UCAPAN "INI KURBAN KU", MERUBAH KURBAN SUNNAH IDUL ADHA MENJADI KURBAN NAZAR ?

 



TANYA

Apa batasan qurban dinamakan qurban nazar ? Apakah hanya karena perkataan " ini qurbanku " sudah membuat kurban menjadi qurban nazar yang wajib ?

 

JAWAB

Kurban dinyatakan sebagai kurban nadzar bila memang diniatkan oleh pemilik kurban untuk membayar nadzar dan diucapkan dengan ucapan yang jelas oleh pemilik kurban sebagai bentuk pernyataan nazar.

Jika ucapan "ini kurbanku" tujuannya adalah ikhbar (sekedar ucapan berita saja), maka kurbannya tidak menjadi kurban nadzar. Namun, jika pemilik kurban yang berkata "ini kurbanku" berniat untuk kurban wajib (nadzar) dengan maksud iqrar/insya (pengakuan bahwa ini kurban wajib), maka hukum kurbannya menjadi nadzar yang wajib, hewan tersebut tidak boleh dijual maupun diganti dengan hewan lain, bila mati maka wajib mengganti, dan ketika sudah disembelih wajib disedekahkan semuanya.

Jadi, pihak panitia kurban harus menanyakan kembali kepada orang yang berkurban, apakah maksud dari kurbannya itu adalah kurban idul adha ataukah berniat kurban untuk nadzar ? Jika ia berniat kurban idul adha maka kurbannya adalah kurban idul adha dan jika ia berniat kurban nazar maka kurbannya adalah kurban nadzar.

Lebih jelas lagi, kata-kata “ini kurbanku” atau "ini kurban" atau "saya berkurban" dan semisalnya yang diucapkan oleh masyarakat awam, tidaklah semerta-merta menjadikan kurbannya menjadi kurban nadzar. Ungkapan “ini kurbanku” dari masyarakat awam hanya bermakna “ikhbar” (sekedar pemberitahuan bahwa hewan ini adalah kurbannya) bukan bermakna insya’/ Iqrar. Karena ada dugaan kuat ketidak tahuan masyarakat terhadap hukum, maka perlu ditanyakan kepada pemilik kurban apa sebenarnya maksud dari ucapan tersebut sebagaimana telah diurai diatas. Jadi, bila ada orang yang hendak berkurban datang ke masjid atau ke panitia kurban, kemudian dia berkata : "ini kurban saya" atau "saya kurban", maka respon panitia kurban atau pengurus masjid yang baik adalah bertanya kepada pemilik kurban : "ini kurban idul adha atau bukan ?" atau "ini kurban idul adha atau kurban nazar ?" ketika pemilik kurban sudah menjawab maka hewan kurban diperlakukan sebagaimana maksud dari pemilik kurban. Bila perlu, panitia menjelaskan perbedaan antara kurban sunnah idhul adha dengan kurban wajib nazar sekaligus konsekwensinya, sebagai bentuk edukasi kepada masyarakat.

Solusi lebih ringkas agar terhindar dari kemungkinan samarnya niat, pihak panitia kurban atau pengurus masjid dapat memberikan selembar kertas kepada orang yang hendak berkurban dengan berisi tulisan niat kurban sunnah yang kemudian dibaca dan diniatkan oleh pihak yang ingin berkurban. Diantara contoh redaksi niat kurban sunnah idul adha adalah sebagai berikut: 

نَوَيْتُ أَنْ أُضَحِّيَ عَنْ نَفْسِيْ سُنَّةً ِلِلَّهِ تَعَالَى

“Saya niat berqurban sunnah idhul adha untuk diri sendiri karena Allah SWT.”


