafi Muyasar, juz 1, hal. 54 / Fiqh Maliki Muyasar, juz 1, hal.34 / Fiqh Syafi’i Muyasar juz 1, hal.114 / Fiqh Hanbali Muyasar, juz 1, hal.99 / Maushua’ah Fiqhiah Kuwaitiah, juz 43, hal.332.

    [5]  Fiqh Hanafi Muyasar, juz 1, hal. 64 / Fiqh Maliki Muyasar, juz 1, hal.38 / Fiqh Syafi’i Muyasar juz 1, hal.126 / Fiqh Hanbali Muyasar, juz 1, hal.114 / Maushua’ah Fiqhiah Kuwaitiah, juz 43, hal.385.

    [6] Fiqh Ibadah ala Madzhab Hanafi, jiz 1, hal.44 / Fiqh Hanafi Muyasar, juz 1, hal. 77 / Fiqh Ibadah ala Madzhab Maliki, juz 1, hal. 75 / Fiqh Maliki Muyasar, juz 1, hal.40 / Fiqh Ibadah ala Madzhab Syafi'i, juz 1, hal. 130 / Fiqh Syafi’i Muyasar juz 1, hal.104 / Fiqh Ibadah ala Madzhab Hanbali, juz 1, hal. 113 / Fiqh Hanbali Muyasar, juz 1, hal.114 / Maushua’ah Fiqhiah Kuwaitiah, juz 43, hal.320 / Fiqh Islam Wa Adillatuhu, juz 1, hal. 449

    [7] Bidayah Mujtahid, juz 1, hal. 45 / Bughyatul Muqtasid, juz 1, hal.469

    [8] Sunan Tirmidzi, juz 1, hal. 126

    [9] Al-Musnad Al-Maudhu’i, juz 10, hal.41

    [10] Al-Musnad Al-Maudhu’i, juz 10, hal.34

    [11] Sunan Abi Daud, Juz 1, hal.46

    [12] Maushu’ah Fiqih Kuwait juz 17 hal.118.

    [13] Bidayah Mujtahid, juz 1, hal.43 / Bughyatul Muqtasid, juz,1 hal.464

    [14] Fathul Bari Syarah Shahih Bukhori, juz 1, hal 586

    [15] Bulughul Marom, hal.70

    [16] Maushuah Fiqih Kuwaitiah, juz 43, hal. 393

    [17] Fiqih Islam Wa Adilatuhu  juz 1, hal.439 / Bidayah Mujtahid  juz 1, hal.40 / Maushu’ah Fiqih Kuwait juz 17 hal.118.

    [18] Shahih Bukhori, juz 1, hal.40

    [19] Majmu Syarah Muhadzab, juz 1, hal.441

    [20] Fiqih Islam Wa Adilatuhu, juz 1, hal.384/ Bidayah Mujtahid, juz 1, hal.23 / Maushu’ah Fiqih Kuwait juz 17 hal.118.