KAJIAN KASYIFATU SAJA’ SYARAH SAFINAH
PENGAJIAN ALUMNI PUTRA DAARUS SA’ADAH 1
M. RIFQY AZIZ SYAFE’I
الحلقة الثانية
PERTEMUAN KEDUA
BAGIAN :
RUKUN ISLAM
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
Kami Mulai Mengaji Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih
Lagi Maha Penyayang
(فَصْلٌ): فِيْ بَيَانِ دَعَائِمِ
الْإِسْلَامِ وَ أَسَاسِهَا وَ أَجْزَائِهَا
(FASAL) Tentang penjelasan tiang-tiang
penyangga agama Islam, asas-asasnya dan bagian-bagiannya.
(أَرْكَانُ الْإِسْلَامِ خَمْسَةٌ) فَلَا
يَنْبَغِيْ بِغَيْرِهَا فَإِضَافَةُ الْأَرْكَانِ مِنْ إِضَافَةِ الْأَجْزَاءِ
إِلَى الْكُلِّ
(Rukun-rukun
Islam itu ada lima), maka Islam tidak dapat terbangun dengan selainnya. Adapun
idhāfah lafazh al-Arkān tergolong idhāfah al-Ajzāi ilal-Kulli [penyandaran
bagian-bagian dari sesuatu kepada keseluruhannya].
أَيِ الدَّعَائِمُ وَ الْأَسَاسُ وَ الْأَجْزَاءُ
الَّتِيْ يُتَرَكَّبُ الْإِسْلَامُ مِنْهَا خَمْسَةٌ فَلَا يَكُوْنَ مِنْ
غَيْرِهَا،
Maksudnya
adalah tiang-tiang penyangga, asas-asas dan bagian-bagian yang agama Islam
disusun darinya itu ada lima, maka tidak ada dari selainnya.
قَالَ الْبَاجُوْرِيْ: الْإِسْلَامُ لُغَةً مُطْلَقُ
الْاِنْقِيَادِ أَيْ سَوَاءٌ كَانَ لِلْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ أَوْ
لِغَيْرِهَا، وَ شَرْعًا: الْاِنْقِيَادُ لِلْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ،
Telah
berkata Syaikh al-Bājūrī: “Islam menurut bahasa adalah kepatuhan secara mutlak,
yakni sama saja kepatuhan itu kepada hukum-hukum syarī‘at atau kepada
selainnya. Dan menurut syarī‘at adalah kepatuhan kepada hukum-hukum syarī‘at.
وَ قِيْلَ الْإِسْلَامُ هُوَ الْعَمَلُ. اِنْتَهَى.
Dan
dikatakan [oleh satu pendapat]: “Islam adalah amal [beribadah].” Selesai
al-Bājūrī.
أَوَّلُهَا (شَهَادَةُ) أَيْ تَيَقُّنُ (أَنْ لَا
إِلهَ) أَيْ لَا مَعْبُوْدَ بِحَقٍّ مَوْجُوْدٌ (إِلَّا اللهُ)
Rukun
yang pertama adalah (bersaksi) yakni meyakini (bahwa tidak ada tuhan) yakni
tidaklah zat yang disembah dengan haq itu wujud (kecuali Allah).
وَ هُوَ مُتَّصِفٌ بِكُلِّ كَمَالٍ لَا نِهَايَةَ
لَهُ وَ لَا يَعْلَمُهُ إِلَّا هُوَ
Dan
Allah adalah Zat yang bersifatkan dengan segala kesempurnaan yang tidak ada
batas akhir bagi-Nya, dan tidak ada yang mengetahui hal itu, kecuali hanya Dia.
وَ مُنَزَّهٌ عَنْ كُلِّ نَقْصٍ وَ مُنْفَرِدٌ
بِالْمِلْكِ وَ التَّدْبِيْرِ، وَاحِدٌ فِيْ ذَاتِهِ وَ صِفَاتِهِ وَ أَفْعَالِهِ.
Dan
Zat yang tersucikan dari segala kekurangan, dan Zat yang bersendirian dalam
penguasaan dan pengetahuan. Zat Yang Maha Esa dalam Zat-Nya, sifat-sifatNya dan
berbagai perbuatan-Nya.
(وَ أَنَّ مُحَمَّدًا)بْنَ عَبْدِ اللهِ بْنِ
عَبْدِ الْمُطَّلِبِ بْنِ هَاشِمٍ بْنِ عَبْدِ مَنَافٍ (رَسُوْلُ اللهِ)
(Dan
bahwa Nabi Muḥammad)
bin ‘Abdillāh bin ‘Abd-il-Muththalib bin Hāsyim bin ‘Abdi Manāf (adalah utusan
Allah).
وَ اخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِيْ بَعْثَةِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِلَى الْمَلَائِكَةِ عَلَى قَوْلَيْنِ،
Kalangan
ulama berbeda pendapat mengenai pengutusan Nabi s.a.w. kepada para malaikat,
atas dua pendapat,
وَ جَزَمَ الْحَلِيْمِيُّ وَ الْبَيْهَقِيُّ أَنَّهُ
لَمْ يَكُنْ مَبْعُوْثًا إِلَيْهِمْ،
1).
Imām al-Ḥalīmī
dan Imām al-Baihaqī mengukuhkan pendapat bahwasanya Nabi s.a.w. tidak diutus
kepada para malaikat.
وَ رَجَّحَ السُّيُوْطِيُّ وَ الشَّيْخُ تَقِيُّ
الدِّيْنِ السُّبْكِيُّ أَنَّهُ كَانَ مَبْعُوْثًا إِلَيْهِمْ،
2).
Dan Imām as-Suyūthī dan Syaikh Taqiyyuddīn as-Subkī memastikan unggul pendapat
bahwasanya Nabi s.a.w. diutus kepada para malaikat.
وَ زَادَ السُّبْكِيُّ أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَ سَلَّمَ مُرْسِلٌ إِلَى جَمِيْعِ الْأَنْبِيَاءِ وَ الْأُمَمِ السَّابِقَةِ
Dan
Syaikh as-Subkī menambahkan: “Sesungguhnya Nabi Muḥammad
s.a.w. diutus kepada seluruh para nabi dan umat-umat terdahulu.”
وَ أَنَّ قَوْلَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ:
بُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ كَافَّةً شَامِلٌ لَهُمْ مِنْ لَدُنْ آدَمَ إِلَى قِيَامِ
السَّاعَةِ
Dan
sesungguhnya sabda Nabi s.a.w.: “Aku diutus kepada manusia seluruhnya”, hal itu
mencakup kepada para manusia, mulai dari Nabi Ᾱdam sampai direalisasikan hari
kiamat.
