KAJIAN KASYIFATU SAJA (PERTEMUAN :1)




KAJIAN KASYIFATU SAJA’ SYARAH SAFINAH

PENGAJIAN ALUMNI PUTRA DAARUS SA’ADAH 1

M. RIFQY AZIZ SYAFE’I



 

الحلقة الاولى

PERTEMUAN PERTAMA





BAGIAN :

MUQODIMAH




بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Kami Mulai Mengaji Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih

Lagi Maha Penyayang


 

اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ وَفَّقَ مَنْ شَاءَ مِنْ عِبَادِهِ لِأَدَاءِ أَفْضَلِ الطَّاعَاتِ، وَاكْتِسَابِ أَكْمَلِ السَّعَادَاتِ،

Segala puji bagi Allah, Dzat yang memberi taufiq kepada siapa saja yang Dia kehendaki di antara para hamba-Nya untuk menunaikan berbagai ketaatan yang paling utama, dan berusaha meraih berbagai kebahagiaan yang paling sempurna.

 

وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ الْمُتَّصِفُ بِجَمِيْعِ الْكَمَالَاتِ،

Dan aku bersaksi bahwa sesungguhnya tidak ada tuhan yang patut disembah selain Allah, yang bersifat dengan segala kesempurnaan.

 

وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رُسُوْلُهُ أَفْضَلُ الْمَخْلُوْقَاتِ

Dan aku bersaksi sesungguhnya Baginda kita, Nabi Muammad s.a.w. adalah hamba-Nya dan utusan-Nya, adalah beliau seutama-utama makhluk.

 

صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ، وَ عَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ الْأَنْجُمِ النِّيْرَاتِ،

Semoga Allah mencurahkan rahmat dan keselamatan kepada beliau, dan kepada para keluarga beliau, dan para sahabat beliau, sang bintang gemintang yang bersinaran.

صَلَاةً وَ سَلَامًا دَائِمَيْنِ مَا دَامَتِ الْأَرْضُ وَالسَّموَاتِ.

Dengan limpahan rahmat dan keselamatan yang senantiasa tercurah selama bumi dan tujuh lapis langit [masih] tetap ada.


(أَمَّا بَعْدُ) فَيَقُوْلُ الْعَبْدُ الْفَقِيْرُ الْمُضْطِرُّ لِرَحْمَةِ رَبِّهِ الْحَلِيْمِ الْخَبِيْرِ، لِكَثْرَةِ التَّقْصِيْرِ وَ الْمَسَاوِيْ،

(Adapun setelah itu), maka berkata seorang hamba yang fakir, lagi sangat butuh kepada rahmat Tuhannya, Yang Maha Welas Asih lagi Maha Mengawasi, karena banyak [melakukan] kecerobohan dan berbagai dosa.

 

أَبُوْ عَبْدِ الْمُعْطِي مُحَمَّدٌ نَوَوِي بْنُ عُمَرَ الْجَاوِيُّ،

yaitu Syaikh Abū ‘Abd-il-Mu‘thī Muammad Nawawī bin ‘Umar berkebangsaan Jawa.

 

الشَّافِعِيُّ مَذْهَبًا اَلْبَنْتَنِيُّ إِقْلِيْمًا التَّنَارِيُّ مَنْشَأً وَ دَارًا

Imam Syāfi‘ī sebagai [anutan] madzhab-nya, Banten sebagai wilayah tinggalnya, Tanara sebagai tempat tumbuh kembang hidupnya dan rumahnya.

 

غَفَرَ اللهُ ذُنُوْبَهُ، وَ سَتَرَ فِي الدَّارَيْنِ عُيُوْبَهُ

Semoga Allah mengampuni dosa-dosa beliau, dan menutupi aib-aib beliau di dua negeri [dunia dan akhirat].

 

(هذِهِ) تَقْيِيْدَاتٌ نَافِعَةٌ إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى عَلَى الْمُخْتَصَرِ الْمُلَقَّبِ بِسَفِيْنَةِ النَّجَا فِيْ أُصُوْلِ الدِّيْنِ وَ الْفِقْهِ لِلشَّيْخِ الْعَالِمِ الْفَاضِلِ سَالِمٍ بْنِ سُمَيْرٍ الْحَضْرَمِيِّ، إِقْلِيْمًا وَ الْبَتَاوِيِّ وَفَاةً نَوَّرَ اللهُ ضَرِيْحَهُ

[Beliau berkata]: “Kitab ini merupakan catatan-catatan pelengkap yang bermanfaat, in syā’ Allāh, atas kitab ringkas, yang berjudul Safīnat-un-Najā [perahu keselamatan], yang berisi ilmu Ushūluddīn [pokok-pokok agama, tauhid] dan ilmu Fiqh, karya Syaikh al-‘Ᾱlim al-Fādhil Sālim bin Sumair al-Hadhramī, Hadramaut [Yaman selatan], wilayah asalnya, dan Betawi [Jakarta] tempat wafatnya. Semoga Allah menerangi kuburan beliau.

 

تُتَمِّمُ مَسَائِلَهُ وَ تَفُكُّ مُشْكِلَهُ وَ تُفَصِّلُ مُجْمَلَهُ

[Kitab syarah ini] menyempurnakan beberapa masalah kitab ringkas tersebut, dan memecahkan persoalan yang belum jelas dalam kitab tersebut, dan mendetilkan hal yang masih umum dalam kitab tersebut.

 

وَضَعْتُهَا لِتَكُوْنَ تَذْكِرَةً لِنَفْسِيْ، وَلِلْقَاصِرِيْنَ مِثْلِيْ مِنْ أَبْنَاءِ جِنْسِيْ،

Aku [Syaikh Nawawī al-Bantanī] menyusun kitab ini agar kitab syarah ini menjadi sebagai pengingat bagi diriku, dan bagi orang-orang yang ceroboh sepertiku, dari anak-anak sejenisku [manusia].

 

وَسَمَّيْتُهَا: (كَاشِفَةُ السَّجَا فِيْ شَرْحِ سَفِيْنَةُ النَّجَا)

Aku menamai kita syarah ini dengan Kāsyifat-us-Sajā fī Syari Safīnat-un-Najā (Tirai penutup yang tersingkap dalam mensyarahi kitab Safīnat-un-Najā [Perahu Keselamatan])

 

وَأَوْضَحْتُهُ بِالتَّرَاجِمِ بِالْفَصْلِ وَ غَيْرِهِ اقْتِدَاءً بِكِتَابِ اللهِ تَعَالَى فِيْ كَوْنِهِ مُتَرَجَّمًا مُفَصَّلًا سُوْرَةً سُوْرَةً

Dan aku memperjelas kitab syarah ini dengan berbagai penjelasan dengan dipisah-pisahkan pemisahan [fasal] dan selainnya, karena mengikuti kitābullāh ta‘ālā dalam keberadaannya sebagai sesuatu yang ditafsirkan dan terpisah-pisahkan, surah demi surah.

 

وَلِأَنَّهُ أَبْعَثُ عَلَى الدَّرْسِ وَ التَّحْصِيْلِ مِنْهُ وَ أَقْحَمْتُ فِيْهِ فَصْلَ الصِّيَامِ، إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى لِيَزِيْدَ النَّفْعَ عَلَى الْعَوَامِّ، بِعَوْنِ الْمَلِكِ الْعَلَّامِ،

Dan karena sesungguhnya hal itu dapat lebih mendorong untuk mempelajari dan memperoleh [ilmu] dari kitab syarah ini. Dan aku berupaya maksimal mengupas di kitab ini akan fasal puasa. In syā’ Allāh ta‘ālā agar dapat menambah kemanfaatan bagi orang-orang awam, dengan pertolongan Allah, Sang Merajai yang Maha Mengetahui.

 

وَجَعَلْتُهُ كَهَيْئَةِ الْمَتَنِ مَعَ الشَّرْحِ فِي الْمَشَابَكَةِ لِتَوَافِقِ صُوْرَةُ الْفَرْعِ صُوْرَةَ الْأَصْلِ فَإِنَّ شَرْطَ الْمُرَافَقَةِ الْمُوَافَقَةُ

Dan aku membentuk kitab ini sama seperti bentuk matan [teks aslinya] disertai dengan penjelasan dalam hal saling berjalinan [satu sama lain], agar tersesuaikan bentuk turunan [syarah] dengan bentuk asalnya [matan], karena sesungguhnya syarat pertemanan adalah saling kecocokan.

 

نَسْأَلُهُ سُبْحَانَهُ تَبَارَكَ وَ تَعَالَى أَنْ يُعِيْنَنَا عَلَى إِكْمَالِهَا وَ يُيَسِّرَ الْأَسْبَابَ فِي افْتِتَاحِهَا وَ اخْتِتَامِهَا،

Kami mohon kepada Allah s.w.t., agar Dia berkenan menolong kami untuk menyempurnakan kitab ini dan memudahkan berbagai sebab dalam memulai [penulisan] kitab syarah ini dan mengakhirinya.

 

وَمَا حَمَلَنِيْ عَلَى جَمْعِهَا إِلَّا رَجَاءُ دَعْوَةِ رَجُلٍ صَالِحٍ يَنْتَفِعُ مِنْهَا بِمَسْأَلَةٍ فَيَعُوْدَ نَفْعُهَا عَلَيَّ فِيْ قَبْرِيْ

Dan tidak ada yang membawaku untuk menghimpun kitab ini, kecuali mengharapkan doa orang shaleh yang meraih manfaat dari kitab syarah ini terhadap suatu masalah, sehingga akan kembali kemanfaatannya itu kepada diriku di dalam kuburanku,

 

لِحَدِيْثِ: “إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ”

Berdasarkan hadits: “Apabila anak Adam telah wafat, maka terputus amalnya, kecuali tiga hal, yaitu (1). shadaqah jāriyah [sedekah yang terus mengalirkan pahala], atau (2). ilmu yang bermanfaat, atau (3). anak shalih yang senantiasa berdoa untuknya.