( Niat tidak harus berbahasa arab, hal yang penting dalam niat adalah adanya pengungkapan maksud didalam hati pelaksana untuk menunaikan kurban, walaupun berbahasa indonesia. Jika orang yang kurban memasrahkan penyembelihan atau pengurusan udkhiah kepada panitia atau pengurus masjid maka niat kurban dilaksanakan ketika orang yang hendak berkurban menyerahkan hewan kurbannya ke panitia kurban atau pengurus masjid)




Sebagai tambahan, Sebab persoalan ini muncul karena ada redaksi dari kitab ulama salaf shalih seperti Imam Ibrahim Al-Bajuri dalam kitab Hasyiah Bajuri Ala Fathil Qorib yang menyatakan bahwa ucapan “hadzihi udhiyatun” (ini adalah kurban) akan menyebabkan kurban menjadi kurban nadzar karena sudah ada shigot "ta'yin" (penentuan) sebagai nazar. lalu, sebagian orang yang membaca teks tersebut langsung mengambil kesimpulan dan menyatakan bahwa “jika pemilik kurban mengucapkan : ini kurbanku, maka ia menjadi nadzar dan wajib disedekahkan semuanya” tanpa terlebih dahulu melihat kecocokan teks, kesesuain konteks penerapan, dan tanpa memperkaya kajian dari referensi kitab lain. Padahal, kesimpulan dan pemahamannya tersebut tidak benar-benar sesuai dengan keterangan para ulama salaf yang lebih faham.

Mengapa demikian ? karena ada penjelasan para ulama yang benar-benar mumpuni bahwa ucapan “hadzihi udkhiah” (ini kurban) baru menjadi nadzar bila orang yang mengucapkannya berniat nadzar, seperti penjelasan imam Syarwani dalam Hasyiah Tuhfatul Muhtaj, dan Syeikh Nawawi Banten dalam Syarah Riyadh Badi’ah.

Perlu diingat, bahwa masyarakat awam disekitar tidak mengetahui hukum-hukum fiqih yang mendetail seperti ini, jangankan masalah kurban yang setahun sekali dilaksanakan dan nadzar yang jarang terjadi, masalah wudhu dan shalat saja masih banyak masyarakat yang belum mengetahui syarat, rukun, dan pembatalnya. Jadi perlu bagi panitia untuk memastikan apa niat pemilik kurban sebenarnya dan panitia kurban tidak bisa semerta-merta mengatakan bahwa kurbannya bukan kurban idul adha melainkan kurban nadzar yang semuanya wajib disedekahkan. Lagipula, ungkapan yang ada didalam kitab adalah  “hadzihi udkhiyatun” yang artinya "ini adalah kurban", bukan bermakna "ini adalah kurban-ku", walaupun hampir mirip tapi tetap saja berbeda.

Mengapa harus serumit itu untuk menetapkan hukum ? karena fiqih itu tumbuh dan hidup dengan lingkungan masyarakat. Sebuah teks hukum baru akan membumi dan terterap dengan benar apabila sudah memperhitungkan situasi dan kondisi dimana ia diterapkan serta memperkaya kajian fiqih dari berbagai sisi. Langsung melompat dari satu kesimpulan ke kesimpulan lain tanpa disusun dengan data dan premis yang benar hanya aman dilakukan dalam dunia pikiran dan imajinasi, tidak didalam kenyataan dan penerapan.

Jadi, sepantasnya setelah membaca redaksi kitab kuning kita tidak langsung mengambil kesimpulan dan menetapkan hukum, melainkan terlebih dahulu mendalami arti, mencari referensi penjelas atau tandingan, mengukur argumentasi, meninjau kaidah bermadzhab, lalu memperhatikan bagaimana kondisi masyarakat sekitar, kemudian meninjau penerapan aturan-aturan teks hukum fiqih yang didasari dengan keringanan seperti ibadah diperlakukan sebagaimana mestinya, bagitu pula aturan-aturan fiqih yang didasari dengan kehati-hatian dan ketat seperti masalah hak sesama manusia diperlakukan demikian, sehingga teks hukum fiqih yang disampaikan para ulama dapat utuh terterap tanpa menimbulkan keributan yang sebenarnya tidak perlu.

Dampak fatal dari penerapan fiqih yang serampangan akan menjauhkan hati masyarakat dan membuat mereka enggan mengenal agama islam serta mempersulit diri sendiri, begitu pula dampak terlalu menganggap ringan penerapan fiqih dengan mencari pendapat yang mudah-mudah saja akan membuat masyarakat menilai remeh dan menggampangkan urusan agama. Maka tawasuth dan tawazun adalah jalan yang paling baik dan sesuai dalam penerapan hukum fiqih dengan tahapan cara yang telah diisyaratkan diatas.

