BAGIAN : 2
AHKAM AQLI (HUKUM AKAL)
[صـــــ] (إِعْلَمْ أَنَّ الْحُكْمَ الْعَقْلِيَّ يَنْحَصِرُ فِيْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ: الْوُجُوْبُ، وَ الْاِتِحَالَةُ وَ الْجَوَازُ. فَالْوَاجِبُ مَا لَا يُتَصَوَّرُ فِي الْعَقْلِ عَدَمُهُ، وَالْمُسْتِحِيْلُ مَا لَا يُتَصَوَّرُ فِي الْعَقْلِ وُجُوْدُهُ، وَالْجَائِزُ مَا يَصِحُّ فِي الْعَقْلِ وُجُوْدُهُ وَعَدَمُهُ).
(Matan) Ketahuilah, sungguh hukum ‘aqli terbatas dalam tiga bagian: wājib, mustaḥīl dan jā’iz. Wājib adalah hukum yang ketiadaannya tidak ter-tashawwur-kan di dalam akal; mustaḥīl adalah hukum yang wujudnya tidak ter-tashawwur-kan di dalam akal; dan jā’iz adalah hukum yang wujud dan tidaknya sah (ter-tashawwur-kan) di dalam akal.
Syarḥ:
[شــــــ] الْحُكْمُ هُوَ إِثْبَاتُ أَمْرٍ أَوْ نَفْيِهِ، وَ الْحَاكِمُ بِذَلِكَ إِمَّا الشَّرْعُ أَوِ الْعَادَةُ أَوِ الْعَقْلُ، فَلِهذَا انْقَسَمَ الْحُكْمُ إِلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ: شَرْعِيٍّ، وَ عَادِيٍّ، وَ عَقْلِيٍّ.
Hukum adalah menetapkan atau menafikan suatu hal. Hakim (yang menghukumi) adakalanya syariat, adat, atau akal. Karena itu, hukum terbagi menjadi tiga, hukum syar‘ī, hukum adat, dan hukum ‘aqlī.
فَالشَّرْعِيُّ هُوَ خِطَابُ اللهِ تَعَالَى الْمُتَعَلِّقُ بِأَفْعَالِ الْمُكَلِّفِيْنَ بِالطَّلَبِ أَوِ الْإِبَاحَةِ أَوِ الْوَضْعِ لَهُمَا.
Hukum syar‘ī adalah khithab Allah ta‘ālā berupa tuntutan, ibāḥah, atau wadh‘ (ketentuan) untuk keduanya yang berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf.
فَدَخَلَ فِيْ قَوْلِنَا “بَالطَّلَبِ” أَرْبَعَةُ:
Maka ada empat hal yang masuk dalam ucapanku: “Berupa tuntutan”
الْإِيْجَابُ وَ هُوَ طَلَبُ الْفِعْلِ طَلَبًا جَازِمًا كالْإِيْمَانِ بِاللهِ وَ بِرُسُلِهِ وَ كَقَوَاعِدِ الْإِسْلَامِ الْخَمْسِ، وَ نَحْوِهِمَا.
Kewajiabnan, yaitu tuntutan terhadap suatu perbuatan dengan tuntutan yang tegas, seperti: mengimani Allah dan para rasul; kelima rukun Islam; dan semisalnya.
وَ النَّدْبُ، وَ هُوَ طَلَبُ الْفِعْلِ طَلَبًا غَيْرَ جَازِمٍ كَصَلَاةِ الْفَجْرِ وَ نَحْوِهَا.
Kesunnahan, yaitu tuntutan terhadap suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak tegas, seperti shalat sunnah fajar dan semisalnya.
وَ التَّحْرِيْمُ، وَ هُوَ طَلَبُ الْكَفِّ عَنِ الْفِعْلِ طَلَبًا جَازِمًا كَالشِّرْكِ بِاللهِ وَ الزِّنَا وَ نَحْوِهِمَا.
Keharaman, yaitu tuntutan mencegah dari suatu perbuatan dengan tuntutan yang tegas, seperti menyekutukan Allah, zina, dan semisalnya.
وَ الْكَرَاهَةُ، وَ هِيَ طَلَبُ الْكَفِّ عَنِ الْفِعْلِ طَلَبًا غَيْرَ جَازِمٍ كَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ مَثَلًا فِي الرُّكُوْعِ وَ السُّجُوْدِ.
Kemakruhan, yaitu tuntutan mencegah dari suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak tegas, seperti membaca al-Qur’ān, umpamanya saat ruku‘ dan sujud.
وَ أَمَّا الْإِبَاحَةُ فَهِيَ التَّحْيِيْرُ بَيْنَ الْفِعْلِ وَ التَّرْكِ كَالنِّكَاحِ وَ الْبَيْعِ وَ نَحْوِهَا.
Adapun ibāḥah adalah memberi pilihan antara melakukan suatu perbuatan dan meninggalkannya, seperti nikah, jual beli, dan semisalnya.
وَ أَمَّا الْوَضْعُ لَهُمَا، أَيْ لِلطَّلَبِ وَ الْإِبَاحَةِ ، فَعِبَارَةٌ عَنْ نَصْبِ الشَّرْعِ سَبَبًا أَوْ شَرْطًا أَوْ مَانِعًا لِمَا ذُكِرَ مِنَ الْأَحْكَامِ الْخَمْسَةِ الدَّاخِلَةِ فِيْ كَلَامِنَا تَحْتَ الطَّلَبِ وَ الْإبَاحَةِ.
Adapun wadha‘ untuk tuntutan dan ibāḥah adalah ungkapan dari penetapan syariat pada suatu sebab, syarat, atau māni‘ (pencegah) bagi kelima hukum yang telah masuk dalam ucapanku yang tercakup dalam tuntutan dan ibāḥah.