 

وَأَنَا وَ إِنْ كُنْتُ لَسْتُ أَهْلًا لِهذَا الشَّأْنِ وَالْحَالُ قَصَدْتُ التَّشَبَّهَ بِالرِّجَالِ لِأَفُوْزَ بِصُحْبَتِيْ إِيَّاهُمْ

Dan aku, meskipun diriku bukanlah orang yang layak untuk hal positif dan perilaku baik ini, namun aku bermaksud menyerupakan diri dengan orang-orang pilihan tersebut, agar aku dapat beruntung dengan sebab persahabatanku dengan mereka.

 

لِمَا وَرَدَ فِي الْخَبَرِ: مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ،

Berdasarkan keterangan yang teriwayatkan dalam suatu hadits “Siapa saja yang menyerupakan diri dengan suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.”

 

وَأَرَدْتُ الْغَوْصَ فِيْ مَحَبَّتِهِمْ لِأَحْشُرَ مَعَهُمْ لِحَدِيْثِ الْبُخَارِيِّ: “يُحْشَرُ الْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ”

Dan aku ingin bertotalitas (menyelam) dalam mencintai mereka, agar aku dikumpulkan bersama mereka [pada hari kiamat], berdasarkan hadits Imam Bukhārī “Seseorang akan dihimpun bersama orang yang dicintainya.”

 

وَيَنْبَغِيْ لِمَنْ وَقَّفَ عَلَى هَفْوَةٍ أَنْ يُصْلِحَهَا بَعْدَ التَّأَمُّلِ

Dan seyogyanya bagi siapa saja yang telah mengetahui atas suatu kekeliruan [pada kitab syarah ini], hendaknya ia memperbaikinya setelah melakukan perenungan.

 

نَسْأَلُ اللهَ تَعَالَى أَنْ يُبْدِلَ حَالَنَا إِلَى أَحْسَنِ الْأَحْوَالِ

Kami memohon kepda Allah ta‘ālā, agar Dia berkenan menukar perilaku kami kepada perilaku-perilaku yang terbaik,

 

وَأَنْ يَجْعَلَنَا مِمَّنْ تَسْعَى إِلَيْهِ النَّاسُ لِأَخْذِ الْعِلْمِ لَا لِحُظُوْظِ الدُّنْيَا الْفَانِيَةِ

Dan semoga Dia berkenan menjadikan kami termasuk orang, yang manusia berjalan menuju diri-Nya untuk mengambil ilmu, bukan untuk mengambil bagian-bagian duniawi yang fana,

 

وَأَنْ يُمَتِّعَنَا بِالنَّظَرِ إِلَى وَجْهِهِ الْكَرِيْمِ فِي الدَّارِ الْبَاقِيَةِ.

Dan semoga Dia berkenan memberi kenikmatan kepada kami, dengan dapat melihat kepada Dzat-Nya Yang Mulia, di negeri nan abadi.

 

قَالَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى: (بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ)

 

Berkata pengarang kitab Safīnat-un-Najā [Syaikh Sālim bin Sumair] r.h. (Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang),

 

أَيْ بِكُلِّ اسْمٍ مِنْ أَسْمَاءِ الذَّاتِ الْأَعْلَى الْمَوْصُوْفِ بِكَمَالِ الْأَفْعَالِ أَوْ بِإِرَادَةِ ذلِكَ أُؤَلِّفُ مُتَبَرِّكًا أَوْ مُسْتَعِيْنًا

Yakni dengan menyebut setiap nama dari berbagai nama dzat yang luhur, yang bersifat dengan kesempurnaan berbagai perbuatan, atau dengan menghendaki hal-hal itu, aku mengarang seraya mencari keberkahan atau sembari berharap pertolongan.

 

فَسَّرَهُ بِذلِكَ شَيْخُنَا أَحْمَدُ الدِّمْيَاطِيُّ فِيْ حَاشِيَتِهِ عَلَى أُصُوْلِ الْفِقْهِ.

Demikian penafsiran mengenai hal itu oleh guru kami, Syaikh Amad Ad-Dimyāthī di dalam kitab āsyiyah beliau, [yang membahas] mengenai ilmu Ushūl Fiqh.

 

اِبْتِدَأَ الْمُصَنِّفُ كِتَابَهُ بِالْبَسْمَلَةِ اقْتِدَاءً بِالْكِتَابِ الْعَزِيْزِ فِي ابْتِدَائِهِ بِهَا أَيْ فِي اللَّوْحِ الْمَحْفُوْظِ أَوْ بَعْدَ جَمْعِهِ وَ تَرْتِيْبِهِ فِي الْمُصْحَفِ،

Pengarang [Syaikh Sālim bin Sumair] mengawali kitabnya dengan ucapan basmalah karena mengikuti Kitab Yang Agung [al-Qur’ān] dalam hal diawalinya dengan basmalah, yakni di dalam al-Lau-ul-Mafūzh atau setelah terkumpulkannya dan tersusunkannya di dalam Mushaf [al-Qur’ān].

 

وَأَمَّا مَا رُوِيَ أَنَّ أَوَّلَ مَا كَتَبَهُ الْقَلَمُ أَنَا التَّوَّابُ وَ أَنَا أَتُوْبُ عَلَى مَنْ تَابَ فَهُوَ فِيْ سَاقِ اْلعَرْشِ.

 

Adapun keterangan yang teriwayatkan bahwa hal pertama yang al-Qalam menulisnya adalah: “Aku Maha Penerima taubat, dan Aku akan menerima taubat bagi siapa saja yang bertaubat,” maka kalimat tersebut berada di tiang penyangga ‘Arasy.

 

وَامْتِثَالًا وَ إِطَاعَةً لِأَمْرِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فِيْ قَوْلِهِ: “إِنَّ أَوَّلَ مَا كَتَبَهُ الْقَلَمُ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dan kerana meneladani dan mematuhi kepada perintah Nabi s.a.w. dalam sabda beliau: “Sesungguhnya hal paling awal yang al-Qalam menulisnya adalah bismillāh-ir-ramān-ir-raīm.”

 

فَإِذَا كَتَبْتُمْ كِتَابًا فَاكْتُبُوْهَا أَوَّلَهُ وَ هِيَ مِفْتَاحُ كُلِّ كِتَابٍ أُنْزِلَ

Maka apabila kalian menulis sebuah kitab, maka tulislah kalimat basmalah di permulaannya. Dan basmalah merupakan pembuka setiap kitab yang sudah diturunkan [oleh Allah].

 

وَلَمَّا نَزَلَ عَلَيَّ جِبْرِيْلُ بِهَا أَعَادَهَا ثَلَاثًا

Dan tatkala malaikat Jibrīl turun kepadaku dengan membawa basmalah, maka ia mengulang [kalimat] basmalah sebanyak tiga kali.

 

وَقَالَ: هِيَ لَكَ وَ لِأُمَّتِكَ فَمُرْهُمْ لَا يَدَعُوْهَا فِيْ شَيْءٍ مِنْ أُمُوْرِهِمْ

Dan ia berkata: “Basmalah itu untuk anda, dan untuk umat anda, maka perintahkanlah mereka, jangan mereka meninggalkan basmalah di sesuatupun dari berbagai urusan mereka.

 

فَإِنِّيْ لَمْ أَدَعْهَا طَرْفَةَ عَيْنٍ مُنْذُ نَزَلَتْ عَلَى أَبِيْكَ آدَمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ وَ كَذَا الْمَلَائِكَةُ”.

Karena sesungguhnya aku tidak pernah meninggalkan kalimat basmalah sekejap matapun, semenjak basmalah diturunkan kepada bapakmu, Nabi Ᾱdam a.s., dan begitupun para malaikat yang lain.”

 

وَفِيْ رِوَايَةٍ: “إِذَا كَتَبْتُمْ كِتَابًا فَاكْتُبُوْا فِيْ أَوَّلِهِ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ وَ إِذَا كَتَبْتُمُوْهَا فَاقْرَؤُوْهَا”.

Dan di dalam riwayat lain [disebutkan]: “Apabila kalian menulis kitab, maka tulislah oleh kalian di awal kitab itu bismillāh-ir-ramān-ir-raīm, dan apabila kalian telah menulisnya, maka bacalah basmalah itu.”

 

وَرُوِيَ عَنْهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: “تَخَلَّقُوْا بِأَخْلَاقِ اللهِ

Dan diriwayatkan dari Nabi s.a.w. bahwasanya beliau bersabda: “Berbudi pekertilah kalian dengan budi-budi pekerti Allah.”

 

وَلَا شَكَّ أَنْ عَادَتَهُ تَعَالَى فِي ابْتِدَاءِ كُلِّ سُوْرَةٍ الإِتْيَانُ بِالْبَسْمَلَةِ سِوَى بَرَاءَةَ فَنَحْنُ مَأْمُوْرُوْنَ بِهِ

Dan tidak ada keraguan bahwa kebiasaan Allah ta‘ālā dalam memulai setiap surah itu adalah mendatangkan dengan [diawali] basmalah, kecuali surah Barā’ah [at-Taubah], maka kita diperintahkan dengannya,

 

وَعَمَلًا بِحَدِيْثِ أَبِيْ دَاوُدَ وَ غَيْرِهِ: “كُلُّ أَمْرٍ ذِيْ بَالٍ لَا يُبْدَأُ فِيْهِ بِبِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ فَهُوَ أَبْتَرُ أَوْ أَقْطَعُ أَوْ أَجْذَمُ

Dan karena mengamalkan hadits Imam Abū Dāūd dan lainnya : “Segala perkara yang memiliki suatu hal penting yang tidak dimulai perkara itu dengan bismillāh-ir-rahmān-ir-raīm, maka perkara itu [laksana makhluk yang] terpotong ekornya, atau terpotong tangannya, atau terpotong ujung jarinya [kurang sempurna].”