وَ رَجَّحَهُ الْبَارِزِيُّ وَ زَادَ أَنَّهُ
مُرْسَلٌ إِلَى جَمِيْعِ الْحَيَوَانَاتِ وَ الْجَمَادَاتِ مِنْ رَمَلٍ وَ حَجَرٍ
وَ مَدَرٍ،
Dan
Syaikh al-Bārizī memastikan unggul pendapat itu, dan beliau menambahkan:
“Sesungguhnya Nabi s.a.w. diutus kepada seluruh hewan-hewan dan benda-benda
mati, yaitu kerikil, bebatuan dan lumpur.”
وَ زِيْدَ عَلَى ذلِكَ أَنَّهُ مُرْسَلٌ إِلَى
نَفْسِهِ، ذَكَرَ ذلِكَ فِيْ تَزْيِيْنِ الْأَرَائِكِ،
Dan
ditambahkan atas pendapat itu, bahwasanya Nabi s.a.w. diutus kepada diri beliau
sendiri. Dituturkan hal itu di dalam kitab Tazyīn-ul-Arā’ik.
قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: وَ
أُرْسِلْتُ إِلَى الْخَلْقِ كَافَّةً.
Nabi
s.a.w. bersabda :
“Dan aku diutus kepada makhluk seluruhnya.”
[فَائِدَةٌ] قَالَ الْبَاجُوْرِيُّ: وَ قَدْ
ذَكَرَ بَعْضُهُمْ أَنَّ مِنْ تَمَامِ الْإِيْمَانِ أَنْ يَعْتَقِدَ الْإِنْسَانُ
أَنَّهُ لَمْ يَجْتَمِعْ فِيْ أَحَدٍ مِنَ الْمَحَاسِنِ الظَّاهِرَةِ وَ
الْبَاطِنَةِ مِثْلُ مَا اجْتَمَعَ فِيْهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ.
(FAIDAH).
Berkata Syaikh al-Bājūrī: “Dan sungguh sebagian ulama telah menuturkan bahwa
termasuk kesempurnaan iman adalah seorang manusia harus meyakini bahwasanya
tidaklah akan terhimpun di diri seorang pun, dari berbagai kebagusan-kebagusan
lahiriyah dan bathiniyah sesuatu yang menyamai dengan apa yang terhimpun di
diri Nabi s.a.w.”
RUKUN ISLAM KE-2
(وَ) ثَانِيْهَا (إِقَامُ الصَّلَاةِ)
(Dan)
rukun Islam yang kedua adalah (mendirikan shalat).
وَ هِيَ أَفْضَلُ الْعِبَادَاتِ الْبَدَنِيَّةِ
الظَّاهِرَةِ وَ بَعْدَهَا الصَّوْمُ ثُمَّ الْحَجُّ ثُمَّ الزَّكَاةُ
Dan
shalat adalah seutama-utamanya ibadah-ibadah fisik lahiriyah, dan setelah
shalat adalah puasa, kemudian haji, kemudian zakat.
فَفَرْضُهَا أَفْضَلُ الْفَرَائِضِ وَ نَفْلُهَا
أَفْضَلُ النَّوَافِلِ
Maka
shalat fardhu adalah seutama-utamanya ibadah-ibadah fardhu, dan shalat sunnah
adalah seutama-utamanya ibadah-ibadah sunnah.
وَ لَا يُعَذَّرُ أَحَدٌ فِيْ تَرْكِهَا مَا دَامَ
عَاقِلًا.
Dan
tidak diberikan dispensasi seorang pun dalam hal meninggalkan shalat, selama ia
masih berfungsi akalnya.
وَ أَمَّا الْعِبَادَاتُ الْبَدَنِيَّةُ
الْقَلْبِيَّةُ كَالْإِيْمَانِ وَ الْمَعْرِفَةِ وَ التَّفَكُّرِ وَ التَّوَكُّلِ
وَ الصَّبْرُ وَ الرَّجَاءُ وَ الرِّضَا بِالْقَضَاءِ وَ الْقَدَرِ وَ مَحَبَّةِ
اللهِ تَعَالَى وَ التَّوْبَةِ وَ التَّطَهُّرِ مِنَ الرَّذَائِلِ كَالطَّمْعِ وَ
نَحْوِهِ
Adapun
ibadah-ibadah fisik bathiniyah, seperti beriman, mengenal Allah, berfikir,
tawakkal, sabar, ridha dengan qadha’ dan qadar, mencintai Allah ta‘ālā, taubat,
mensucikan diri dari berbagai sifat hina, seperti sifat thama‘ dan semacamnya.
فَهِيَ أَفْضَلُ مِنَ الْعِبَادَاتِ الْبَدَنِيَّةِ
الظَّاهِرَةِ حَتَّى مِنَ الصَّلَاةِ
maka
semua hal itu merupakan ibadah paling utama dibandingkan berbagai ibadah fisik
lahiriyah, sekalipun dibandingkan dengan shalat.
فَقَدْ وَرَدَ: تَفَكُّرُ سَاعَةٍ أَفْضَلُ مِنْ
عِبَادَةِ سِتِّيْنَ سَنَةً
Karena
sungguh telah datang [hadits] :
“Berfikir sesaat itu lebih utama dibandingkan ibadah selama 60 tahun.”
وَ أَفْضَلُ الْجَمِيْعِ الْإِيْمَانُ
Namun
yang paling utama dari keseluruhan itu adalah berkeimanan.
[فَائِدَةٌ] قَالَ جُمْهُوْرُ الْعُلَمَاءِ:
إِنَّ التَّفَكُّرَ عَلَى خَمْسَةِ أَوْجَهٍ: إِمَّا فِيْ آيَاتِ اللهِ وَ
يَلْزَمُهُ التَّوَجُّهُ إِلَيْهِ وَ الْيَقِيْنُ بِهِ،
(FAIDAH).
Mayoritas ulama berkata: “Sesungguhnya berfikir terdiri atas 5 bentuk.
Adakalanya [berfikir] mengenai tanda-tanda [keagungan] Allah, dan hal itu
meniscayakan terhadap memusatkan hati hanya kepada Allah dan meyakini kepada
kuasa-Nya, dan yakin dengan-Nya.
أَوْ فِيْ نِعْمَةِ اللهِ وَ يَتَوَلَّدُ عَنْهُ
الْمَحَبَّةُ،
Atau
[berfikir] mengenai nikmat Allah, dan akan lahir darinya, rasa cinta [kepada
Allah].