فَالسَّبَبُ مَا يَلْزَمُ مِنْ عَدَمِهِ الْعَدَمُ وَ مِنْ وُجُوْدِهِ الْوُجُوْدُ بِالنَّظْرِ إِلَى ذَاتِهِ كَالزَّوَالِ مَثَلًا، فَإِنَّ الشَّارِعَ وَضَعَهُ سَبَبًا لِوُجُوْبِ الظَّهْرِ، فَيَلْزَمُ مِنْ وُجُوْدِهِ وُجُوْبُ الظُّهْرِ وَ مِنْ عَدَمِهِ عَدَمُ وُجُوْبِهَا.
Sebab adalah sesuatu yang ketiadaannya menetapkan ketiadaan hukum, dan wujudnya menetapkan wujudnya hukum, dengan memandang zatnya, seperti condongnya matahari ke arah barat, misalnya, karena Allah menjadikannya sebagai sebab wujudnya, ada kewajiban shalat zhuhur; dan sebab tidak wujudnya, tidak ada kewajiban shalat zhuhur.
وَ إِنَّمَا قُلْنَا “بِالنَّظْرِ إِلَى ذَاتِهِ: لِأَنَّهُ قَدْ لَا يَلْزَمُ مِنْ وُجُوْدِ السَّبَبِ وُجُوْدُ الْمُسَبَّبِ لِعُرُوْضِ مَانِعٍ أَوْ تَخَلُّفِ شَرْطٍ، وَ ذلِكَ لَا يَقْدَحُ فِيْ تَسْمِيَتِهِ سَبَبًا، لِأَنَّهُ لَوْ نَظَرَ إِلَى ذَاتِهِ مَعَ قَطْعِ النَّظَرِ عَنْ مُوْجِبِ التَّخَلُّفِ لَكَانَ وُجُوْدُهُ مُقْتَضِيًا لِوُجُوْدِ الْمُسَبَّبِ.
Aku katakan: “Dengan memandang pada zatnya,” karena terkadang wujudnya sebab tidak memastikan wujudnya musabbab, karena adanya pencegah atau belum terpenuhinya syarat. Hal ini tidak menjadi cacat untuk penamaannya sebagai sebab, karena bila dipandang zatnya tanpa memandang faktor yang membuat tidak terpenuhinya syarat, niscaya wujudnya sebab memastikan wujudnya musabbab.
وَأَمَّا الشَّرْطُ فَهُوَ مَا يَلْزَمُ مِنْ عَدَمِهِ الْعَدَمُ وَ لَا يَلْزَمُ مِنْ وُجُوْدِهِ وُجُوْدٌ وَ لَا عَدَمٌ لِذَاتِهِ، وَ مِثَالُهُ الْحَوْلُ بِالنِّسْبَةِ إِلَى وُجُوْبِ الزَّكَاةِ فِي الْعَيْنِ وَ الْمَاشِيَةِ، فَإِنَّهُ يَلْزَمُ مِنْ عَدَمِ تَمَامِ الْحَوْلِ عَدَمُ وَجُوْبِ الزَّكَاةِ فِيْمَا ذُكِرَ، وَ لَا يَلْزَمُ مِنْ وُجُوْدِ تَمَامِ الْحَوْلِ وُجُوْبُ الزَّكَاةِ وَ لَا عَدَمِ وُجُوْبِهَا، لِتَوَقُّفِ وُجُوْبِ الزَّكَاةِ عَلَى مِلْكِ النِّصَابِ مِلْكًا كَامِلًا.
Adapun syarat adalah sesuatu yang ketiadaannya menetapkan ketiadaan hukum, namun wujudnya tidak (belum tentu) menetapkan wujudnya hukum ataupun ketiadaan ketiadaan hukum, dengan memandang zatnya, seperti haul (mencapai satu tahun) berkaitan dengan kewajiban zakat pada suatu barang atau hewan ternak. Dalam hal ini tidak wujudnya kesempurnaan haul menetapkan tidak adanya kewajiban zakat pada komoditas tersebut; namun wujudnya kesempurnaan haul tidak menetapkan wajib dan tidak wajibnya zakat, sebab tergantungnya kewajiban zakat pada kepemilikan secara sempurna harta sebanyak satu nishāb.
وَ أَمَّا الْمَانِعُ فَهُوَ مَا يَلْزَمُ مِنْ وُجُوْدِهِ الْعَدَمُ وَ لَا يَلْزَمُ مِنْ عَدَمِهِ وُجُوْدٌ وَ لَا عَدَمٌ لِذَاتِهِ، مِثَالُهُ الْحَيْضُ، فَإِنَّهُ يَلْزَمُ مِنْ وُجُوْدِهِ عَدَمُ وُجُوْبِ الصَّلَاةِ مَثَلًا، وَ لَا يَلْزَمُ مِنْ عَدَمِهِ وُجُوْبُ الصَّلَاةِ وَ لَا عَدَمُ وُجُوْبِهَا، لِتَوَقُّفِ وُجُوْبِهَا عَلَى أَسْبَابٍ أَخَرَ قَدْ تَحْصُلُ عِنْدَ عَدَمِ الْحَيْضِ وَ قَدْ لَا تَحْصُلُ.
Adapun māni‘ adalah sesuatu yang wujudnya menetapkan ketiadaan hukum, namun ketiadaannya tidak menetapkan wujudnya hukum maupun ketiadaan hukum dengan memandang zatnya, seperti haid. Sungguh wujudnya haid menetapkan tidak adanya kewajiban shalat, umpamanya, dan ketiadaannya tidak menetapkan wajib dan tidak wajibnya shalat, sebab tergantungnya kewajiban shalat pada sebab-sebab lain yang saat tidak adanya haid terkadang terpenuhi dan terkadang tidak terpenuhi.