 

وَالْبَالُ الشَّرَفُ وَ الْعَظَمَةُ أَوِ الْحَالُ، وَ الشَّأْنُ الَّذِيْ يُهْتَمُّ بِهِ شَرْعًا،

Al-Bāl adalah hal yang mulia dan agung, atau adalah kondisi dan hal penting yang perlu diperhatikan dalam pandangan syariat.

 

وَمَعْنَى الْاِهْتِمَامِ بِهِ طَلَبُهُ أَوْ إِبَاحَتُهُ بِأَنْ لَا يَكُوْنَ مُحَرَّمًا لِذَاتِهِ وَ لَا مَكْرُوْهًا لِذَاتِهِ،

Arti berperhatian dengan perkara itu adalah menuntut perkara itu atau diperbolehkan perkara itu, seumpama bentuk perkara itu bukan sesuatu yang diharamkan pada zatnya, dan tidak dimakruhkan pada dzatnya.

 

لكِنْ لَا تُطْلَبُ الْبَسْمَلَةُ عَلَى مُحْقِرَاتِ الْأُمُوْرِ كَكَنْسِ زَبَلٍ وَ لَا تُطْلَبُ لِلذِّكْرِ الْمَحْضِ كَالتَّهْلِيْلِ.

Akan tetapi tidak dianjurkan membaca basmalah pada beberapa perkara yang hina, seperti menyapu kotoran hewan, dan tidak pula dianjurkan pada dzikiran yang murni, seperti tahlīl [dzikir lā ilāha illallāh].

 

وَقَالَ الشَّيْخُ عُمَيْرَةُ: وَ الْبَالُ أَيْضًا: الْقَلْبُ كَأَنَّ الْأَمْرَ لِشَرَفِهِ وَ عَظَمِهِ مَلَّكَ قَلْبَ صَاحِبِهِ لِاشْتِغَالِهِ بِهِ

Dan telah berkata Syaikh ‘Umairah: “al-Bāl juga bisa berarti hati, seakan bahwa suatu perkara itu, karena mulianya perkara dan agungnya itu telah menguasai hati pemiliknya [pelakunya], karena tersibukkan dirinya dengan perkara tersebut.”

 

وَفِيْ قَوْلِهِ فِيْهِ لِلسَّبَبِيَّةِ عَلَى قِيَاسِ قَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: “دَخَلَتِ امْرَأَةٌ النَّارَ فِيْ هِرَّةٍ” أَيْ بِسَبَبِهَا حَبِسَتْهَا وَ هِيَ امْرَأَةٌ مِنْ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ،

Dan dalam sabda Nabi s.a.w. “fīhi”, fā’ urūf jarr [khafadh] bermakna sababiyyah, lantaran dipersamakan dengan sabda Nabi s.a.w. : “Seorang wanita masuk neraka sebab seekor kucing,” yakni dengan sebab kucing yang dikurung olehnya. Dan dia adalah seorang wanita dari bangsa Banī Isrā’īl.

 

وَالْأَبْتَرُ مَقْطُوْعُ الذَّنَبِ، وَ الْأَقْطَعُ مَنْ قَطَعَتْ يَدَاهُ أَوْ إِحْدَاهُمَا، وَ الْأَجْذَمُ بِالذَّالِ الْمُعْجَمَةِ الْمَقْطُوْعُ الْيَدِ

Dan al-Abtar adalah yang terpotong ekornya, dan al-Aqtha‘ adalah orang yang terpotong kedua tangannya atau salah satunya, dan al-Ajdzam dengan huruf dzāl yang bertitik, adalah orang yang putus tangannya.

 

وَقِيْلَ الذَّاهِبُ الْأَنَامِلَ.

Dan dikatakan [oleh satu pendapat]: “[al-Ajdzam] adalah orang yang hilang jari-jemarinya.”

 

وَقَالَ الْبَرَاوِيُّ: هُوَ عِلَّةٌ مَعْرُوْفَةٌ مِنْ بَابِ التَّشْبِيْهِ الْبَلِيْغِ،

Dan telah berkata Syaikh al-Barāwī: “Hal itu merupakan ‘illat [alasan] yang sudah umum, termasuk dari Bāb-ut-Tasybīh-il-Balīgh [penyerupaan yang tanpa menggunakan kalimat penyerupaan]”

 

وَمَعْنَى الْحَدِيْثِ: كُلُّ شَيْءٍ لَهُ شَرَفٌ وَ عَظَمَةٌ. أَوْ كُلُّ شَيْءٍ يُطْلَبُ أَوْ يُبَاحُ أَوْ كُلُّ شَيْءٍ لَهُ قَلْبٌ أَيْ يَمْلِكُ قَلْبًا

Dan arti hadits tersebut adalah: “Setiap sesuatu yang memiliki kemuliaan dan keagungan, atau setiap sesuatu yang dianjurkan atau diperbolehkan, atau setiap sesuatu yang memiliki hati, yakni sesuatu itu menguasai suatu hati,

 

لَا يُبْدَأُ بِسَبَبِ ذلِكَ الشَّيْءِ بِبِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ فَهُوَ كَالْحَيَوَانِ الْمَقْطُوْعِ الذَّنَبِ أَوْ كَمَنْ قَطَعَتْ يَدَاهُ أَوْ كَمَنْ ذَهَبَتْ أَنَامِلُهُ أَوْ كَمَنْ بِهِ جُذَامٌ فِيْ نَقْصِهِ وَ عَيْبِهِ شَرْعًا وَ إِنْ تَمَّ حِسًّا.

yang tidak dimulai dengan penyebab [hal penting dari] perkara tersebut, dengan bismillāh-ir-ramān-ir-raīm, maka sesuatu tersebut seperti hewan yang terpotong ekornya, atau seperti orang yang terpotong dua tangannya, atau seperti orang yang kehilangan jari jemarinya, atau seperti orang yang terkena penyakit lepra, dalam sisi kekurangannya dan cacatnya menurut syarī‘at, meskipun sempurna secara indrawi.

 

وَاخْتُلِفَ فِي الْبَسْمَلَةِ هَلْ هِيَ آيَةٌ مِنَ الْفَاتِحَةِ وَ مِنْ كُلِّ سُوْرَةٍ

Dan diperselisihkan tentang basmalah itu, apakah termasuk ayat dari surah al-Fātiah, dan dari semua surah lainnya.

 

فَعِنْدَ مَالِكٍ أَنَّهَا لَيْسَتْ آيَةً مِنَ الْفَاتِحَةِ وَ لَا مِنْ كُلِّ سُوْرَةٍ،

Maka menurut Imam Mālik: “Sesungguhnya basmalah bukan termasuk ayat dari surah al-Fātiah, dan bukan bagian dari setiap surah.”

 

وَعِنْدَ عَبْدِ اللهِ بْنِ الْمُبَارَكِ أَنَّهَا آيَةٌ مِنْ كُلِّ سُوْرَةٍ،

Dan menurut Syaikh ‘Abdullāh ibn-ul-Mubārak: “Sesungguhnya basmalah termasuk ayat dari setiap surah.”

 

وَعِنْدَ الشَّافِعِيِّ أَنَّهَا آيَةٌ مِنَ الْفَاتِحَةِ وَ تَرَدَّدَ فِيْ غَيْرِهَا

Dan menurut Imam asy-Syāfi‘ī: “Sesungguhnya basmalah adalah ayat dari surah al-Fātiah, namun beliau ragu-ragu [tidak memastikannya] pada selain surah al-Fātiah.”

 

وَلَمْ يَخْتَلِفُوْا فِيْهَا فِي النَّمْلِ فِيْ عَدِّهَا مِنَ الْقُرْآنِ.

Dan para ulama tidak berselisih pendapat mengenai basmalah di dalam surah an-Naml, dalam hal diperhitungkannya basmalah tersebut termasuk al-Qur’ān.

 

وَمِنْ خَوَاصِّهَا إِذَا تَلَاهَا شَخْصٌ عِنْدَ النَّوْمِ إِحْدَى وَ عِشْرِيْنَ مَرَّةً أَمِنَ تِلْكَ اللَّيْلَةَ مِنَ الشَّيْطَانِ وَ أَمِنَ بَيْتُهُ مِنَ السَّرِقَةِ وَ أَمِنَ مِنْ مَوْتِ الْفُجْأَةِ وَ غَيْرِ ذلِكَ مِنَ الْبَلَايَا أَفَادَهُ أَحْمَدُ الصَّاوِيُّ.

Dan di antara berbagai keistimewaan basmalah adalah apabila seseorang membacanya ketika [hendak] tidur sebanyak 21 kali, maka ia akan aman pada malam itu dari syetan, dan aman rumahnya dari pencurian, dan aman dari kematian mendadak, dan lain-lainnya dari berbagai bencana. Demikian Syaikh Amad ash-Shāwī memberi penjelasan hal itu.

 

(الْحَمْدُ) أَيِ الثَّنَاءُ بِالْكَلَامِ عَلَى الْجَمِيْلِ الْاِخْتِيَارِيِّ مَعَ جِهَةِ التَّبْجِيْلِ وَ التَّعْظِيْمِ سَوَاءٌ كَانَ فِيْ مُقَابِلَةِ نِعْمَةٍ أَمْ لَا

 

(Segala puji) yakni penyanjungan dengan ucapan menurut cara yang bagus yang diupayakan dengan kesadaran sendiri, disertai tujuan memuliakan dan mengagungkan, sama saja keadaan pujian itu dalam hal merespon terhadap kenikmatan ataupun tidak,

 

مُسْتَحِقٌّ (للهِ)

Adalah menjadi hak (bagi Allah).