أَوْ فِيْ وَعْدِ اللهِ وَ يَتَوَلَّدُ عَنْهُ
الرَّغْبَةُ،
Atau
[berfikir] mengenai janji Allah, dan akan lahir darinya, rasa suka [ber-ibadah
kepada-Nya].
أَوْ فِيْ وَعِيْدِ اللهِ وَ يَتَوَلَّدُ عَنْهُ
الرَّهْبَةُ،
Atau
[berfikir] mengenai ancaman Allah, dan akan lahir darinya, rasa gentar
[terhadap ancaman Allah].
أَوْ فِيْ تَقْصِيْرِ النَّفْسِ عَنِ الطَّاعَةِ وَ
يَتَوَلَّدُ عَنْهُ الْحَيَاءُ بِالْفَتْحِ وَ الْمَدِّ وَ هُوَ الْاِنْقِبَاضُ وَ
الْاِنْزِوَاءُ.
Atau
[berfikir] tentang kecerobohan diri sendiri [jauh] dari ketaatan, dan akan
lahir darinya, rasa malu. Kalimat al-Ḥayā’u dengan dibaca fatḥah huruf
yā’-nya dan dibaca panjang, al-Ḥayā adalah rasa tertekan dan rasa
terpojokkan”
قَالَ أَحْمَدُ بْنُ عَطَاءِ اللهِ: مِنْ عَلَامَاتِ
مَوْتِ الْقَلْبِ عَدَمُ الْحُزْنِ عَلَى مَا فَاتَكَ مِنَ الطَّاعَاتِ وَتَرْكِ
النَّدَمِ عَلَى مَا فَعَلْتَهُ مِنْ وُجُوْدِ الزَّلَّاتِ.
Syaikh
Aḥmad
bin ‘Athā’illāh berkata: “Di antara tanda-tanda matinya hati adalah tidak
merasa sedih atas perkara yang terluput darimu, yaitu berbagai ketaatan, dan
meninggalkan penyesalan atas perkara yang telah engkau kerjakan, yaitu
terwujudkan berbagai kesalahan.”
وَ قَالَ أَيْضًا: الْحُزْنُ عَلَى فُقْدَانِ
الطَّاعَاتِ فِي الْحَالِ مَعَ عَدَمِ النُّهُوْضِ أَيِ الْاِرْتِفَاعِ إِلَيْهَا
فِي الْمُسْتَقْبَلِ مِنْ عَلَامَاتِ الْاِغْتِرَارِ.
Dan
beliau pun berkata: “Bersedih atas ketiadaan berbagai ketaatan di saat itu
juga, disertai dengan ketiadaan membangkitkan diri, yakni bersemangat tinngi,
untuk [melakukan] berbagai ketaatan itu, di masa yang akan datang, adalah
termasuk di antara tanda-tanda terperdaya [oleh syetan].”
[فَائِدَةٌ] قَالَ بَعْضُهُمْ: مَحَبَّةُ
اللهِ عَلَى عَشَرَةِ مَعَانٍ مِنْ جِهَةِ الْعَبْدِ.
(FAIDAH)
Sebagian ulama berkata: “Mencintai Allah terdiri atas 10 makna, dari sisi
[pribadi] seorang hamba.
أَحَدُهَا: أَنْ يَعْتَقِدَ أَنَّ اللهَ تَعَالَى
مَحْمُوْدٌ مِنْ كُلِّ وَجْهٍ وَ بِكُلِّ صِفَةٍ مِنْ صِفَاتِهِ.
Makna
yang pertama adalah seorang hamba harus meyakini bahwa Allah ta‘ālā adalah Dzat
terpuji dari setiap sisi [bentuk keterpujian], dan di setiap sifat dari
berbagai sifat-Nya.
ثَانِيْهَا: أَنْ يَعْتَقِدَ أَنَّهُ مُحْسِنٌ إِلَى
عِبَادِهِ مُنْعِمٌ مُتَفَضِّلٌ عَلَيْهِمْ.
Makna
yang kedua adalah seorang hamba terus meyakini bahwa Allah adalah Dzat pemberi
kebaikan kepada para hamba-Nya, pemberi karunia, lagi pemberi keutamaan kepada
mereka.
ثَالِثُهَا: أَنْ يَعْتَقِدَ أَنَّ الْإِحْسَانَ
مِنْهُ إِلَى الْعَبْدِ أَكْبَرُ وَ أَجَلُّ مِنْ أَنْ يُقَابَلَ بِقَوْلٍ أَوْ
عَمَلٍ مِنْهُ وَإِنْ حَسُنَ وَ كَثُرَ.
Makna
yang ketiga adalah seorang hamba harus meyakini bahwa kebaikan dari Allah
kepada seorang hamba itu lebih besar dan lebih agung, daripada balasan sepadan
si hamba, dengan ucapan atau perbuatan dari dirinya, meskipun bagus dan banyak.
رَابِعُهَا: أَنْ يَعْتَقِدَ قِلَّةَ قَضَايَاهُ
عَلَيْهِ وَ قِلَّةَ تَكَالِيْفِهِ.
Makna
yang keempat adalah seorang hamba harus meyakini perihal sedikitnya berbagai
ketentuan hukum Allah atas dirinya dan sedikitnya pembebanan kewajiban
dari-Nya.
خَامِسُهَا: أَنْ يَكُوْنَ فِيْ عَامَّةِ أَوْقَاتِهِ
خَائِفًا وَجَلًا مِنْ إِعْرَاضِهِ تَعَالَى عَنْهُ وَ سَلَبَ مَا أَكْرَمَهُ بِهِ
مِنْ مَعْرِفَةِ وَ تَوْحِيْدِ وَ غَيْرِهِمَا.
Makna
yang kelima adalah seorang hamba ada disepenuh waktu-waktunya dalam khawatir
dan takut, dari berpalingnya Allah ta‘ālā dari dirinya, dan tercabut sesuatu
yang telah Allah memuliakan dirinya dengan sesuatu itu, berupa ma‘rifat, dan
tauhid, dan selainnya.
سَادِسُهَا: أَنْ يَرَى أَنَّهُ فِيْ جَمِيْعِ
أَحْوَالِهِ وَ آمَالِهِ مُفْتَقِرًا إِلَيْهِ لَا غِنَى لَهُ عَنْهُ.
Makna
yang keenam adalah seorang hamba melihat bahwasanya dirinya di semua keadaan
dirinya dan harapan-harapannya adalah butuh kepada Allah, tidak merasa kaya
[tidak butuh] baginya terhadap Allah.
سَابِعُهَا: أَنْ يُدِيْمَ ذِكْرَهُ بِأَحْسَنِ مَا
يَقْدِرُ عَلَيْهِ مِنْهُ.