 

Wallohu a'lam.

 

 



REFERENSI


  • Hasyiah Bajuri Ala Fathil Qorib, Juz 2, hal. 310 :

مِنْ قَوْلِهِمْ "هَذِهِ اُضْحِيَةٌ" تَصِيْرُ بِهِ وَاجِبَةً وَيَحْرُمُ عَلَيْهِمْ الأَكْلُ مِنْهَا وَلاَ يُقْبَلُ قَولُهُمْ: "أرَدْنَا التَّطَوُّعَ بِهَا" خِلاَفًا لِبَعْضِهِمْ، وَقَالَ الشِبْرَامَلِسِى: لاَيَبْعُدُ اِغْتِفَارُ ذَلِكَ العَوَامِ وَهُوَ قَرِيْبٌ... نَعَمْ لاَتَجِبُ بِقَولِهِ وَقْتَ ذَبْحِهَا: اللَّهُمَّ هَذِهِ اُضْحِيَتِى فَتَقَبَّلْ مِنِّى يَا كَرِيْمُ.

 

  • Syarah Yaqut Nafis, hal. 824

( تَنْبِيهٌ ) مَنِ اشْتَرَى شَاةً وَقَالَ " هَذِهِ أُضْحِيَّتِي" لَازَمَتْهُ  وَوَجَبَ التَّصَدُّقُ بِلَحْمِهَا كُلِّهِ. إِنَّمَا بَعْضُ الْمُتَأَخِّرِينَ قَالَ : لَا تَجِبُ بِالنِّسْبَةِ لِلْعَامَّةِ لِأَنَّ الْعَامِّي مَعْذُورٌ لِأَنَّهُ لَا يُدْرِكُ مَعْنَى مَا قَالَهُ وَلَا يَقْصِدُ بِهِ النَّذْرَ، وَالْعِبَارَةُ إِنْشَاءٌ لَا إِقْرَارٌ يَعْنِي غَيْرَ مُقِرٍّ بِأَنَّهَا أُضِيحَتْ أُضْحِيَّتُهُ بِمَعْنَى هَذِهِ الشَّاةِ الَّتِي أُرِيدُ أَنْ أُضَحِّيَ بِهَا. وَفُرِّقَ بَيْنَ نِيَّةِ النَّذْرِ وَنِيَّةِ الْأِخْبَارِ كَمَا قَالَ فِي حَاشِيَةِ الْيَاقُوتِ: يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ مَحَلُّهُ مَا لَمْ يَقْصِدْ الْأَخْبَارَ

 

 

  • Bughyah Musytarsidin, hal. 845

( مَسْأَلَةٌ : ب ) ظَاهِرُ كَلَامِهِمْ أَنَّ مَنْ قَالَ : "هَذِهِ أُضْحِيَّةٌ" أَوْ "هِيَ أُضْحِيَّةٌ" أَوْ "هَدْيٌ" تَعَيَّنَتْ وَزَالَ مِلْكُهُ عَنْهَا، وَلَا يَتَصَرَّفُ إِلَّا بِذَبْحِهَا فِي الْوَقْتِ وَتَفْرِقَتِهَا، وَلَا عِبْرَةَ بِنْيَتِهِ خِلَافَ ذَلِكَ، لِأَنَّهُ صَرِيحٌ ، قَالَ اَلْأَذْرُعِي : كَلَامُهُمْ ظَاهِرٌ فِي أَنَّهُ إِنْشَاءٌ وَهُوَ بِالْإِقْرَارِ أَشْبَهُ، وَاسْتَحْسَنَهُ فِي الْقَلَائِدِ قَالَ : وَمِنْهُ يُؤْخَذُ أَنَّهُ إِنْ أَرَادَ أَنِّي أُرِيدُ اَلتَّضْحِيَةَ بِهَا تَطَوَّعًا كَمَا هُوَ عُرْفُ النَّاسِ اَلْمُطَّرِدُ فِيمَا يَأْخُذُونَهُ، لِذَلِكَ: حُمِلَ عَلَى مَا أَرَادَ، وَقَدْ أَفْتَى الْبُلْقِينِي وَالْمَرَاغِي بِأَنَّهَا لَا تَصِيرُ مَنْذُورَةً بِقَوْلِهِ : "هَذِهِ أُضْحِيَّتِي" بِإِضَافَتِهَا إِلَيْهِ ، وَمِثْلُهُ : هَذِهِ عَقِيقَةُ فُلَانٍ، وَاسْتَشْكَلَ ذَلِكَ فِي التُّحْفَةِ ثُمَّ رَدَّهُ ، وَالْقَلْبُ إِلَى مَا قَالَهُ اَلْأَذْرُعِي أَمِيلُ