 

وَ هذَا هُوَ الْحَمْدُ اللُّغَوِيُّ الَّذِيْ طُلِبَتِ الْبِدَاءَةُ بِهِ،

Dan ini merupakan pujian secara bahasa, yang dianjurkan untuk memulai [sesuatu] dengannya.

 

وَ أَمَّا الْحَمْدُ الْاِصْطِلَاحِيُّ فَلَا تُطْلَبُ الْبِدَاءَةُ بِهِ

Adapun pujian secara istilah, maka tidak dianjurkan untuk memulai [sesuatu] dengan pujian itu.

 

وَ هُوَ فِعْلٌ يَدُلُّ عَلَى تَعْظِيْمِ الْمُنْعِمِ مِنْ حَيْثُ كَوْنِهِ مُنْعِمًا عَلَى الْحَامِدِ أَوْ غَيْرِهِ

Dan pujian secara istilah itu adalah suatu perbuatan yang menunjukkan atas pengagungan kepada Sang pemberi karunia, dari sisi keberadaannya sebagai pemberi nikmat kepada si pemuji atau kepada selainnya.

 

سَوَاءٌ كَانَ ذلِكَ قَوْلًا بِاللِّسَانِ أَوِ اعْتِقَادًا بِالْجِنَانِ أَوْ عَمَلًا بِالْأَرْكَانِ الَّتِيْ هِيَ الْأَعْضَاءُ

Sama saja keadaan pujian itu berupa ucapan dengan lidah, atau keyakinan dengan hati, atau berupa perbuatan dengan berbagai organ tubuh, yaitu anggota-anggota tubuh.

 

(رَبِّ) أَيْ مُصْلِحٍ (الْعَالَمِيْنَ)

(Tuhan) yakni Dzat Pemelihara (semesta alam).

 

لَمَّا افْتَتَحَ بِالْبَسْمَلَةِ افْتِتَاحًا حَقِيْقِيًّا افْتَتَحَ بِالْحَمْدَلَةِ افْتِتَاحًا إِضَافِيًّا جَمْعًا بَيْنَ حَدِيْثَيِ الْبَسْمَلَةِ وَ الْحَمْدَلَةِ وَ اقْتِدَاءً بِالْكِتَابِ أَيْضًا.

Tatkala pengarang [Syaikh Sālim bin Sumair] membuka [kitabnya] dengan basmalah sebagai pembuka secara hakikat, maka beliau membuka [juga] dengan amdalah sebagai pembuka secara penyandaran, lantaran menggabung di antara dua hadits [mengenai] basmalah dan amdalah, dan juga karena mengikut kepada al-Kitāb [al-Qur’ān].

 

وَ عَمَلًا بِحَدِيْثِ ابْنِ مَاجَهَ: “كُلُّ أَمْرِ ذِيْ بَالٍ لَا يُبْدَأُ فِيْهِ بِالْحَمْدِ للهِ فَهُوَ أَجْذَمُ

Dan karena mengamalkan dengan hadits Imam Ibnu Mājah : “Setiap perkara yang memiliki hal penting, yang tidak dimulai dalam perkara tersebut dengan ucapan al-amdulillāh, maka perkara itu [laksana orang yang] terpoton jari-jemarinya.”

 

وَ فِيْ رِوَايَةٍ: “فَهُوَ أَقْطَعُ”.

Dan dalam riwayat lain [disebutkan]: “maka perkara itu [bagai orang yang] terpotong tangannya.”

 

وَ فِيْ رِوَايَةٍ: “فَهُوَ أَبْتَرُ

Dan dalam riwayat lain [disebutkan]: “maka perkara itu [bagai orang yang] terpotong ekornya.”

 

وَ الْمَعَنْىَ عَلَى كُلٍّ مَقْطُوْعُ الْبَرَكَةِ وَ نَاقِصُهَا وَ قَلِيْلُهَا.

Dan pengertian yang dimaksud pada setiap riwayat adīts itu adalah yang terpotong barakah-nya, dan yang kurang barakah-nya dan yang sedikit barakah-nya.

 

قَالَ النَّوَوِيُّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى: يُسْتَحَبُّ الْحَمْدُ فِي ابْتِدَاءِ الْكُتُبِ الْمُصَنَّفَةِ وَ كَذَا فِي ابْتِدَاءِ دُرُوْسِ الْمُدَرِّسِيْنَ وَ قِرَاءَةِ الطَّالِبِيْنَ بَيْنَ يَدَيِ الْمُعَلِّمِيْنَ

Telah berkata Imam an-Nawawī r.h.: “Disunnahkan pujian [menulis atau mengucap hamdalah] dalam mengawali kitab-kitab yang dikarang, dan begitupun dalam mengawali berbagai pelajaran oleh para pelajar, dan bacaan oleh para penuntut ilmu di hadapan para pengajar.

 

سَوَاءٌ قَرَأَ حَدِيْثًا أَوْ فِقْهًا أَوْ غَيْرَهُمَا،

Sama saja ia membaca [kitab] hadits atau fiqih, atau selainnya.

 

وَ أَحْسَنُ الْعِبَارَاتِ فِيْ ذلِكَ الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

Dan sebagus-bagusnya ungkapan dalam pengucapan hamdalah itu adalah “al-amdulillāhi rabb-il-‘ālamīn.”

 

وَ قَالَ بَعْضُ الشَّافِعِيَّةِ: أَفْضَلُ الْمَحَامِدِ أَنْ يُقَالَ: الْحَمْدُ للهِ حَمْدًا يُوَافِيْ نِعَمَهُ وَ يُكَافِىءُ مَزِيْدَهُ.

Dan telah berkata sebagian penganut madzhab Imam Syāfi‘ī: “Paling utamanya puji-pujian adalah hendaknya diucapkan: Al-amdulillāhi amdan yuwāfī ni‘amahu wa yukāfiu mazīdahu [Segala puji bagi Allah, dengan pujian yang dapat menyepadani segala karunia-Nya dan dapat menyepadani penambahan karunia-Nya]”.

 

وَ قِيْلَ: أَفْضَلُ الْمَحَامِدِ أَنْ يُقَالَ: الْحَمْدُ للهِ بِجَمِيْعِ مَحَامِدِهِ كُلِّهَا مَا عَلِمْتُ مِنْهَا وَ مَا لَمْ أَعْلَمْ،

Dan dikatakan [oleh satu pendapat]: Paling utamanya puji-pujian adalah hendaknya diucapkan: Al-amdu lillāhi bijamī‘i maāmidihi kullihā mā ‘alimtu minhā wa mā lam a‘lam. [Segala puji bagi Allah, dengan segala puji-pujian kepada-Nya seluruhnya, berupa bentuk pujian yang aku telah mengetahui darinya dan bentuk pujian yang belum aku ketahui].”

 

زَادَ بَعْضُهُمْ؛ عَدَدَ خَلْقِهِ. كُلِّهِمْ مَا عَلِمْتُ مِنْهُمْ وَ مَا لَمْ أَعْلَمْ.

Sebagian ulama menambahkan: “‘adada khalqihi kullihim mā ‘alimtu minhum wa mā a‘lam. [sebanyak bilangan makhluk-Nya, seluruhnya, berupa makhluk yang telah aku ketahui darinya, dan makhluk yang tidak aku ketahui].”

 

وَ فِيْ خَبَرِ ابْنِ مَاجَهَ عَنْ عَائِشَةَ: “كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِذَا رَأَى مَا يُحِبُّ قَالَ: الْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ،

Dan di dalam hadits Imam Ibnu Mājah, dari Sayyidatinā ‘Ā’isyah [disebutkan] : “Adalah Rasūlullāh s.a.w. apabila beliau melihat perkara yang disenangi, maka beliau bersabda: “al-amdu lillāhi ladzī bi ni‘matihi tatimmush-shāliāt. [Segala puji bagi Allah, yang dengan karunia-Nya menjadi sempurna berbagai kebaikan]”.

 

وَ إِذَا رَأَى مَا يُكْرَهُ قَالَ: الْحَمْدُ للهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ رَبِّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ حَالِ أَهْلِ النَّارِ

Dan apabila beliau melihat perkara yang tidak disenangi, beliau bersabda: “al-amdu billāhi ‘alā kulli ālin rabbī innī a‘ūdzu bika min āli ahlin-nār. [Segala puji bagi Allah atas segala keadaan, wahai Tuhanku sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari setiap keadaan penghuni neraka].”

 

(وَ بِهِ) لَا بِغَيْرِهِ (نَسْتَعِيْنُ) أَيْ نَطْلُبُ الْمَعُوْنَةَ،

(Dan hanya kepada-Nya), tidak kepada selain-Nya, (kami memohon pertolongan) yakni kami meminta pertolongan.

 

فَتَقْدِيْمُ الْجَارِّ وَ الْمَجْرُوْرِ لِإِفَادَةِ الْاِخْتِصَاصِ

Adapun didahulukan [susunan kalimat] al-Jārr dan al-Majrūr karena guna memberi pengertian pengkhususan.

 

(عَلَى أُمُوْرِ الدُّنْيَا وَ الدِّيْنِ)

(atas berbagai perkara dunia dan agama).