Makna
yang ketujuh adalah seorang hamba harus berkesenantiasaan untuk mengingat Allah
dengan sesuatu yang terbaik yang Allah sudah menakdirkan kepadanya akan hal
itu.
ثَامِنُهَا: أَنْ يَحْرِصَ عَلَى إِقَامَةِ
فَرَائِضِهِ وَ أَنْ يَتَقَرَّبَ إِلَيْهِ بِنَوَافِلِهِ بِقَدْرِ طَاقَتِهِ.
Makna
yang kedelapan adalah seorang hamba harus berambisi untuk melaksanakan berbagai
kefardhuan Allah, dan ia melakukan pendekatan diri kepada Allah dengan berbagai
ibadah sunnah, sesuai kadar kemampuannya.
تَاسِعُهَا: أَنْ يَسُرَّ أَيْ يَفْرَحَ بِمَا سَمِعَ
مِنْ غَيْرِهِ مِنْ ثَنَاءٍ عَلَيْهِ أَوْ تَقَرُّبٍ إِلَيْهِ وَ جِهَادٍ فِيْ
سَبِيْلِهِ سِرًّا وَ عَلَانِيَّةً نَفْسًا وَ مَالًا وَ وَلَدًا.
Makna
yang kesembilan adalah ia merasa senang, yakni ia merasa gembira dengan sesuatu
yang ia dengar mengenai apa yang terjadi pada orang lain, berupa pujian kepada
Allah, atau berupa pendekatan diri kepada Allah, dan berjihad di jalan Allah,
secara diam-diam dan terang-terangan, dengan jiwa, harta dan anaknya.
عَاشِرُهَا: إِنْ سَمِعَ مِنْ أَحَدٍ ذِكْرَ اللهِ
أَعَانَهُ.
Makna
yang kesepuluh adalah jika ia mendengar dari seseorang perihal upaya dzikir
kepada Allah, maka ia akan membantu orang itu.”
[تَنْبِيْهٌ] الصَّلَاةُ وَ الزَّكَاةُ وَ
الْحَيَاةُ إِذَا لَمْ تُضَفْ تُكْتَبُ بِالْوَاوِ عَلَى الْأَشْهَرِ اتِّبَاعًا
لِلْمَدُصْحَفِ
(PERINGATAN)
Lafazh ash-Shalātu, az-Zakātu, dan al-Ḥayātu apabila tidak
di-idhāfah-kan, maka ditulis dengan huruf wāwu, menurut pendapat yang paling
masyhur, karena mengikuti terhadap mushḥaf [al-Qur’ān].
وَ مِنَ الْعُلَمَاءِ مَنْ يَكْتُبُهَا بِالْأَلِفِ،
Namun
di antara para ulama ada seorang ulama yang menuliskannya dengan huruf alif
[bukan wāwu].
أَمَّا إِذَا أُضِيْفَتْ فَلَا يَجُوْزُ كِتَابَتُهَا
إِلَّا بِالْأَلِفِ سَوَاءٌ أُضِيْفَتْ إِلَى ظَاهِرٍ أَوْ مُضْمَرٍ كَمَا قَالَهُ
ابْنُ الْمَلْقَنِ.
Adapun
apabila di-idhāfah-kan, maka tidak diperbolehkan menuliskannya kecuali dengan
huruf alif. Sama
saja di-idhāfah-kan kepada isim zhāhir atau isim dhamīr, sebagaimana Syaikh
Ibn-ul-Malqan mengatakannya.
(وَ) ثَالِثُهَا (إِيْتَاءُ الزَّكَاةِ) أَيْ
إِعْطَاؤُهَا لِمَنْ وُجِدَ مِنَ الْمُسْتَحِقِّيْنَ فَوْرًا إِذَا تَمَكَّنَ مِنَ
الْأَدَاءِ مَعَ وُجُوْبِ التَّعْمِيْمِ
(Dan)
rukun Islam yang ketiga adalah (menunaikan zakat), yakni memberikan zakat
kepada orang yang didapati dari para mustaḥiqq [orang yang berhak menerima
zakat] dengan segera, apabila telah berpeluang leluasa untuk menunaikan, secara
kewajiban memeratakan.
وَ هُمْ ثَمَانِيَةُ أَنْوَاعٍ.
Dan
para mustaḥiqq
itu ada 8 golongan:
الْأَوَّلُ: فَقِيْرٌ وَ حَدُّهُ: هُوَ الَّذِيْ لَا
مَالَ لَهُ أَصْلًا وَ لَا كَسْبَ كَذلِكَ حَلَالَيْنِ
Yang
pertama adalah orang faqīr. Dan batasan faqīr adalah orang yang tidak memiliki
harta sama sekali, dan tidak punya usaha demikian pula [sama sekali], yang
keduanya [harta dan usaha yang] halal.
وَ الْمُرَادُ بِالْكَسْبِ هُنَا هُوَ طَلَبُ
الْمَعِيْشَةِ
Dan
yang dimaksud dengan usaha di sini adalah mencari penghidupan.
أَوْ لَهُ مَالٌ فَقَطْ حَلَالٌ لَا يَسُدُّ مِنْ
جُوْعَتِهِ مَسَدًّا مِنْ كِفَايَةِ الْعُمُرِ الْغَالِبِ عَلَى الْمُعْتَمِدِ
عِنْدَ تَوْزِيْعِهِ عَلَيْهِ إِنْ لَمْ يَتَّجِرْ فِيْهِ بِحَيْثُ لَا يَبْلُغُ
النِّصْفَ
Atau
[faqīr] adalah ia memiliki harta yang halal saja, yang tidak dapat menutupi
akan rasa laparnya, dengan penutupan yang mencukupi [guna menyambung] umur
secara umum, menurut pendapat al-Mu’tamad [yang dijadikan pegangan hukum]
ketika dibagi-bagikan harta miliknya itu untuk keperluan tersebut, jika ia
tidak memperniagakan pada hartanya itu, dengan sekiranya hartanya itu tidak
mencapai setengah [kebutuhannya].
كَأَنْ يَحْتَاجَ إِلَى عَشَرَةِ دَرَاهِمَ، وَ لَوْ
وُزِّعَ الْمَالُ الَّذِيْ عِنْدَهُ عَلَى الْعُمُرِ الْغَالِبِ لَخَصَّ كُلَّ
يَوْمٍ أَرْبَعَةً أَوْ أَقَلَّ
seperti
ia membutuhkan 10 dirham, dan jikalau telah dibagi-bagi harta yang menjadi
miliknya untuk [menyambung] umur secara umum, pastilah terbatasi setiap hari
[terpastikan terpenuhi kebutuhannya] sebanyak 4 dirham saja atau kurung.