فَخَرَجَ لَكَ مِنْ هذَا أَنَّ السَّبَبَ يُؤْثِرُ بِطَرَفَيْهِ، أَعْنِيْ طَرَفَيْ وُجُوْدِهِ وَ عَدَمِهِ، وَ الشَّرْطُ يُؤْثِرُ بِطَرَفِ عَدَمِهِ فَقَطْ فِي الْعَدَمِ فَقَطْ، وَ الْمَانِعُ بُؤْثِرُ بِطَرَفِ وُجُوْدِهِ فَقَطْ فِي الْعَدَمِ فَقَطْ، وَ مَحَلُّ اسْتِيْفَاءِ مَا يَتَعَلَّقُ بِمَبَاحِثِ الْحُكْمِ الشَّرْعِيِّ فِي الْأُصُوْلِ.
Dari sini dapat anda ambil kesimpulan, bahwa (1) sebab berpengaruh pada dua arahnya, yaitu arah wujud dan tidaknya; (2) syarat hanya berpengaruh pada arah ketiadaannya pada ketiadaan saja; dan (3) māni‘ hanya berpengaruh pada arah wujudnya pada ketiadaan saja. Adapun pembahasan mendalam yang berkaitan dengan pembahasan hukum syar‘ī adalah ilmu ushūl fiqh.
وَأَمَّا الْحُكْمُ الْعَادِيُّ فَحَقِيْقَتُهُ إِثْبَاتُ الرَّبْطِ بَيْنَ أَمْرٍ وَ أَمْرٍ وُجُوْدًا أَوْ عَدَمًا بِوَاسِطَةِ تَكَرُّرِ الْقِرَانِ بَيْنَهُمَا عَلَى الْحِسِّ.
Sementara hakikat hukum adat adalah menetapkan hubungan antara satu hal dengan hal lain dari sisi wujud dan ketiadaannya dengan perantara terulang-ulangnya kebersamaan di antara keduanya secara nyata.
مِثَالُ ذلِكَ الْحُكْمُ عَلَى النَّارِ بِأَنَّهَا مُحْرِقَةٌ فِهذَا حُكْمٌ عَادِيٌّ، إِذْ مَعْنَاهُ أَنَّ الْإحْرَاقَ يَقْتَرِنُ بِمَسِّ النَّارِ فِيْ كَثِيْرٍ مِنَ الْأَجْسَامِ لِمُشَاهَدَةِ تَكَرُّرِ ذلِكَ عَلَى الْحِسِّ.
Misalnya, menghukumi bahwa api dapat membakar. Ini adalah hukum adat, sebab maknanya adalah pembakaran terjadi berbarengan dengan tersentuhnya api apa mayoritas benda, karena secara nyata hal itu terbukti terjadi berulang kali.
وَ لَيْسَ مَعْنَى هذَا الْحُكْمِ أَنَّ النَّارَ هِيَ الَّتِيْ أَثْرَتْ فِيْ إِحْرَاقِ مَا مَسَّتْهُ مَثَلًا أَوْ فِيْ تَسْخِيْنِهِ إِذْ هذَا الْمَعْنَى لَا دِلَالَةَ لِلْعَادَةِ عَلَيْهِ أَصْلًا، وَ إِنَّمَا غَايَةُ مَا دَلَّتْ عَلَيْهِ الْعَادَةُ الْاِقْتِرَانُ فَقَطْ بَيْنَ الْأَمْرَيْنِ.
Hukum ini tidak berarti, bahwa api yang berpengaruh (menciptakan) pada terbakarnya benda yang tersentuh olehnya upamanya, atau berpengaruh memanaskannya. Sebab makna demikian oleh adat. Maksimal yang ditunjukkan adat hanyalah kebersamaan antara dua hal tersebut.
أَمَّا تَعْيِيْنُ فَاعِلٍ ذلِكَ فَلَيْسَ لِلْعَادَةِ فِيْهِ مُدْخَلٌ، وَ لَا مِنْهَا يُتَلَقَّى عِلْمُ ذلِكَ.
Adapun penentu faktor yang membakar benda, maka adat sama sekali tidak terkait dengannya dan tidak bisa diketahui darinya.
وَ قِسْ عَلَى هذَا سَائِرَ الْأَحْكَامِ الْعَادِيَةِ، كَكَوْنِ الطَّعَامِ مَشْبَعًا وَ الْمَاءِ مَرْوِيًّا وَ الشَّمْسِ مُضِيْئَةً والسِّكِّيْنِ قَاطِعَةٌ وَ نَحْوِ ذلِكَ مِمَّا لَا يَنْحَصِرُ.
Samakanlah seluruh hukum adat pada kasus ini, seperti keberadaan makanan dapat mengenyangkan, air dapat menyegarkan, matahari dapat menyinari, pisau dapat memotong, dan contoh kasus lain yang tidak terbatas.
وَ إِنَّمَا يُتَلَقَّى الْعِلْمُ بِفَاعِلِ هذِهِ الْآثَارِ الْمُقَارَنَةِ لِهذِهِ الْأَشْيَاءِ مِنْ دَلِيْلَيِ الْعَقْلِ وَ النَّقْلِ، وَ قَدْ أَطْبَقَ الْعَقْلُ وَ الشَّرْعُ عَلَى انْفِرَادِ الْمَوْلَى جَلَّ وَ عَزَّ بِاخْتِرَاعِ جَمِيْعِ الْكَائِنَاتِ عُمُوْمًا، لِأَنَّهُ لَا أَثَرَ لِكُلِّ مَا سِوَاهُ تَعَالَى فِيْ أَثَرِ مَا جُمْلَةً وَ تَفْصِيْلًا.