 

يُطْلَقُ الدِّيْنُ لُغَةً عَلَى مَعَانٍ كَثِيْرَةٍ مِنْهَا الطَّاعَةُ وَ الْعِبَادَةُ وَ الْجَزَاءُ وَ الْحِسَابُ،

Diucapkan kata ad-Dīn secara bahasa untuk [menunjukkan] berbagai makna yang banyak, di antaranya [bermakna] ketaatan, ibadah, balasan, dan perhitungan.

 

وَ شَرْعًا عَلَى مَا شَرَّعَهُ اللهُ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّهِ مِنَ الْأَحْكَامِ

Dan secara syariat [kata ad-Dīn bermakna] sesuatu yang Allah telah men-syarī‘at-kannya melalui lidah Nabi-Nya, berupa berbagai hukum.

 

وَ سُمِّيَ دِيْنًا لِأَنَّنَا نَدِيْنُ لَهُ أَيْ نَعْتَقِدُ وَ نَنْقَادُ،

Dan dinamakan Dīn [tunduk], karena sesungguhnya kita tunduk kepadanya, yakni kita meyakini dan mengikutinya.

 

وَ يُسَمَّى أَيْضًا مِلَّةٌ مِنْ حَيْثُ أَنَّ الْمَلِكُ يُمْلِيْهِ أَيْ يُلْقِيْهِ عَلَى الرَّسُوْلِ وَ هُوَ يُمْلِيْهِ عَلَيْنَا،

Dan [beragam ketentuan tersebut] dinamakan juga dengan Millah [dikte], dari sisi bahwa Dzat Maha Raja [Allah] mendiktekannya, yakni menyampaikannya kepada Rasūl-Nya, dan Rasūl menyampaikannya kepada kita.

 

وَ يُسَمَّى أَيْضًا شَرْعًا وَ شَرِيْعَةً مِنْ حَيْثُ أَنَّ اللهَ شَرَّعَهُ لَنَا أَيْ بَيَّنَهُ لَنَا عَلَى لِسَانِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ

Dan [beragam ketentuan tersebut] dinamai juga dengan syara‘ dan syarī‘at dari sisi bahwa Allah sungguh telah men-syarī‘at-kannya kepada kita, yakni telah menjelaskannya kepada kita melalui lisan Nabi s.a.w.

 

(وَ صَلَّى اللهُ) أَيْ زَادَهُ اللهُ عَطْفًا وَ تَعْظِيْمًا

 

(dan semoga Allah mencurahkan rahmat) yakni semoga Allah menambahkan bagi beliau kasih-sayang dan pengagungan.

 

(وَ سَلَّمَ) أَيْ زَادَهُ اللهُ تَحِيَّةً عُظْمَى بَلَغَتِ الدَّرَجَةَ الْقُصْوَى.

(dan memberi keselamatan) yakni semoga Allah menambahkan bagi beliau akan penghormatan yang besar, yang mencapai tingkatan maksimal.

 

[مَسْأَلَةٌ] قَالَ إِسْمَاعِيْلُ الْحَامِدِيُّ: فَإِنْ قِيْلَ إِنَّ الرَّحْمَةَ لِلنَّبِيِّ حَاصِلَةٌ فَطَلَبُهَا تَحْصِيْلُ الْحَاصِلِ.

(Sebuah masalah) Syaikh Ismā‘īl al-āmidī berkata: “Adapun jika dikatakan: “Sesungguhnya rahmat Allah kepada Nabi s.a.w. telah berhasil [terpenuhi], maka memintakan rahmat tersebut adalah upaya menghasilkan sesuatu yang sudah berhasil [sia-sia belaka].”

 

فَالْجَوَابُ: أَنَّ الْمَقْصُوْدَ بِصَلَاتِنَا عَلَيْهِ طَلَبُ رَحْمَةٍ لَمْ تَكُنْ فَإِنَّهُ مَا مِنْ وَقْتٍ إِلَّا وَ هُنَاكَ رَحْمَةٌ لَمْ تَحْصُلْ لَهُ،

Maka jawabannya adalah bahwa yang dimaksud dengan shalawat kita [permohonan rahmat] atas Nabi s.a.w. adalah meminta rahmat yang belum ada, karena sesungguhnya tidak ada dari suatu waktu, melainkan pasti di waktu itu terdapat rahmat Allah yang belum berhasil [dipenuhi] bagi Nabi s.a.w.

 

فَلَا يَزَالُ يَتَرَقَّى فِي الْكَمَالَاتِ إِلَى مَا لَا نِهَايَةَ لَهُ فَهُوَ يَنْتَفَعُ بِصَلَاتِنَا عَلَيْهِ عَلَى الصَّحِيْحِ،

Maka Nabi s.a.w. tidak henti-hentinya akan senantiasa meningkat dalam berbagai kesempurnaan, sampai kedudukan yang tidak terhingga, bagi beliau. Karena itu beliau mendapat manfaat dengan sebab shalawat kita atas beliau, [demikian] menurut pendapat yang shaī.

 

لكِنْ لَا يَنْبَغِيْ أَنْ يَقْصِدَ الْمُصَلِّي ذلِكَ بَلْ يَقْصِدَ التَّوَسُّلَ إِلَى رَبِّهِ فِيْ نَيْلِ مَقْصُوْدِهِ،

Namun tidak sepatutnya pembaca shalawat bermaksud demikian, akan tetapi ia bermaksud ber-tawassul [berperantara dengan Nabi s.a.w.] kepada Tuhannya dalam meraih tujuan dirinya.

 

وَ لَا يَجُوْزُ الدُّعَاءُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ بِغَيْرِ الْوَارِدِ كَرَحِمَهُ اللهُ

Dan tidak boleh berdoa kepada Nabi s.a.w. dengan doa yang tidak diberlakukan [dari beliau], seperti raimahullāh [semoga Allah mengasihi beliau].

 

بَلِ الْمُنَاسِبُ وَ اللَّائِقُ فِيْ حَقِّ الْأَنْبِيَاءِ الدُّعَاءُ بِالصَّلَاةِ وَ السَّلَامُ

Akan tetapi yang sesuai dan yang layak bagi hak para Nabi adalah berdoa dengan shalawat dan salām.

 

وَ فِيْ حَقِّ الصَّحَابَةِ وَ التَّابِعِيْنَ وَ الْأَوْلِيَاءِ وَ الْمَشَايِخِ بِالتَّرَضِّيْ وَ فِيْ حَقِّ غَيْرِهِمْ يَكْفِيْ أَيُّ دُعَاءٍ كَانَ. انْتَهَى.

dan bagi hak para sahabat, dan tābi‘īn, dan para wali, dan para syaikh adalah [berdoa] dengan taradhdhī [semoga Allah meridhai], dan bagi hak selain mereka, maka bentuk doa yang manapun adanya itu mencukupi.” selesai.

 

(عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ)

(atas baginda kita Nabi Muammad)

 

هُوَ أَفْضَلُ أَسْمَائِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ

Muammad adalah paling utamanya nama-nama bagi Nabi s.a.w.

 

وَ الْمُسَمِّيْ لَهُ بِذلِكَ جَدُّهُ عَبْدُ الْمُطَّلِبِ فِيْ سَابِعِ وِلَادَتِهِ لِمَوْتِ أَبِيْهِ قَبْلَهَا

Dan pemberi nama kepada beliau dengan nama Muammad itu adalah kakek beliau, yaitu ‘Abdul-Muththalib, di hari ke tujuh kelahiran beliau, karena ayah beliau telah wafat sebelum beliau lahir.

 

فَقِيْلَ لَهُ: لِمَ سَمَّيْتَهُ مُحَمَّدًا وَ لَيْسَ مِنْ أَسْمَاءِ آبَائِكَ وَ لَا قَوْمِكَ؟

 

Lalu dikatakan kepada ‘Abdul-Muththalib: “Mengapa anda memberinya nama Muammad, padahal nama itu bukan termasuk nama-nama para bapak anda dan bukan nama kaum anda?”

 

فَقَالَ: رَجَوْتُ أَنْ يُحْمَدَ فِي السَّمَاءِ وَ الْأَرْضِ

Lalu beliau berkata: “Aku berharap, semoga ia akan dipuji di langit dan di bumi.”

 

وَ قَدْ حَقَّقَ اللهُ رَجَاءَهُ.

Dan sungguh Allah telah membuktikan harapan ‘Abd-ul-Muththalib itu.

 

وَ قِيْلَ: الْمُسَمِّيْ لَهُ بِذلِكَ أُمُّهُ

Dan dikatakan [oleh satu pendapat]: “Pemberi nama kepada beliau dengan nama Muammad itu adalah ibundanya.

 

أَتَاهَا مَلَكٌ فَقَالَ لَهَا: حَمَلْتِ بِسَيِّدِ الْبَشَرِ فَسَمِّيْهِ مُحَمَّدًا،

Malaikat telah mendatangi ibunda beliau, lalu malaikat itu berkata kepada ibunda beliau: “Engkau telah mengandung seorang pemimpin manusia, maka berilah nama untuknya Muammad!”

 

وَ إِنَّمَا أَتَى بِالصَّلَاةِ فِيْ أَوَّلِ كِتَابِهِ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَمَلًا بِالْحَدِيْثِ الْقُدْسِيِّ وَ هُوَ قَوْلُهُ تَعَالَى: عَبْدِيْ لَمْ تَشْكُرْنِيْ إِذَا لَمْ تَشْكُرْ مَنْ أَجْرَيْتُ النِّعْمَةَ عَلَى يَدَيْهِ،

Dan sesungguhnya pengarang [Syaikh Sālim bin Sumair] mendatangkan dengan bacaan shalawat di awal kitabnya, untuk Rasūlullāh s.a.w., hanyalah karena mengamalkan dengan hadits Qudsi, yaitu firman Allah ta‘ālā: “Hai hamba-Ku, engkau belum bersyukur kepada-Ku bila engkau belum berterima kasih kepada orang yang telah Aku alirkan nikmat melalui sepasang tangannya.”