بِخِلَافِ مَنْ قَدَّرَ عَلَى نِصْفِ كَافِيْهِ
فَإِنَّهُ مِسْكِيْنٌ،
Berbeda
halnya dengan orang yang mampu dengan setengah [kebutuhannya] yang
mencukupinya, maka orang itu adalah orang miskīn.
وَ أَمَّا إِنِ اتَّجَرَ فَالْعِبْرَةُ بِكُلِّ
يَوْمٍ
Dan
adapun jika ia berdagang, maka yang diperhitungkan adalah [pendapatan] di
setiap harinya.
أَوْ لَهُ كَسْبٌ فَقَطْ حَلَالٌ لاَئِقٌ بِهِ لَا
يَسُدُّ مَسَدًّا مِنْ كِفَايَتِهِ كُلَّ يَوْمٍ
Atau
[faqīr adalah] ia memiliki pekerjaan halal saja yang layak baginya, yang tidak
dapat menutupi [kebutuhan] dengan penutupan [kebutuhan dari standar]
kecukupannya di setiap harinya.
كَمَنْ يَحْتَاجُ إِلَى عَشَرَةٍ وَ يَكْتَسِبُ كُلَّ
يَوْمٍ أَرْبَعَةً فَأَقَلَّ
Seperti
orang yang membutuhkan 10 dirham, dan ia memperoleh [hasil kerja] di setiap
harinya sebanyak 4 dirham atau kurang.
أَوْ لَهُ كُلٌّ مِنْهُمَا وَ لَا يَسُدُّ
مَجْمُوْعُهُمَا مَسَدًّا مِنْ كِفَايَتِهِ.
Atau
[faqīr adalah] ia memiliki masing-masing dari dua hal itu [harta dan hasil
pekerjaan], namun tidak dapat menutupi harta gabungan dua hal itu dengan
penutupan [kebutuhan standar] dari kecukupannya.
وَ الثَّانِيْ: مِسْكِيْنٌ وَ هُوَ مَنْ قَدَرَ عَلَى
مَالٍ أَوْ كَسْبٍ أَوْ عَلَيْهِمَا مَعًا
Dan
yang kedua adalah orang miskīn, yaitu orang yang mampu untuk mendapatkan harta
atau [penghasilan dari] pekerjaan, atau akan dua hal itu secara bersamaan,
يَسُدُّ كُلٌّ مِنْهُمَا أَوْ مَجْمُوْعُهُمَا مِنْ
جُوْعَتِهِ مَسَدًّا مِنْ حَيْثُ يَبْلُغُ النِّصْفَ فَأَكْثَرَ وَ لَا يَكْفِيْهِ
yang
dapat menutupi masing-masing dari dua hal itu [harta atau pekerjaan], atau
gabungan dari dua hal itu, dari kelaparannya dengan penutupan [kebutuhan
standar umum] dengan sekiranya [harta dan penghasilan itu] mencapai setengah
[kebutuhannya] atau lebih, namun tidak mencukupinya.
كَمَنْ يَحْتَاجُ إِلَى عَشَرَةٍ وَ لَا يَمْلِكُ
أَوْ لَا يَكْتَسِبُ إِلَّا خَمْسَةً أَوْ تِسْعَةً وَ لَا يَكْفِيْهِ إِلَّا
عَشَرَةٌ،
seperti
seorang yang membutuhkan 10 dirham, namun ia tidak memiliki, atau ia tidak
dapat memperoleh [dari hasil kerja], kecuali hanya 5 dirham atau 9 dirham, dan
tidak mencukupinya, kecuali oleh 10 dirham.
وَ يَمْنَعُ فَقْرَ الشَّخْصِ وَ مِسْكِنَتَهُ
كِفَايَتُهُ بِنَفَقَةِ الزَّوْجِ أَوِ الْقَرِيْبِ الَّذِيْ يَجِبُ الْإِنْفَاقُ
عَلَيْهِ كَأَبٍ وَ جَدٍّ لَا نَحْوِ عَمٍّ وَ كَذَا اشْتِغَالُهُ بِنَوَافِلِ وَ
الْكَسْبُ يَمْنَعُهُ مِنْهَا فَإِنَّهُ يَكُوْنُ غَنِيًّا
Dan
menghalangi terhadap kategori faqīr–nya seseorang atau miskīn-nya, oleh tercukupi dirinya dengan
sebab nafkah suami, atau kerabatnya yang wajib memberi nafkah kepadanya,
seperti bapak dan kakeknya, bukan [nafkah dari] seumpama paman.
وَ لَا يَمْنَعُ ذلِكَ اشْتِغَالُهُ بِعِلْمٍ
شَرْعِيٍّ أَوْ عِلْمِ آلَاتٍ، وَ الْكَسْبُ يَمْنَعُهُ
Namun
tidak menghalangi akan hal itu [tergolong faqīr atau miskīn oleh kesibukan seseorang dengan
ilmu syarī‘at atau ilmu alat, sedangkan bekerja menjadi penghalang baginya.
لِأَنَّهُ فَرْضُ كِفَايَةٍ إِذَا كَانَ زَائِدًا
عَنْ عِلْمِ الْحَالَاتِ وَ إِلَّا فَهُوَ فَرْضُ عَيْنٍ كَمَا بَيَّنَ ذلِكَ
شَيْخُنَا أَحْمَدُ النَّحْرَاوِيُّ،
karena
sesungguhnya hal itu [sibuk mempelajari ilmu syarī‘at] adalah fardhu kifāyah,
apabila keadaannya telah melebihi dari ilmu syarī‘at yang harus di kuasai
segera, dan jika tidak [belum mencapai standar ilmu syarī‘at yang dibutuhkannya
segera], maka menuntut ilmu itu adalah fardhu ‘ain, sebagaimana telah
dijelaskan hal oleh guru kami, Syaikh Ahmad an-Nahrāwī.
وَ لَا يَمْنَعُ ذلِكَ أَيْضًا مَسْكَنُهُ وَ
خَادِمُهُ وَ ثِيَابٌ وَ كُتُبٌ لَهُ يَحْتَاجُهَا وَ مَالٌ لَهُ غَائِبٌ
بِمَرْحَلَتَيْنِ
Dan
tidak menghalangi akan hal itu juga [tergolong faqīr atau miskīn] oleh rumah
yang dimilikinya, para pembantunya, pakaian dan kitab-kitab yang dimilikinya,
yang ia membutuhkan semua itu, dan harta yang ghaib [tidak ada padanya yang
berada] di jarak dua marḥalah [±88.7 km].