Pengetahuan tentang faktor yang memengaruhi dan yang berbarengan dengan berbagai hal tersebut hanya dapat diketahui dari dalil ‘aqlī dan naqlī. Sementara akal dan syariat telah sepakat atas mandirinya Allah Maha Penguasa – jalla wa ‘azza – dalam menciptakan seluruh perkara yang wujud secara umum, sebab tidak ada atsar (kemampuan menciptakan) bagi apapun selain Allah ta‘ālā dalam menciptakan perkara apapun, baik secara global maupun terperinci.
وَ قَدْ غَلَطَ قَوْمٌ فِيْ تِلْكَ الْأَحْكَامِ الْعَادِيَّةِ، فَجَعَلُوْهَا عَقْلِيَّةً وَ أَسْنَدُوْا وُجُوْدَ كُلِّ أَثَرٍ مِنْهَا لِمَا جَرَّتِ الْعَادَةُ أَنَّهُ يُوْجَدُ مَعَهُ، إِمَّا بِطَبْعِهِ أَوْ بِقُوَّةٍ أَوْدَعَتْ فِيْهِ، فَأَصْبَحُوْا وَ قَدْ بَاءُوْا بِهَوْسٍ ذَمِيْمٍ، وَ بِدْعَةٍ شَنِيْعَةٍ فِيْ أُصُوْلِ الدِّيْنِ وَ شِرْكٍ عَظِيْمٍ، وَ لَا حَوْلَ وَ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ.
Sungguh segolongan kaum telah salah memahami hukum-hukum adat, menganggapnya sebagai hukum ‘aqlī, dan menyandarkan wujud setiap atsar dalam permasalahan tersebut pada sebab yang biasanya wujud bersamaan dengannya, adakalanya menyandarkan pada tabiatnya atau kekuatan yang diletakkan padanya, sehingga mereka – dalam keterbalikannya – meyakini akidah yang rusak dan tercela, bid‘ah yang keji dalam ushūl-ud-dīn, dan syirik besar, lā ḥaula wa lā quwwata illā billāh-il-‘aliyy-il-‘azhīm.
نَسْأَلُهُ سُبْحَانَهُ النَّجَاةَ إِلَى الْمَمَاتِ مِنْ مُضِلَّاتِ الْفِتَنِ وَ الْمُرُوْرَ ظَاهِرًا وَ بَاطِنًا عَلَى أَهْدَى سُنَنٍ بِجَاهِ سَيِّدِنَا وَ مَوْلَانَا مُحَمَّدٍ (ص).
Aku memohon keselamatan dari fitnah-fitnah yang menyesatkan dan memedomani petunjuk sunnah secara lahir dan batin, kepada Allah dengan wasīlah derajat Sayyidinā wa Maulānā Muḥammad s.a.w.
وَ أَمَّا الْحُكْمُ الْعَقْلِيُّ فَهُوَ عِبَارَةٌ عَمَّا يُدْرِكُ الْعَقْلُ ثُبُوْتَهُ أَوْ نَفْيَهُ مِنْ غَيْرِ تَوَقُّفٍ عَلَى تَكَرُّرٍ وَ لَا وَضْعِ وَاضِعٍ، وَ هذَا الْحُكْمُ الثَّالِثُ هُوَ الَّذِيْ تَعَرَّضْنَا لَهُ فِيْ أَصْلِ الْعَقِيْدَةِ.
Sementara itu, hukum akal adalah istilah dari hukum yang penetapan dan penafiannya ditemukan oleh akal tanpa tergantung pada pengulangan-pengulangan dan pada putusan syariat. Hukum ketiga inilah yang aku jelaskan dalam pembahasan Kitab Asal, Kitāb al-‘Aqīdah.
فَقَوْلُنَا “الْحُكْمُ الْعَقْلِيُّ” احْتِرَازٌ مِنَ الشَّرْعِيِّ وَ الْعَادِيِّ، وَ قَدْ عَرَفْتَ مَعْنَاهُمَا.
Maka ucapanku: “Hukum ‘aqlī” dalam al-‘Aqīdah merupakan pengecualian dari hukum syariat dan hukum adat, yang telah anda ketahui maknanya.
وَقَوْلُهُ “يَنْحَصِرُ – فِيْ ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ” يَعْنِيْ أَنَّ كُلَّ مَا يُتَصَوَّرُ فِي الْعَقْلِ، أَيْ يُدْرِكُهُ مِنْ ذَوَاتٍ وَصِفَاتٍ، وَجُوْدِيَّةٍ أَوْ سَلْبِيَّةٍ، أَوْ أَحْوَالٍ قَدِيْمَةٍ أَوْ حَادِثَةٍ، لَا يَخْلُوْ عَنْ هذِهِ الثَّلَاثَةِ الْأَقْسَامِ، أَيْ لَا بُدَّ لَهُ أَنْ يَتَّصِفَ بِوَاحِدٍ مِنْهَا إِمَّا بِالْوُجُوْدِ أَوِ الْجَوَازِ أَوِ الْاِسْتِحَالَةِ.
Ungkapan Kitab Asal: “Hukum ‘aqlī terbatas dalam tiga bagian”, maksudnya sungguh setiap hal yang tertashawwurkan dalam akal, maksudnya berbagai zat dan sifat, yang bersifat wujud atau yang bersifat salbiyyah, atau ḥāliyyah yang bersifat qadim atau hadits (baru), yang dipahami akal, tidak terlepas dari ketiga bagian hukum ‘aqlī ini. Maksudnya pasti bersifat dengan salah satunya, adakalanya bersifat wājib, jawāz, atau mustaḥīl.