 

وَ لَا شَكَّ أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ الْوَاسِطَةُ الْعُظْمَى لَنَا فِيْ كُلِّ نِعْمَةٍ بَلْ هُوَ أَصْلُ الْإِيْجَادِ لِكُلِّ مَخْلُوْقٍ آدَمَ وَ غَيْرِهِ،

Dan tidak diragukan, bahwasanya Nabi s.a.w. merupakan perantara terbesar bagi kita dalam setiap kenikmatan [yang dikaruniai], bahkan beliau adalah asal perwujudan bagi setiap makhluk, yaitu Nabi Ādam dan selainnya.

 

وَ بِقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: “مَنْ صَلَّى عَلَيَّ فِيْ كِتَابٍ لَمْ تَزَلِ الْمَلَائِكَةُ تُصَلِّيْ عَلَيْهِ مَا دَامَ اسْمِيْ فِيْ ذلِكَ الْكِتَابِ

Dan dengan sebab [mengamalkan] sabda Nabi s.a.w. : “Siapa saja yang bershalawat kepadaku di dalam sebuah kitab, maka tidak henti-hentinya para Malaikat bershalawat untuknya, selama namaku masih ada di kitab itu.”

 

قَالَ عَبْدُ الْمُعْطِي السَّمْلَاوِيُّ فِيْ مَعْنَى هذَا الْحَدِيْثِ أَيْ مَنْ كَتَبَ الصَّلَاةَ وَ صَلَّى أَوْ قَرَأَ الصَّلَاةَ الْمَرْسُوْمَةَ فِيْ التَّأْلِيْفِ أَوْ حَافِلٍ أَوْ رِسَالَةٍ لَمْ تَزَلِ الْمَلَائِكَةُ تَدْعُوْ بِالْبَرَكَةِ أَوْ تَسْتَغْفِرُ لَهُ

Telah berkata Syaikh ‘Abd-ul-Mu‘thī as-Samlāwī dalam memaknai hadits ini: “Maksudnya adalah siapa saja yang menulis shalawat dan ia ber-shalawat atau ia membaca shalawat yang ditulis di dalam penyusunan karya, atau surat undangan perayaan, atau sebuah surat, maka tidak henti-hentinya para malaikat akan berdoa untuk orang itu, dengan keberkahan atau memintakan ampunan untuk orang itu.”

 

(خَاتِمُ النَّبِيِّيْنَ) بِفَتْحِ التَّاءِ وَ كَسْرِهَا وَ الْكَسْرُ أَشْهَرُ أَيْ طَابِعُهُمْ كَمَا فِي الْمِصْبَاحِ

(pemungkas para nabi) lafazh khātimun, dengan dibaca fathah huruf tā’-nya dan bisa dibaca kasrah, dan huruf tā’-nya di baca kasrah adalah lebih terkenal, khātimun maksudnya adalah pemberi cap kenabian kepada para nabi, sebagaimana kepada para nabi, sebagaimana di dalam kitab al-Mishbā.

 

فَلَا نَبِيَّ بَعْدَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَهُوَ آخِرُهُمْ فِي الْوُجُوْدِ بِاعْتِبَارِ جِسْمِهِ فِي الْخَارِجِ.

Maka tidak ada nabi setelah beliau s.a.w., karena beliau yang terakhir di antara para Nabi di dalam perwujudannya dengan pertimbangan jasad kasarnya di dalam realita.

 

(وَ آلِهِ) وَ هُمْ جَمِيْعُ أُمَّةِ الْإِجَابَةِ لِخَبَرِ: “آلُ مُحَمَّدٍ كُلُّ تَقِيٍّ” أَخْرَجَهُ الطَّبْرَانِيُّ

 

(dan para keluarga beliau) dan mereka itu adalah semua umat yang berhak dikabulkan doanya, berdasarkan hadits : “Keluarga Muhammad adalah setiap orang yang bertakwa.” Hadits dikeluarkan oleh Imam ath-Thabrānī.

 

وَ هُوَ الْأَنْسَبُ بِمَقَامِ الدُّعَاءِ وَ لَوْ عَاصِيْنَ لِأَنَّهُمْ أَحْوَجُ إِلَى الدُّعَاءِ مِنْ غَيْرِهِمْ،

Pengertian ini adalah yang paling sesuai dengan kedudukan doa, walaupun mereka sebagai para pelaku maksiat, karena sesungguhnya mereka lebih membutuhkan kepada [dikabulkannya] doa, daripada selain mereka.

 

وَ أَمَّا فِيْ مَقَامِ الزَّكَاةِ فَالْمُرَادُ بِالْآلِ هُمْ بَنُوْ هَاشَمٍ وَ بُنُو الْمُطَّلِبِ.

Adapun di dalam kedudukan zakat, maka yang dimaksud dengan keluarga Nabi s.a.w., mereka adalah para anak keturunan Hāsyim dan Muththalib.

 

[تَنْبِيْهٌ] أَصْلُ آلٌ أَهْلٌ قُلِبَتِ الْهَاءُ هَمْزَةً تَوَصُّلًا لِقَلْبِهَا أَلِفًا ثُمَّ قُلِبَتِ الْهَمْزَةُ أَلِفًا لِسُكُوْنِهَا وَ انْفِتَاحِ مَا قَبْلَهَا هذَا مَذْهَبُ سِيْبَوَيْهَ،

(Peringatan) Asal kalimat ālun adalah ahlun, huruf hā’ dirubah bentuk, menjadi hamzah, karena sebagai perantara bagi berubah bentuknya huruf hā’ menjadi alif. Kemudian huruf hamzah itu dirubah bentuk menjadi alif karena sukūn-nya huruf hamzah tersebut dan ber-harakat fathah huruf sebelumnya. Ini merupakan pendapat Imam Sibawaih.

 

وَ قَالَ الْكِسَائِيْ: أَصْلُهُ أَوَلٌ عَلَى وَزْنِ جَمَلٌ تَحَرَّكَتِ الْوَاوُ وَ انْفُتِحَ مَا قَبْلَهَا قُلِبَتْ أَلِفًا.

 

Namun Imam al-Kisā’ī berkata: “Asal kalimat ālun adalah awalun, mengikuti wazan jamalun, huruf wāwu ber-arakat dan ber-harakat fathah huruf sebelumnya, maka huruf wāwu itu diubah bentuk menjadi huruf alif.”

 

(وَ صَحْبِهِ)

(dan para sahabat beliau).

 

وَ هُوَ مَنِ اجْتَمَعَ مُؤْمِنًا بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ بَعْدَ الرِّسَالَةِ وَ لَوْ قَبْلَ الْأَمْرِ بِالدَّعْوَةِ فِيْ حَالِ حَيَاتِهِ

Dan sahabat adalah orang yang berkumpul dengan Nabi s.a.w. dalam keadaan beriman setelah diangkat menjadi Rasūl, walaupun sebelum ada perintah untuk berdakwah [mengajak beriman], di saat Nabi s.a.w. masih hidup.

 

اجْتِمَاعًا مُتَعَارِفًا بِأَنْ يَكُوْنَ فِي الْأَرْضِ وَ لَوْ فِيْ ظُلْمَةٍ أَوْ كَانَ أَعْمَى وَ إِنْ لَمْ يَشْعُرْ بِهِ،

dengan berkumpul yang saling mengenal, dengan sekiranya keadaan berkumpulnya di bumi, walaupun dalam kegelapan, atau keadaan orang tersebut buta, meskipun ia tidak merasakan dengan [ciri fisik] Nabi s.a.w.

 

أَوْ كَانَ غَيْرَ مُمَيِّزٍ أَوْ مَارًّا أَحَدُهُمَا عَلَى الْآخَرِ وَ لَوْ نَائِمًا

 

atau keadaan orang tersebut belum tamyīz, atau sebagai orang yang melintas [sekejap] salah satu dari kedua orang itu atas orang yang lainnya, walaupun dalam keadaan tertidur,

 

أَوْ لَمْ يَجْتَمِعْ بِهِ، لكِنْ رَأَى النَّبِيَّ أَوْ رَآهُ النَّبِيُّ وَ لَوْ مَعَ بَعْدِ الْمَسَافَةِ وَ لَوْ سَاعَةً وَاحِدَةَ

atau ia tidak berkumpul dengan Nabi, akan tetapi ia melihat Nabi, atau Nabi melihat kepadanya, walaupun disertai dengan jauhnya jarak, walaupun hanya sesaat.

 

بِخِلَافِ التَّابِعِيِّ مَعَ الصَّحَابِيِّ فَلَا تَثْبُتُ التَّابِعِيَّةُ إِلَّا بِطُوْلِ الْاِجْتِمَاعِ مَعَهُ عُرْفًا عَلَى الْأَصَحِّ عِنْدَ أَهْلِ الْأُصُوْلِ وَ الْفُقَهَاءِ أَيْضًا،

Berbeda halnya Tābi‘īn [pengikut para sahabat] terhadap sahabat Nabi, maka tidak dapat ditetapkan sebagai tābi‘ī [pengikut sahabat], kecuali dengan lama berkumpul bersama sahabat, secara keumuman, berdasarkan pendapat yang paling shahih, juga menurut pendapat para ahli Ushul dan para ahli Fiqih.

 

وَ لَا يَكْفِيْ مُجَرَّدُ اللِّقَاءِ

Dan tidak mencukupi sekedar bertemu [saja].