أَوْ مُؤَجَّلٌ فَيُعْطَى مَا يَكْفِيْهِ إِلَى أَنْ
يَصِلَ مَالُهُ أَوْ يَحُلَّ الْأَجَلُ لِأَنَّهُ الْآنَ فَقِيْرٌ أَوْ مِسْكِيْنٌ.
atau
hutang bertempo, maka ia dapat diberikan sesuatu [bagian zakat] yang
mencukupinya, sampai datang hartanya, atau sampai lunas hutang bertemponya itu,
karena sesungguhnya ia saat ini [dikategorikan] sebagai orang faqīr atau orang
miskīn.
وَ الثَّالِثُ: عَامِلٌ كَسَاعٍ يَعْمَلُ فِيْ
أَخْذِهَا مِنْ أَرْبَابِ الْأَمْوَالِ وَ كَاتِبٍ يُكْتَبُ مَا أَعْطَاهُ
أَرْبَابُهَا
Dan
yang ketiga adalah ‘āmil [pengelola zakat], seperti: (1). penarik zakat, yang
bekerja untuk mengambil zakat dari para pemilik harta, dan (2). penulis yang
mencatat zakat yang diberikan oleh para pemilik harta.
وَ قَاسِمِ يَقْسِمُهَا عَلَى الْمُسْتَحِقِّيْنَ وَ
حَاشِرِ يَجْمَعُ الْمِلَاكَ أَوْ ذَوِي السَّهْمَانِ لَا قَاضٍ وَ وَالٍ.
dan
(3). pembagi zakat yang membagikan zakat kepada orang-orang yang berhak
menerimanya, dan (4). pengumpul yang mengumpulkan para pemilik harta atau
pemilik bagian wajib zakat, yang bukan seorang qadhi dan aparat pemerintah
[penguasa].
وَ الرَّابِعُ: الْمُؤَلَّفَةُ إِنْ قَسَمَ
الْإِمَامُ وَ هُمْ أَرْبَعَةٌ: مَنْ أَسْلَمَ وَ لكِنَّهُ ضَعِيْفُ يَقِيْنٍ وَ
هُوَ الْإيْمَانُ
Yang
keempat adalah para mu’allaf, jika seorang Imam membagikannya, dan mereka itu
ada empat macam. (1). Orang yang telah masuk Islam, akan tetapi lemah
keyakinannya, yaitu [lemah] imannya,
أَوْ قَوِيُّهُ وَ لكِنْ لَهُ شَرَفٌ فِيْ قَوْمِهِ
يُتَوَقَّعُ بِإِعْطَائِهِ إِسْلَامُ غَيْرِهِ مِنَ الْكُفَّارِ
atau
(2). Orang yang kuat keyakinannya, akan tetapi ia memiliki kedudukan mulia di
kaumnya, yang dapat diharapkan dengan memberikan zakat kepadanya [akan masuk]
Islam selainnya, dari orang-orang kafir,
أَوْ مَنْ يَكْفِيْنَا شَرُّ مَنْ يَلِيْهِ مِنَ
الْكُفَّارِ
atau
(3). Orang yang dapat membela kita akan kejahatan orang yang berdekatan
dengannya, dari kalangan orang kafir.
وَ مَنْ يَكْفِيْنَا شَرُّ مَانِعِي الزَّكَاةِ
dan
(4). Orang yang dapat membela kita dari kejahatan orang-orang yang menolak
[mengeluarkan] zakat.
فَهذَانِ الْقِسْمَانِ الْأَخِيْرَانِ إِنَّمَا
يُعْطَيَانِ إِذَا كَانَ إِعْطَاؤُهُمَا أَهْوَنَ عَلَيْنَا مِنْ تَجْهِيْزِ
جَيْشٍ نَبْعَثُهُ لِكُفَّارٍ أَوْ مَانِعِي الزَّكَاةِ
Maka
dua macam mu’allaf yang disebut diakhir ini, sesungguhnya keduanya diberikan
[zakat] apabila pemberian zakat kepada keduanya lebih ringan bagi kita [para
muslim] dibandingkan mempersiapkan pasukan yang kita mengirimnya untuk
menghadapi orang-orang kafir itu atau orang-orang yang menolak [membayar]
zakat.
أَمَّا الْقِسْمَانِ الْأَوَّلَانِ فَلَا يُشْتَرَطَ
فِيْ إِعْطَائِهِمَا ذلِكَ.
Adapun
dua macam mu’allaf yang disebut di awal, maka tidak disyaratkan hal itu dalam
pemberian zakat kepada keduanya.
وَ الْخَامِسُ: الرِّقَابُ وَ هُمُ الْمُكَاتِبُوْنَ
Dan
yang kelima adalah para budak, dan mereka adalah para budak mukātab [budak yang
berada dalam proses pembebasan dari tuannya dengan penggantian yang harus
dibayar oleh budak tersebut],
لِأَنَّ غَيْرَهُمْ مِنَ الْأَرِقَّاءِ لَا
يَمْلِكُوْنَ ذلِكَ
karena
sesungguhnya selain mereka di antara para budak lainnya tidak memiliki [hak]
menerima zakat tersebut,
إِذَا كَانُوْا لِغَيْرِ الْمُزَكِّي وَ لَوْ
لِنَحْوِ كَافِرٍ وَ هَاشِمِيٍّ وَ مُطَّلِبِيٍّ
apabila
keadaan para budak mukātab itu bukan milik penunai zakat, walaupun seumpama
dimiliki orang kafir, dan orang [yang bernasab] Hāsyimī dan orang [yang
bernasab] Muththalibī.
فَيُعْطَوْنَ مَا يُعِيْنُهُمْ عَلَى الْعِتْقِ إِنْ
لَمْ يَكُنْ مَعَهُمْ مَا يَفِيْ بِنُجُوْمِهِمْ وَ لَوْ بِغَيْرِ إِذْنِ
سَيِّدِهِمْ،
Maka
para budak mukātab itu diberikan bagian [zakat] yang dapat membantu mereka
untuk memerdekakan diri, jika tidak terdapat bersama mereka sesuatu yang dapat
melunasi cicikan mereka, walaupun tanpa seizin tuan mereka.
وَ يُشْتَرَطُ كَوْنُ الْكِتَابَةِ صَحِيْحَةً بِأَنْ
تَسْتَوْفِيَ شُرُوْطَهَا وَ أَرْكَانَهَا،
Dan
disyaratkan bahwa keadaan akad kitābah [perjanjian pembebasan budak mukātab]
itu sah dengan sekiranya terpenuhi syarat-syaratnya dan rukun-rukunnya.
فَأَرْكَانُهَا أَرْبَعَةٌ:
Adapun
rukun-rukan akad kitābah itu ada empat.