وَ قَوْلُهُ “فَالْوَاجِبُ مَا لَا يُتَصَوَّرُ فِي الْعَقْلِ عَدَمُهُ” يَعْنِيْ أَنَّ الْوَاجِبَ الْعَقْلِيَّ هُوَ الْأَمْرُ الَّذِيْ لَا يُدْرَكُ فِي الْعَقْلِ عَدَمُه.
Ungkapan Kitab Asal: “Wājib adalah hukum yang ketiadaannya tidak tertashawwurkan di dalam akal”, maksudnya sungguh wājib ‘aqlī adalah hal yang ketiadaannya tidak ditemukan menurut akal.
يَعْنِيْ إِمَّا ابْتِدَاءً بِلَا احْتِيَاجٍ إِلَى سَبْقِ نَظَرِ، وَ يُسَمَّى الضَّرُوْرِيَّ، كَالتَّحَيُّزِ مَثَلًا لِلْجِرْمِ، فَإِنَّ الْعَقْلَ ابْتِدَاءً لَا يُدْرِكُ انْفِكَاكَ الْجِرْمِ عَنِ التَّحَيُّزِ، أَيْ أَخْذِهِ قَدْرَ ذَاتِهِ مِنَ الْفَرَاغِ.
Maksudnya adakalanya langsung dipahami dari awal tanpa butuh pemikiran dahulu, yang disebut sebagai dharūrī, seperti bertempat bagi benda fisik umpamanya, sebab akal dari awal tidak memahami terlepasnya benda fisik dari mengambil tempat seukuran zatnya dari ruang yang kosong.
وَ إِمَّا بَعْدَ سَبْقِ النَّظَرِ وَ يُسَمَّى نَظَرِيًّا كَالْقِدَمِ لِمَوْلَانَا جَلَّ وَ عَزَّ، فَإِنَّ الْعَقْلَ إِنَّمَا يُدْرِكُ وُجُوْبَهُ لَهُ تَعَالَى إِذَا فَكَرَ الْعَقْلُ وَ عَرَفَ مَا يَتَرَتَّبُ علَى ثُبُوْتِ الْحُدُوْثِ لَهُ عَزَّ وَ جَلَّ مِنَّ الدَّوْرِ أَوِ التَّسَلْسُلِ الْوَاضِحِيِّ الْاِسْتِحَالَةِ.
Dan adakalanya yang dipahami setelah adanya pemikiran, yang disebut nazharī, seperti sifat qidam bagi Allah – jalla wa ‘azza – , sebab akal menemukan wājib-nya sifat qidam bagi Allah ta‘ālā ketika akal melakukan proses berfikir dan mengetahui daur (perputaran) dan tasalsul (ketersambungan) yang jelas-jelas mustaḥīl, yang muncul dari tetapnya sifat ḥudūts bagi-Nya.
فَقَدْ عَرَفْتَ بِهذَا انْقِسَامِ الْوَاجِبِ إِلَى ضَرُوْرِيٍّ وَ نَظَرِيٍّ.
Dengan penjelasan ini anda mengetahui terbaginya hukum wājib pada wājib yang bersifat dharūrī dan nazharī.
وَ قَوْلُهُ “وَ الْمُسْتَحِيْلُ مَا لَا يُتَصَوَّرُ فِي الْعَقْلِ وَجُوْدُهُ” يَعْنِيْ أَيْضًا إِمَّا ابْتِدَاءً أَوْ بَعْدَ سَبْقِ النَّظَرِ.
Ungkapan Kitab Asal: “Mustaḥīl adalah hukum yang wujudnya tidak tertashawwurkan di dalam akal”, maksudnya adakalanya mulai dari awal atau setelah adanya pemikiran, sebagaimana dalam hukum wājib.
فَمِثَالُ الْأَوَّلِ عُرْوُ الْجِرْمِ عَنِ الْحَرَكَةِ وَ السُّكُوْنِ، أَيْ تَجَرُّدُهُ عَنْهُمَا مَعًا بِحَيْثُ لَا يُوْجَدُ فِيْهِ وَاحِدٌ مِنْهُمَا، فَإِنَّ الْعَقْلَ ابْتِدَاءً لَا يَتَصَوَّرُ ثُبُوْتَ هذَا الْمَعْنَى لِلْجِرْمِ.
Contoh bagian pertama adalah sepinya benda fisik dari gerakan dan diam, maksudnya terlepasnya dari keduanya secara bersamaan sekira salah satunya tidak ditemukan padanya, sebab sungguh akal dari awal tidak mentashawwurkan tetapnya hal ini bagi benda fisik.
وَ مِثَالُ الثَّانِيْ كَوْنُ الذَّاتِ الْعَلِيَّةِ جِرْمًا، تَعَالَى اللهُ عَنْ ذلِكَ عُلُوًّا كَبِيْرًا، فَإِنَّ اسْتِحَالَةَ هذَا الْمَعْنَى عَلَيْهِ جَلَّ وَ عَزَّ إِنَّمَا يُدْرِكُهُ الْعَقْلُ بَعْدَ أَنْ يَسْبِقَ لَهُ النَّظَرُ فِيْ مَا يَتَرَتَّبُ عَلَى ذلِكَ مِنَ الْمُسْتَحِيْلِ، وَ هُوَ الْجَمْعُ بَيْنَ النَّقِيْضَيْنِ.