 

بِخِلَافِ لِقَاءِ الصَّحَابِيِّ مَعَ النَّبِيِّ لِأَنَّ الْاِجْتِمَاعَ بِهِ يُؤَثِّرُ مِنَ النُّوْرِ الْقَلْبِيِّ أَضْعَافَ مَا يُؤَثِّرُهُ الْاِجْتِمَاعُ الطَّوِيْلُ بِالصَّحَابِيِّ وَ غَيْرِهِ،

 

berbeda halnya dengan bertemunya sahabat bersama Nabi, karena sungguh berkumpul dengan beliau memberi pengaruh, berupa cahaya hati dengan sangat berlipat ganda sesuatu yang memberi pengaruh terhadap cahaya hati itu, oleh lamanya berkumpul dengan sahabat dan selainnya.

 

لكِنْ قَالَ أَحْمَدُ السُّحَيْمِيُّ التَّابِعِيُّ هُوَ مَنْ لَقِيَ الصَّحَابِيَّ وَ لَوْ قَلِيْلًا وَ إِنْ لَمْ يَسْمَعْ مِنْهُ.

Akan tetapi Syaikh as-Suhaimī berkata: “Tābi‘ī adalah orang yang bertemu dengan sahabat, walaupun sebentar, meskipun ia tidak mendengar dari sahabat itu [tentang apapun].”

 

ثُمَّ اعْلَمْ أَنَّ الْخُلَفَاءَ الْأَرْبَعَةُ فِي الْفَضْلِ عَلَى حَسَبِ تَرْتِيْبِهِمْ فِي الْخِلَافَةِ عِنْدَ أَهْلِ السُّنَّةِ

Kemudian ketahuilah, bahwa para khalifah yang berjumlah empat, di dalam hal keutamaan ditentukan mereka itu berdasarkan urutan mereka dalam kekhalifahan, menurut pendapat Ahli Sunnah wal Jamā‘ah].

 

فَأَفْضَلُهُمْ أَبُوْ بَكْرٍ وَ اسْمُهُ عَبْدُ اللهِ ثُمَّ عُمَرَ ثُمَّ عُثْمَانُ ثُمَّ عَلِيٌّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ

Maka yang paling utama di antara mereka adalah Sayyidinā Abū Bakar, dan nama beliau adalah ‘Abdullāh, selanjutnya Sayyidinā ‘Umar, kemudian Sayyidinā ‘Utsmān, kemudian Sayyidinā ‘Alī, semoga Allah meridhai mereka semua.

 

وَ يَدُلُّ لِذلِكَ حَدِيْثُ ابْنُ عُمَرَ: كُنَّا نَقُوْلُ وَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَسْمَعُ: خَيْرُ هذِهِ الْأُمَّةِ بَعْدِ نَبِيِّهَا أَبُوْ بَكْرٍ ثُمَّ عُمَرُ ثُمَّ عُثْمَانُ ثُمَّ عَلِيٌّ فَلَمْ يَنْهَنَا.

Dan hal yang menunjukkan kepada ketentuan itu adalah hadits Sayyidinā Ibnu ‘Umar r.a.: “Kami pernah berkata dan Rasūlullāh s.a.w. mendengarkan: Orang terbaik umat ini, setelah Nabinya, adalah Abū Bakar kemudian ‘Umar, kemudian ‘Utsmān, kemudian ‘Alī.” Lalu Nabi tidak melarang kami [mengatakan itu].”

 

وَ يَلِيْهِمْ فِي الْأَفْضَلِيَّةِ السِّتَّةُ الْبَاقُوْنَ وَ هُمْ: طَلْحَةُ وَ الزُّبَيْرُ وَ عَبْدُ الرَّحْمنِ وَ سَعْدٌ وَ سَعِيْدٌ وَ عَامِرٌ

Dan mengiringi mereka dalam sisi keutamaan adalah enam sahabat yang lain, yaitu Sayyidinā Thalah, Sayyidinā Zubair, Sayyidinā ‘Abd-ur-Ramān, Sayyidinā Sa‘ad, Sayyidinā Sa‘īd dan Sayyidinā ‘Ᾱmir [Abū ‘Ubaidah bin al-Jarrā].

 

وَ لَمْ يَرِدْ نَصٌّ بِتَفَاوُتِ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ فِيْ الْأَفْضَلِيَّةِ فَلَا نَقُوْلُ بِهِ،

Dan tidak pernah datang satu nash-pun mengenai selisih tingkatan sebagian mereka atas sebagian yang lainnya dalam hal keutamaan, maka kami tidak akan mengomentari mengenai hal itu.

 

أَمَّا مَنِ اجْتَمَعَ بِالْأَنْبِيَاءِ قَبْلَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَيُقَالُ لَهُمْ حَوَارِيُّوْنَ.

Adapun orang yang berkumpul dengan para nabi sebelum Nabi Muammad s.a.w., maka disebut untuk mereka sebagai awariyyūn [para penolong].

 

(أَجْمَعِيْنَ) تَوْكِيْدٌ لِآلِهِ وَ صَحْبِهِ.

(seluruhnya) lafazh ajma‘īn merupakan kalimat penguat bagi kalimat ālihi wa shabihi.

 

[تَنْبِيْهٌ] قَالَ مُحَمَّدٌ الْأَنْدَلُسِيُّ: أَمَّا أَجْمَعُ وَ تَوَابِعُهُ فَمَعَارِفُ بِالْعَلَمِيَّةِ الْجِنْسِيَّةِ،

(Peringatan). Telah berkata Syaikh Muammad al-Andalusī: “Adapun lafazh ajma‘u dan tawābi‘-nya [lafazh semakna dengannya dan mengikuti ketentuannya] adalah kalimat-kalimat isim ma‘rifat sebab ‘alamiyyah al-jinsiyyah [merupakan nama bagi jenis tertentu].

 

وَ أَمَّا النَّفْسُ وَ الْعَيْنُ وَ كُلُّ فَمَعَارِفُ بِإِضَافَتِهَا لِضَمِيْرِ الْمُؤَكَّدِ.

Dan adapun lafazh nafsi dan ‘ain dan kullu, maka menjadi kalimat-kalimat ma‘rifat disebabkan ter-idhāfah-kan kepada dhamir yang ditujukan bagi kalimat yang di-taukīd-kan.”

 

(وَ لَا حَوْلَ وَ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْم)

 

(Dan tidak ada daya dan tidak ada kekuatan, kecuali dengan pertolongan Allah, Yang Maha Luhur lagi Maha Agung)

 

أَيْ لَا تَحَوُّلَ عَنْ مَعْصِيَةِ اللهِ إِلَّا بِاللهِ وَ لَا قُوَّةَ عَلَى طَاعَةِ اللهِ إِلَّا بِعَوْنِ اللهِ، هكَذَا وَرَدَ تَفْسِيْرُهُ عَنْهُ عَلَيْهِ السَّلَامُ عَنْ جِبْرِيْلَ أَفَادَهُ شَيْخُنَا يُوْسُفُ السَّنْبَلَاوِيْنِيُّ

Maksudnya adalah tidak ada daya [menghindar] dari bermaksiat kepada Allah, kecuali dengan pertolongan Allah, dan tidak ada kekuatan untuk melakukan ketaatan kepada Allah, kecuali dengan pertolongan Allah. Demikianlah penafsirannya yang datang dari Nabi s.a.w., dari malaikat Jibril. Demikian faidah itu diberikan oleh guru kami, Syaikh Yūsuf as-Sanbalāwīnī.

 

وَ الْعَلِيُّ الْمُرْتَفِعُ الرُّتْبَةِ الْمُنَزَّهُ عَمَّا سِوَاهُ وَ الْعَظِيْمُ ذُو الْعَظَمَةِ و الْكِبْرِيَاءِ قَالَهُ الصَّاوِيُّ،

Dan al-‘Aliyyu [Maha Luhur] adalah Dzat Yang Maha Tinggi kedudukannya, yang tersucikan dari setiap sesuatu selain-Nya. Dan al-‘Azhīm adalah Dzat Pemilik keagungan dan kesombongan. Demikian Syaikh ash-Shāwī telah mengatakannya.

 

وَ إِنَّمَا أَتَى الْمُصَنِّفُ بِالْحَوْقَلَةِ لِأَجْلِ التَّبَرِّيْ مِنْهُمَا، فَهذِهِ عَلَامَةُ الْإِخْلَاصِ مِنْهُ رَضِيَ اللهُ عَنْهِ

Dan sesungguhnya pengarang [Syaikh Sālim bin Sumair] mendatangkan dengan kalimat auqalah [lā aula wa lā quwwata illā billāh-il-‘aliyy-il-‘azhīm, hanyalah karena bertujuan membebaskan diri dari kedua hal itu [daya dan kekuatan manusia]. Maka inilah tanda keikhlasan dari beliau, semoga Allah meridhai beliau.

 

كَمَا قَالَهُ بَعْضُهُمْ: صَحِّحْ عَمَلَكَ بِالْإِخْلَاصِ وَ صَحِّحْ إِخْلَاصَكَ بِالتَّبْرِيِّ مِنَ الْحَوْلِ وَ الْقُوَّةِ،

Sebagaimana sebagian ulama telah mengatakannya: “Murnikan amalmu dengan keikhlasan, dan murnikan ikhlasmu dengan membebaskan diri dari daya dan kekuatan [diri sendiri]”

 

وَ أَيْضًا هِيَ غِرَاسُ الْجَنَّةِ كَمَا فِيْ حَدِيْثِ الْمِعْرَاجِ لَمَّا رَأَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ سَيِّدَنَا إِبْرَاهِيْمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ جَالِسًا عِنْدَ بَابِ الْجَنَّةِ عَلَى كُرْسِيٍّ مِنْ زَبَرْجَدَ أَخْضَرَ

Dan juga kalimat auqalah merupakan tanaman-tanaman surga, sebagaimana [keterangan] dalam hadits Mi‘rāj : “Tatkala Rasūlullāh s.a.w. melihat baginda kita Nabi Ibrāhīm a.s. sedang duduk di dekat pintu surga di atas kursi dari batu permata berwarna hijau.