أَحَدُهَا رَقِيْقٌ وَ شُرِطَ فِيْهِ اخْتِيَارٌ وَ
عَدَمُ صِبًا وَ جُنُوْنٍ وَ أَنْ لَا يَتَعَلَّقَ بِهِ حَقٌّ لَازِمٌ
كَالْمَرْهُوْنِ.
Rukun
yang pertama adalah berstatus budak, dan disyaratkan pada status budak itu
kesukarelaan [tidak dipaksa], dan tidak berusia kanak-kanak, dan tidak gila,
dan tidak terkait dengan budak itu, suatu hak lain yang masih berketetapan,
seperti digadaikan.
وَ ثَانِيْهَا: صِيْغَةٌ وَ شُرِطَ فِيْهَا لَفْظٌ
يُشْعِرُ بِالْكِتَابَةِ إِيْجَابًا
Dan
rukun yang kedua adalah shīghah, dan disyaratkan dalam shīghah itu berupa
ucapan yang memberitahukan akan akad kitābah, dengan kalimat penyerahan,
كَكَاتَبْتُكَ أَوْ أَنْتَ مُكَاتَبٌ عَلَى
دِيْنَارَيْنِ تَأْتِيْ بِهِمَا فِيْ شَهْرَيْنِ فَإِنْ أَدَّيْتَهُمَا إِلَيَّ
فَأَنْتَ حُرٌّ
seperti
[ucapan si tuan]: “Aku mengadakan akad kitābah denganmu”, atau “engkau adalah
seorang budak mukatab dengan dua dinar yang dapat engkau bayarkan 2 dinar itu
dalam dua bulan, lalu jika engkau dapat menunaikannya kepadaku, maka engkau
adalah orang yang merdeka”,
وَ قَبُوْلًا كَقَبِلْتُ ذلِكَ.
dan
dengan kalimat penerimaan, seperti [si budak berkata]: “Aku terima hal itu.”
وَ ثَالِثُهَا: عِوَضٌ وَ شُرِطَ فِيْهِ كَوْنُهُ
دَيْنًا أَوْ مَنْفَعَةً مُؤَجَّلًا بِنَجْمَيْنِ فَأَكْثَرَ وَ لَا يَجُوْزُ
أَقَلَّ مِنْ نَجْمَيْنِ
Dan
rukun yang ketiga adalah ganti-rugi, dan disyaratkan dalam ganti-rugi
keadaannya berupa hutang atau manfaat, yang dibuat bertempo dengan 2 kali
angsuran atau lebih, dan tidak boleh kurang dari 2 kali angsuran,
وَ لَا بُدَّ مِنْ بَيَانِ قَدْرِ الْعِوَضِ وَ
صِفَاتِهِ وَ عَدَدَ النُّجُوْمِ وَ قِسْطِ كُلِّ نَجْمٍ
dan
tidak boleh tidak, mesti menjelaskan ukuran ganti-rugi dan sifat-sifatnya, dan
jumlah angsuran dan nominal cicilan di setiap angsuran.
وَ رَابِعُهَا: سَيِّدٌ وَ شُرِطَ فِيْهِ كَوْنُهُ
مُخْتَارًا أَهْلَ تَبَرُّعٍ وَ وَلَاءٍ
Dan
rukun yang keempat adalah tuan [pemilik budak], disyaratkan pada si tuan
keadaannya sebagai orang yang sukarela [tidak terpaksa], berkelayakan dalam
berderma, dan berhak melakukan pemerdekaan budak.
فَلَا تَصِحُّ مِنْ مُكْرَهٍ وَ مُكَاتِبٍ وَ إِنْ
أَذِنَ لَهُ سَيِّدُهُ،
Maka
tidak sah akad kitābah dari orang yang dipaksa dan dari seorang budak mukātab,
meskipun tuannya telah memberi izin kepadanya.
وَ لَا مِنْ صَبِيٍّ وَ مَجْنُوْنٍ وَ مَحْجُوْرٍ
سَفَهٍ وَ أَوْلِيَائِهِمْ لَا مِنْ مَحْجُوْرٍ فَلَسٍ
Dan
tidak sah [akad kitābah] dari kanak-kanak, dan orang gila, dan mahjūr [orang
yang dilarang menggunakan hartanya] karena bodoh dan para wali mereka, bukan
mahjūr karena bangkrut.
وَ لَا مِنْ مُرْتَدٍّ لِأَنَّ مِلْكَهُ مَوْقُوْفٌ،
Dan
tidak sah [akad kitābah] dari orang murtad, karena sesungguhnya harta milik
orang murtad itu menjadi barang sitaan.
وَ يَجُوْزُ صَرْفُ الزَّكَاةِ إِلَيْهِمْ قَبْلَ
حُلُوْلِ النُّجُوْمِ عَلَى الْأَصَحِّ،
Dan
boleh menyerahkan zakat kepada para budak mukātab sebelum jatuh tempo angsuran,
menurut pendapat yang paling shaḥīḥ.
وَ لَا يَجُوْزُ صَرْفُ ذلِكَ إِلَى سَيِّدِهِمْ
إِلَّا بِإِذْنِ الْمُكَاتَبِيْنَ،
Namun
tidak boleh menyerahkan zakat itu kepada tuan mereka, kecuali dengan izin dari
para budak mukātab tersebut,
لكِنْ إِنْ دُفِعَ إِلَى السَّيِّدِ سَقَطَ عَنِ
الْمُكَاتِبِ بِقَدْرِ الْمَصْرُوْفِ إِلَى السَّيِّدِ
akan
tetapi jika zakat itu telah diserahkan kepada si tuan, maka gugur [senilai
cicilan] dari budak mukātab itu, dengan seukuran bagian zakat yang telah
diserahkan kepada si tuan,
لِأَنَّ مَنْ أَدَّى دَيْنَ غَيْرِهِ بِغَيْرِ
إِذْنِهِ بَرِئَتْ ذِمَّتُهُ
karena
sesungguhnya siapa saja yang telah menunaikan hutang orang lain, tanpa izin
orang itu, maka telah lepas tanggung jawab orang lain itu.
أَمَّا الْمُكَاتِبُ كِتَابَةً فَاسِدَةً وَ هُوَ
مَنْ لَمْ يَسْتَوْفِ تِلْكَ الْأَرْكَانَ وَ الشُّرُوْطَ فَلَا يُعْطِيْ شَيْئًا
مِنَ الزَّكَاةِ.
Adapun
budak mukātab dengan akad kitābah yang rusak, yaitu budak yang tidak dapat
memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat akad itu, maka ia tidak dapat diberikan
sesuatupun dari bagian zakat.