Contoh bagian kedua adalah keberadaan Zat Allah Yang Maha Tinggi sebagai benda fisik – Maha Luhur Allah darinya dengan seluhur-luhurnya – , sebab sungguh ke-mustaḥīl-an hal ini bagi Allah – jalla wa ‘azza – hanya dapat ditemukan oleh akal setelah ia melakukan pemikiran tentang ke-mustaḥīl-an yang muncul dari hal tersebut, yaitu berkumpulnya naqīdhain (25) (pada Allah).
وَ ذلِكَ أَنَّهُ قَدْ وَجَبَ لِمَوْلَانَا جَلَّ وَ عَزَّ الْقِدَمُ وَ الْبَقَاءُ لِئَلَّا يَلْزَمُ الدَّوْرُ أَوِ التَّسَلْسُلِ، لَوْ كَانَ تَعَالَى جِرْمًا لَوَجَبَ لَهُ الْحُدُوْثُ، تَعَالَى اللهُ عَنْ ذلِكَ عُلُوًّا كَبِيْرًا، لِمَا تَقَرَّرَ مِنْ وُجُوْبِ الْحُدُوْثِ لِكُلِّ جِرْمٍ، فَيَلْزَمُ إِذَنْ أَنْ لَوْ كَانَ تَعَالَى جِرْمًا أَنْ يَكُوْنَ وَاجَبَ الْقِدَمِ لِأُلُوْهِيَّتِهِ، وَ وَاجِبُ الْحُدُوْثِ لِجِرْمِيَّتِهِ، تَعَالَى عَن ذلِكَ عُلُوًّا كَبِيْرًا، وَ ذلِكَ جَمْعٌ بَيْنَ النَّقِيْضَيْنِ لَا مَحَالَةَ.
Penjelasannya adalah, sungguh telah wājib bagi Allah – jalla wa ‘azza – sifat qidam dan baqa’ agar tidak terjadi daur atau tasalsul, andaikan Allah ta‘ālā adalah benda fisik maka wājib baginya sifat ḥudūts – Maha Luhur Allah darinya dengan seluhur-luhurnya – , karena wājib-nya sifat ḥudūts bagi setiap benda fisik. Bila demikian maka bisa dipastikan, andaikan Allah ta‘ālā adalah benda fisik maka ia (tetap) wājib bersifat qidam karena sifat ketuhanannya, dan wājib bersifat ḥudūts karena sifat benda fisiknya – Maha Luhur Allah darinya dengan seluhur-luhurnya – . Hal ini secara pasti merupakan berkumpulnya dua hal yang bertentangan pada satu objek.
فَقَدْ عَرَفْتَ أَيْضًا بِهذَا انْقِسَامَ الْمُسْتَحِيْلُ إِلَى ضَرُوْرِيٍّ وَ نَظَرِيٍّ.
Dengan penjelasan ini anda juga mengetahui terbaginya hukum mustaḥīl pada mustaḥīl yang bersifat dharūrī dan nazharī.
وَ قَوْلُهُ “وَ الْجَائِزُ مَا يَصِحُّ فِي الْعَقْلِ وُجُوْدُهُ وَ عَدَمُهُ” يَعْنِيْ أَيْضًا إِمَّا ضَرُوْرَةٌ وَ إِمَّا بَعْدَ سَبْقِ النَّظَرِ.
Ungkapan Kitab Asal: “Jā’iz adalah hukum yang wujud dan tidaknya sah (tertashawwurkan) di dalam akal”, maksudnya adakalanya yang bersifat dharūrī maupun nazharī.
فَمِثَـالُ الْأَوَّلِ اتِّصَافُ الْجِرْمِ بِخُصُوْصِ الْحَرَكَةِ مَثَلًا، فَإِنَّ الْعَقْلَ يُدْرِكُ ابْتِدَاءً صِحَّةَ وُجُوْدِهَا لِلْجِرْمِ وَصِحَّةِ عَدَمِهَا لَهُ.
Contoh yang pertama adalah benda fisik bersifat bergerak saja umpamanya, sebab sungguh akal dari awal memahami keabsahan wujud dan tidak wujudnya gerakan baginya.
وَمِثَالُ الثَّانِيْ تَعْذِيْبُ الْمُطِيْعِ الَّذِيْ لَمْ يَعْصِ اللهَ قَطُّ طَرْفَةَ عَيْنٍ، فَإِنَّ الْعَقْلَ إِنَّمَا يَحْكُمُ بِجَوَازِ هذَا التَّعْذِيْبِ فِيْ حَقِّهِ عَقْلًا بَعْدَ أَنْ يَنْظُرَ فِيْ بُرْهَانِ الْوَحْدَانِيَّةِ لَهُ تَعَالَى وَ يُعْرَفُ أَنَّ الْأَفْعَالَ كُلَّهَا مَخْلُوْقَةٌ لِمَوْلَانَا جَلَّ وَ عَزَّ لَا أَثَرٌ لِكُلِّ مَا سِوَاهُ تَعَالَى فِيْ أَثَرِ مَا الْبَتَةَ.
Contoh yang kedua adalah penyiksaan (di akhirat) bagi orang yang taat yang sama sekali tidak pernah bermaksiat kepada Allah sekejap pun, sebab akal hanya menghukumi bolehnya penyiksaan itu baginya secara akal setelah melakukan pemikiran tentang dalil waḥdāniyyah Allah ta‘ālā, dan akal mengerti bahwa semua perbuatan merupakan ciptaan-Nya, sama sekali tidak ada pengaruh (menciptakan) apapun bagi selain Allah ta‘ālā terhadap sesuatu yang tercipta.