 

قَالَ لِسَيِّدِنَا رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: مُرْ أُمَّتَكَ فَلْتَكْثُرْ مِنْ غِرَاسِ الْجَنَّةِ فَإِنَّ أَرْضَهَا طَيِّبَةٌ وَاسِعَةٌ

Maka Nabi Ibrāhīm a.s. berkata kepada baginda kita Rasūlullāh s.a.w. : Perintahkan umat anda agar mereka memperbanyak tanaman-tanaman surga, karena sesungguhnya tanah surga itu sangat baik [subur] lagi luas.”

 

فَقَالَ: وَ مَا غِرَاسُ الْجَنَّةِ؟

Lalu Nabi s.a.w. berkata: “Apakah tanaman-tanaman surga itu?”

 

فَقَالَ: لَا حَوْلَ وَ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ.

Maka Nabi Ibrāhīm a.s. berkata: “[Tanaman-tanaman surga itu adalah] kalimat lā aula wa lā quwwata illā billāh-il-‘aliyy-il-‘azhīm (Tidak ada daya dan tidak ada kekuatan, kecuali dengan pertolongan Allah, Yang Maha Luhur lagi Maha Agung)”

 

وَ قَالَ الْقَلْيُوْبِيُّ فِيْ شَرْحِ الْمِعْرَاجِ، فَائِدَةٌ: رُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: “مَنْ مَشَى إِلَى غَرِيْمِهِ بِحَقِّهِ يُؤَدِّيْهِ إِلَيْهِ

Dan telah berkata Syaikh al-Qalyūbī di dalam kitab Syara al-Mi‘rāj: “(Suatu faidah) diriwayatkan dari Sayyidinā Ibnu ‘Abbās r.a., bahwasanya beliau berkata: Rasūlullāh s.a.w. bersabda : “Siapa saja yang berjalan kepada pemberi hutang kepadanya, dengan membawa haknya yang ia akan menunaikan hak itu kepada pemberi hutang,

 

صَلَّتْ عَلَيْهِ دَوَابُّ الْأَرْضِ وَ نُوْنِ الْبِحَارِ أَيْ حِيْتَانُهَا وَ غُرِسَ لَهُ بِكُلِّ خَطْوَةٍ شَجَرَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَ غُفِرَ لَهُ ذَنْبٌ،

maka akan ber-shalawat [berdoa] kepada orang itu, hewan-hewan bumi dan ikan paus berbagai luatan, yakni ikan-ikan laut, dan ditanamkan untuknya di setiap langkah berupa satu pohon di surga, dan diampuni suatu dosa baginya.

 

وَ مَا مِنْ غَرِيْمٍ يُلْوِيْ غَرِيْمَهُ أَيْ يُمَاطِلُهُ وَ يَسُوْفُ بِهِ وَ هُوَ قَادِرٌ إِلَّا كَتَبَ اللهُ عَلَيْهِ فِيْ كُلِّ وَقْتٍ إِثْمًا”.

Dan tidaklah seorang penghutang yang menangguhkan kepada pemberi hutangnya, yakni mengulur-ulur [pembayaran] hutangnya, dan menunda-nunda dengan hutangnya itu, padahal ia orang yang mampu, melainkan pasti Allah akan mencatatkan atasnya di setiap putaran waktu akan suatu dosa.“

 

وَ مِنْ خَوَاصِّهَا مَا فِيْ فَوَائِدِ الشَّرْجِيِّ قَالَ ابْنُ أَبِي الدُّنْيَا بِسَنَدِهِ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: “مَنْ قَالَ كُلَّ يَوْمٍ لَا حَوْلَ وَ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ مِائَةَ مَرَّةٍ لَمْ يُصِبْهُ فَقْرٌ أَبْدًا”. اهـ.

Dan di antara keistimewaan kalimat auqalah adalah keterangan yang terdapat dalam kitab Fawā’id-usy-Syarjiyyi: “Telah berkata Imam Ibnu Abid-Dunyā dengan sanad-nya yang tersambung sampai Nabi s.a.w.: “Bahwasanya Nabi s.a.w. telah bersabda: “Siapa saja yang mengucapkan di setiap hari kalimat lā haula wa lā quwwata illā billāh-il-‘aliyy-il-‘azhīm sebanyak seratus kali, maka kefakiran tidak akan menimpanya, selamanya.” Selesai Syaikh asy-Syarjiyyi.

 

وَ رُوِيَ فِي الْخَبَرِ أَيْضًا: “إِذَا أُنْزِلَ بِالْإِنْسَانِ مُهِمٌّ وَ تَلَا لَا حَوْلَ وَ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ ثَلَاثَمِائَةِ مَرَّةٍ فَرَّجَ اللهُ عَنْهُ أَيْ أَقَلَّهَا، ذلِكَ ذَكَرَهُ شَيْخُنَا يُوْسُفُ فِيْ حَاشِيَتِهِ عَلَى الْمِعْرَاجِ”.

Dan diriwayatkan dalam sebuah hadits juga : “Apabila turun kepada seorang manusia hal yang menggelisahkan, dan ia membaca lā aula wa lā quwwata illā billāh-il-‘aliyy-il-‘azhīm, sebanyak 300 kali, niscaya Allah akan meringankan darinya,” yakni mengurangi hal yang menggelisahkannya itu. Demikian dituturkan hal itu oleh guru kami, Syaikh Yūsuf dalam hāsyiyah beliau mengenai penjelasan al-Mi‘rāj.

 

[تَنْبِيْهٌ] قَالَ الْعُلَمَاءُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ: اعْلَمْ أَنَّهُ لَا يُثَابُ ذَاكِرٌ عَلَى ذِكْرِهِ إِلَّا إِذَا عَرَفَ مَعْنَاهُ وَ لَوْ إِجْمَالًا بِخِلَافِ الْقُرْآنِ فَيُثَابُ قَارِئُهُ مُطْلَقًا، نَبَّهَ عَلَى ذلِكَ الْقَلْيُوْبِيُّ

(Peringatan) Telah berkata para ulama r.a.: “Ketahuilah bahwasanya orang yang ber-dzikir tidak akan mendapat pahala atas dzikirannya, kecuali apabila ia mengerti arti dzikir-nya itu, walaupun hanya secara umum. Berbeda dengan al-Qur’ān, maka pembacanya akan mendapat pahala secara mutlak [walaupun tidak mengerti artinya]”. Demikian telah memperingatkan atas hal itu oleh Syaikh al-Qalyūbī.

 

 

[فَائِدَةٌ] قَالَ الْمُقَدِّسِيُّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى: الْأَلِفُ وَ اللَّامُ فِيْ أَسْمَائِهِ تَعَالَى لِلْكَمَالِ لَا لِلْعُمُوْمِ وَ لَا لِلْعَهْدِ،

(Faidah). Telah berkata Syaikh al-Muqaddisī r.h.: “Huruf alif dan lām pada nama-nama Allah ta‘ālā untuk [menunjukkan] kesempurnaan, bukan untuk [menunjukkan pengertian] umum dan tidak untuk [menunjukkan pengertian] maklum.

 

قَالَ سِيْبَوَيْهِ: تَكُوْنُ لَامُ التَّعْرِيْفِ لِلْكَمَالِ تَقُوْلُ: زَيْدٌ الرَّجُلُ أَيِ الْكَامِلُ فِي الرُّجُوْلِيَّةِ

 

Imam Sibawaih berkata: “Keberadaan lām ta‘rīf untuk menunjukkan kesempurnaan [semisal] engkau mengucapkan: “Zaidun-ir-rajulu [Zaid sang lelaki]”, yakni orang yang sempurna dalam sifat kelelakiannya.”

 

وَ كَذلِكَ هِيَ مِنْ أَسْمَائِهِ تَعَالَى، ذَكَرَ هذَيْنِ الْقَوْلَيْنِ أَحْمَدُ التُّوْنِسِيُّ فِيْ نَشْرِ اللَّآلِيْ.

Dan demikian pula, huruf lam ta‘rīf dari nama-nama Allah ta‘ālā lainnya. Demikian dituturkan dua pendapat ini oleh Syaikh Amad at-Tūnisī di dalam kitab Nasyr-ul-La’ālī.

 

وَ اعْلَمْ أَنَّ لَفْظَ الْجَلَالَةِ أَعْرَفُ الْمَعَارِفِ بِاتِّفَاقِ.

Dan ketahuilah bahwa lafazh-ul-Jalālah merupakan paling ma‘rifat-nya berbagai isim ma‘rifat, berdasarkan kesepakatan ulama [ahli Nahwu].

 

وَ يُحْكَى أَنَّ سِيْبَوَيْهِ رُؤِيَ فِي الْمَنَامِ و أَخْبَرَ بِأَنَّ اللهَ تَعَالَى أَكْرَمَهُ بِكَرَامَةٍ عَظِيْمَةٍ بِقَوْلِهِ أَنَّ اسْمَهُ تَعَالَى أَعْرَفُ الْمَعَارِفِ.

Dan diceritakan bahwa Imam Sibawaih diimpikan di dalam tidur [seseorang], dan beliau memberitahukan dengan hal bahwa Allah ta‘ālā telah memuliakan beliau, dengan kemuliaan yang agung, karena ucapan beliau: “Sesungguhnya nama Allah ta‘ālā merupakan paling ma‘rifat-nya isim-isim ma‘rifat.”


والله اعلم بالصواب