 

  • Hasyiah Syarwani Ala Tuhfatuh, Juz, 9, hal.346

‏( ﻗَﻮْﻟُﻪُ : ﺃَﻭْ ﻫَﺬِﻩِ ﺃُﺿْﺤِﻴَّﺔٌ ﺇﻟَﺦْ ‏) ﻳَﻨْﺒَﻐِﻲ ﺃَﻥْ ﻳَﻜُﻮﻥَ ﻣَﺤَﻠُّﻪُ ﻣَﺎ ﻟَﻢْ ﻳَﻘْﺼِﺪْ ﺍﻟْﺈِﺧْﺒَﺎﺭَ ﻓَﺈِﻥ ﻗَﺼَﺪَﻩُ ﺃَﻱْ ﻫَﺬِﻩِ ﺍﻟﺸَّﺎﺓَ ﺍﻟَّﺘِﻲ ﺃُﺭِﻳﺪُ ﺍﻟﺘَّﻀْﺤِﻴَﺔَ ﺑِﻬَﺎ ﻓَﻠَﺎ ﺗَﻌْﻴِﻴﻦَ ﺍﻫـ .

 

  • Al-Tsimaru al-Yani’ah Syarh Riyadh Badi’ah, hal. 80 :

ﻭَﻗَﺎﻝَ ﺍﻟﻌَﻼَّﻣَﺔُ ﺍﻟﺴَّﻴِّﺪُ ﻋُﻤَﺮُ ﺍﻟﺒَﺼْﺮِﻯ ﻓِﻰ ﺣَﻮَﺍﺵِ ﺍﻟﺘُّﺤْﻔَﺔِ ﻳَﻨْﺒَﻐِﻰ ﺃَن يَكُوْنَ ﻣَﺤَﻠُّﻪُ ﻣَﺎﻟَﻢْ ﻳَﻘْﺘَﺼِﺪ ﺍلْاِﺧْﺒَارَ، ﻓَﺈﻥْ ﻗَﺼَﺪَﻩُ ﺍﻯ ﻫَﺬِﻩِ ﺍﻟﺸَّﺎﺓَ ﺍﻟَّﺘِﻰ ﺃُﺭِﻳْﺪُ ﺍﻟﺘَّﻀْﺤِﻴَﺔِ ﺑِﻬَﺎ ﻓَﻼَ ﺗَﻌْﻴِﻴْﻦَ. ﻭَﻗَﺪْ ﻭَﻗَﻊَ ﺍﻟﺠَﻮَﺍﺏُ ﻛَﺬَﺍﻟِﻚَ ﻓِﻰ ﻧَﺎﺯِﻟَﺔٍ ﻭَﻗَﻌَﺖْ ﻟِﻬَﺬَﺍ ﺍﻟﺤَﻘِﻴْﺮِ ﻭَﻫِﻲَ ﺍﺷْﺘَﺮَﻯ ﺷَﺎﺓً ﻟِﻠﺘَّﻀْﺤِﻴَﺔِ ﻓَﻠَﻘِﻴَﻪُ ﺷَﺤْﺺٌ ﺁﺧَﺮُ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻣَﺎ ﻫَﺬِﻩِ ؟ ﻓَﻘَﺎﻝَ: أُﺿْﺤِﻴَﺘِﻰ






M. Rifqy Aziz Syafe'i