فَيَلْزَمُ مِنْ ذلِكَ اسْتِوَاءُ الْإِيْمَانِ وَ الْكُفْرِ وَ الطَّاعَةِ وَ الْمَعْصِيَةِ عَقْلًا، وَ أَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْ هذِهِ يَصْلُحُ أَنْ يُجْعَلَ أَمَارَةً عَلَى مَا جُعِلَ الْآخِرُ أَمَارَةً عَلَيْهِ، وَ الظُّلْمُ عَلَى مَوْلَانَا جَلَّ وَ عَزَّ مَسْتِحِيْلٌ كَيْفَمَا فَعَلَ أَوْ حَكَمَ، إِذِ الظُّلْمُ هُوَ التَّصَرُّفُ عَلَى خِلَافِ الْأَمْرِ، وَ مَوْلَانَا جَلَّ وَ عَزَّ هُوَ الْآمِرُ النَّاهِيْ الْمَبِيْحُ، فَلَا أَمْرَ وَ لَا نَهْيَ يَتَوجَّهُ إِلَيْهِ مِمَّنْ سِوَاهُ، إِذْ كُلُّ مَا سِوَاهُ مِلْكٌ لَهُ جَلَّ وَ عَلَا، لَا يُبْدِئُ شَيْئًا وَلَا يُعِيْدُهُ، وَ لَا أَثَرَ لَهُ فِيْ شَيْءٍ الْبَتَةَ، وَ لَا شَرِيْكَ لَهُ تَعَالَى فِيْ مُلْكِهِ، وَ لَا يُسْئَلُ عَمَّا يَفْعَلُ.
Dan hal itu terpastikan kesamaan antara iman dan kekufuran, ketaatan dan maksiat, menurut akal; dan terpastikan bahwa masing-masing dari keempat hal ini pantas dijadikan sebagai tanda sesuatu (siksaan atau pahala) yang selainnya dijadikan sebagai tandanya. Kezaliman bagi Allah – jalla wa ‘azza – adalah mustaḥīl, bagaimanapun Allah bertindak dan menghukumi, sebab zalim adalah tasharruf (tindakan) yang tidak bertentangan dengan perintah, sementara Allah – jalla wa ‘azza – adalah Zat Yang Maha Memerintah, Maha Mencegah, dan Maha Membolehkan. Karena itu, tidak ada perintah dan larangan dari selain Allah yang diarahkan kepada-Nya, sebab semua hal selain Allah adalah milik-Nya, yang sama sekali tidak dapat menciptakan sesuatu tanpa permulaan, tidak dapat mengembalikan sesuatu setelah ketiadaannya, dan tidak mempunyai pengaruh (menciptakan) apapun kepada sesuatu. Tidak ada sekutu bagi Allah dalam mengatur makhluk-Nya, dan Dia tidak diminta pertanggungjawaban atas perbuatan-Nya.
فَصَحَّ إِذَنْ أَنْ يُدْرِكَ الْعَقْلُ لِكُلٍّ مِنَ الْمُؤْمِنِ وَ الْكَافِرُ وَ الْمُطِيْعِ وَ الْعَاصِيْ صِحَّةُ وُجُوْدِ الثَّوَابِ وَالْعِقَابِ أَوْ عَدَمِهِمَا، وَ اخْتِصَاصُ كُلِّ وَاحِدٍ بِمَا اخْتَصَّ اخْتِيَارِ مَوْلَانَا جَلَّ وَ عَزَّ، لَا بِسَبَبٍ عَقْلِيٍّ اقْتَضَى ذلِكَ، لَكِنْ إِدْرَاكُ الْعَقْلِ لِجَوَازِ هذَا الْمَعْنَى مَوْقُوْفٌ عَلَى تَحْقِيْقِ النَّظَرِ الَّذِيْ قَدَمْنَاهُ.
Bila demikian, maka benar akal memahami keabsahan wujudnya pahala dan siksaan, atau ketiadaan keduanya bagi setiap mu’min dan kafir, orang yang taat dan yang maksiat. Kekhususan masing-masing dengan pahala atau siksaan yang dikhususkan baginya, hanyalah merupakan murni pilihan dari Allah – jalla wa ‘azza – , bukan karena sebab ‘aqlī yang menuntutnya, namun pemahaman akal atas bolehnya hal ini tergantung pada penalaran yang benar atas dalil waḥdāniyyah Allah yang telah aku sebutkan tadi.
فَبَانَ لَكَ بِهذَا أَنَّ الْجَائِزَ يَنْقَسِمُ أَيْضًا إِلَى ضَرُوْرِيٍّ وَ نَظَرِيٍّ كَمَا انْقَسَمَ الْقِسْمَانِ اللَّذَانِ قَبْلَهُ، وَاتَّضَحَ بِهذَا أَنَّ الْأَقْسَامَ الثَّلَاثَةَ قَدْ تَفَرَّعَتْ إِلَى سِتَّةِ أَقْسَامٍ مِنْ ضَرْبِ ثَلَاثَةٍ فِي اثْنَيْنِ، إِذْ كُلُّ قِسْمٍ مِنْهَا فِيْهِ قِسْمَانِ.
Dengan penjelasan ini maka menjadi jelas bagi anda, sungguh hukum jā’iz juga terbagi pada jā’iz dharūrī dan jā’iz nazharī, sebagaimana pembagian hukum wājib dan mustaḥīl sebelumnya. Dengan ini pula menjadi jelas, sungguh ketiga bagian hukum ini bercabang menjadi enam bagian, dari hasil mengkalikan tiga pada dua, sebab dalam masing-masing ketiga hukum itu ada dua bagian.
وَإِنَّمَا قَيَّدْنَا الصِّحَّةَ بِالْعَقْلِ فِيْ حَقِّ الْجَائِزِ فَقُلْنَا فِيْهِ “مَا يَصِحُّ فِي الْعَقْلِ” لِيَدْخُلَ فِيْهِ نَحْوُ جَوَازِ الْعَذَابِ فِيْ حَقِّ الْمُطِيْعِ، فَإِنَّ الْعَقْلَ هُوَ الْحَاكِمُ بِصِحَّةِ وُجُوْدِ الْعَذَابِ وَ عَدَمِهِ فِيْ حَقِّهِ بِمَعْنَى أَنَّهُ لَوْ وَقَعَ كُلٌّ مِنْهُمَا لَمْ يَلْزَمْ مِنْ وُقُوْعِهِ نَقْصٌ فِيْ حَقِّهِ تَعَالَى وَ لَا مُحَالٌ الْبَتَةَ.
Aku batasi kata sah dengan kata menurut akal dalam definisi hukum jā’iz, sehingga aku katakan: “Yang sah (tertashawwurkan) di dalam akal”, agar mencakup semisal bolehnya siksa bagi orang yang taat, sebab hanya akal yang menghakimi keabsahan wujud dan tidak wujudnya siksa baginya. Artinya, andaikan masing-masing dari kedua hal itu terjadi maka tidak menetapkan kekurangan bagi Allah ta‘ālā dan tidak mustaḥīl sama sekali.
أَمَّا الشَّرْعُ فَقَدْ بَيَّنَ أَنَّ اللهَ تَعَالَى قَدِ اخْتَارَ بِمَحْضِ فَضْلِهِ لِلْمُؤْمِنِ الْمُطِيْعِ أَحَدَ الْأَمْرَيْنِ الْجَائِزَيْنِ فِيْ حَقِّهِ تَعَالَى، وَ هُوَ الثَّوَابُ وَ النَّعِيْمُ الْمُقِيْمُ كَمَا اخْتَارَ تَعَالَى بِعَدْلِهِ لِلْكَافِرِ الْجَائِزُ الْآخَرُ، وَ هُوَ النَّارُ وَالْعَذَابُ الْأَلِيْمُ.
Adapun syariat maka telah menjelaskan, bahwa dengan murni anugerah-Nya, Allah ta‘ālā telah memilihkan salah satu dari dua hal yang jā’iz bagi-Nya – yaitu pahala dan kenikmatan abadi – untuk orang mu’min yang taat kepada-Nya, sebagaimana Allah ta‘ālā dengan keadilan-Nya telah memilihkan hal jā’iz lain – yaitu neraka dan siksa yang pedih – untuk orang kafir.
وَ اعْلَمْ أَنَّ الْحَرَكَةَ وَ السُّكُوْنَ لِلْجِرْمِ يَصِحُّ أَنْ يُمَثَّلَ بِهِمَا لِأَقْسَامِ الْحُكْمِ الْعَقْلِيِّ الثَّلَاثَةِ، فَالْوَاجِبُ الْعَقْلِيُّ ثُبُوْتُ أَحَدِهِمَا لَا بِعَيْنِهِ لِلْجِرْمِ، وَ الْمُسْتَحِيْلُ نَفْيُهُمَا مَعًا عَنِ الْجِرْمِ، وَ الْجَائِزُ ثُبُوْتُ أَحَدِهِمَا بِالْخُصُوْصِ لِلْجِرْمِ.
Ketahuilah, sungguh gerakan dan diam untuk benda fisik itu sah ditamsilkan pada ketiga bagian hukum akal. Wājib ‘aqlī, yaitu tetapnya salah satu dari keduanya bukan karena zatnya untuk benda fisik; mustaḥīl ‘aqlī, yaitu penafian keduanya secara bersamaan dari benda fisik; dan jā’iz ‘aqlī, yaitu tetapnya salah satunya bagi benda fisik.
وَ اَعْلَمْ أَنَّ مَعْرِفَةَ هذِهِ الْأَقْسَامِ الثَّلَاثَةِ وَ تَكْرِيْرُهَا تَأْنِيْسٌ لِلْقَلْبِ بِأَمْثِلَتِهَا حَتَّى لَا يَحْتَاجُ الْفِكْرُ فِي اسْتِحْضَارِ مَعَانِيْهَا إِلَى كُلْفَةٍ أَصْلًا مِمَّا هُوَ ضَرُوْرِيٌّ عَلَى كُلِّ عَاقِلٍ يُرِيْدُ أَنْ يَفُوْزَ بِمَعْرِفَةِ اللهِ تَعَالَى وَ رُسُلِهِ عَلَيْهِمُ الصَّلَاةُ وَ السَّلَامُ، بَلْ قَدْ قَالَ إِمَامُ الْحَرَمَيْنِ وَ جَمَاعَةٌ: “إِنَّ مَعْرِفَةَ هذِهِ الثَّلَاثَةِ هِيَ نَفْسُ الْعَقْلِ، فَمَنْ لَمْ يَعْرِفْ مَعَانِيْهَا فَلَيْسَ بِعَاقِلٍ”، وَاللهُ الْمُوَفِّقُ.
Ketahuilah, sungguh mengetahui ketiga bagian hukum ‘aqlī ini – dan mengulang-ulang berbagai contohnya merupakan penentram hati, sehingga untuk menghadirkan maknanya pikiran sama sekali tidak membutuhkan usaha yang berat – termasuk kebutuhan primer bagi setiap orang berakal yang menghendaki kesuksesan mengenal Allah ta‘ālā dan para rasul-Nya. Bahkan Imām al-Ḥaramain dan segolongan ulama mengatakan:
“Sungguh mengetahui ketiga hukum ‘aqlī ini merupakan akal sejati. Sebab itu, orang yang tidak mengetahui maknanya, maka bukanlah orang berakal.”
Wallāhu muwaffiq (semoga Allah senantiasa memberikan taufiq kekuatan untuk taat)
M. Rifqy Aziz Syafe'i