وَ السَّادِسُ: الْغَارِمُ وَ هُوَ ثَلَاثَةٌ
Dan
yang keenam adalah orang yang berhutang, dan orang tersebut ada tiga macam.
مَنْ تَدَايَنَ لِنَفْسِهِ فِيْ أَمْرٍ مُبَاحٍ
طَاعَةً كَانَ أَوْ لَا وَ إِنْ صَرَّفَ فِيْ مَعْصِيَةٍ
Orang
yang berhutang untuk dirinya dalam urusan yagn diperbolehkan, baik berupa
ketaatan ataupun bukan, meskipun ia membelanjakannya di dalam kemaksiatan.
أَوْ فِيْ غَيْرِ مُبَاحٍ كَخَمْرٍ وَ تَابَ وَ ظُنَّ
صِدْقُهُ فِيْ تَوْبَتِهِ، أَوْ صَرَّفَهُ فِيْ مُبَاحٍ
atau
[berhutang] untuk perkara yang tidak diperbolehkan, seperti [membeli] arak,
namun ia telah tobat dan diyakini kebenarannya dalam taubatnya itu, atau ia
membelanjakannya pada perkara yang diperbolehkan,
فَيُعْطَى مَعَ الْحَاجَةِ بِأَن يَحُلَّ الدِّيْنُ
وَ لَا يَقْدِرُ عَلَى وَفَائِهِ
maka
ia diberikan [zakat] menyertai kebutuhannya, dengan sekiranya tiba jatuh tempo
[pembayaran] hutang, dan ia tidak mampu untuk membayarnya.
أَوْ تَدَايَنَ لِإِصْلَاحِ ذَاتِ الْحَالِ بَيْنَ
الْقَوْمِ كَأَنْ خَافَ فِتْنَةً بَيْنَ قَبِيْلَتَيْنِ تَنَازَعَتَا بِسَبَبِ
قَتِيْلٍ وَ لَوْ غَيْرَ آدَمِيٍّ بَلْ وَ لَوْ كَلْبًا
Atau
orang yang berhutang untuk mendamaikan suatu kondisi di antara kaum, seperti
dikhawatirkan terjadi gejolak di antara dua suku yang saling berseteru, dengan
sebab sesuatu yang terbunuh, walaupun bukan manusia, bahkan walaupun berupa
anjing,
فَتَحَمَّلَ دَيْنًا تَسْكِيْنًا لِلْفِتْنَةِ
فَيُعْطَى وَ لَوْ غَنِيًّا،
lalu
ia menanggung hutang, guna menenangkan terhadap gejolak itu, maka ia berhak
diberikan zakat, walaupun ia orang yang kaya.
أَوْ تَدَايَنَ لِضَمَانٍ فَيُعْطَى إِنْ أَعْسَرَ
مَعَ الْأَصِيْلِ وَ إِنْ لَمْ يَكُنْ مُتَبَرِّعًا بِالضَّمَانِ
Atau
orang yang berhutang karena penjaminan, maka ia diberikan zakat, jika ia
sengsara beserta orang tuanya, meskipun dirinya tidak sebagai penderma dengan
penjaminan tadi,
أَوْ أَعْسَرَهُ وَحْدَهُ وَ كَانَ مُتَبَرِّعًا
بِالضَّمَانِ
atau
ia sengsara sendirian, dan keadaannya sebagai orang yang berderma dengan
penjaminan itu.
بِخِلَافِ مَا إِذَا ضَمِنَ بِالْإِذْنِ.
Berbeda
dengan perkara, apabila ia melakukan perjaminan dengan izin.
وَ السَّابِعُ: سَبِيْلُ اللهِ وَ هُمُ الْغُزَاةُ
الْمُتَطَوِّعُوْنَ بِالْجِهَادِ
Dan
yang ketujuh adalah sabīlillāh dan mereka adalah orang-orang yang berperang
yang menjalankan ketaatan dengan ber-jihād [berjuang membela Islam],
أَيِ الَّذِيْنَ لَا رِزْقَ لَهُمْ فِي الْفَيْءِ
فَيُعْطَوْنَ وَ لَوْ أَغْيِنَاءَ إِعَانَةً لَهُمْ عَلَى الْغَزْوِ.
yakni
pelaku jihād yang tidak ada rezeki [tidak mendapat bagian] bagi mereka pada
harta fai, maka mereka diberikan zakat, walaupun berupa orang-orang kaya,
lantaran memberi bantuan bagi mereka untuk berperang.
وَ الثَّامِنُ: ابْنُ السَّبِيْلِ وَ هُوَ عَلَى
قِسْمَيْنِ:
Dan
yang kedelapan adalah Ibnu Sabīl, yaitu terdiri atas dua bagian.
مَجَازِيٍّ وَ هُوَ مُنْشِىْءُ سَفَرٍ مِنْ بَلَدِ
مَالِ الزَّكَاةِ
(1).
Majāzī yaitu seorang yang baru akan mengadakan perjalanan [berangkat] dari
negeri [penyaluran] harta zakat.
وَ حَقِيْقِيٍّ وَ هُوَ مَارٌّ بِبَلَدِ الزَّكَاةِ
فِيْ سَفَرِهِ
Dan
(2). Ḥaqīqī
(hakiki) yaitu orang yang lewat di negeri [penyaluran] zakat dalam
perjalanannya.
وَ ذلِكَ إِنِ احْتَاجَ بِأَنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ
مَا يُوْصِلُهُ مَقْصَدَهُ أَوْ مَالَهُ
Dan
hal [pemberian zakat] itu, jika ibnu sabīl itu membutuhkan, seumpama tidak
terdapat bersamanya sesuatu [bekal] yang dapat mengantarkannya ke tempat
tujuannya, atau [ke tempat] hartanya [benda].
فَيُعْطَى مَنْ لَا مَالَ لَهُ أَصْلًا،
Maka
bagian zakat diberikan kepada orang yang tidak memiliki harta sama sekali.
وَ كَذَا مَنْ لَهُ مَالٌ فِيْ غَيْرِ الْبَلَدِ
الْمُنْتَقَلِ إِلَيْهِ بِشَرْطِ أَنْ لَا يَكُوْنَ سَفَرُهُ مَعْصِيَةً،
Dan
begitu pula [diberikan bagian zakat] kepada orang yang memiliki harta di selain
negeri yang dipindahinya [ditinggalkannya itu], dengan syarat bahwa
bepergiannya itu bukan suatu kemaksiatan.
قَالَ فِي الْمِصْبَاحِ: وَ قِيْلَ لِلْمُسَافِرِ
ابْنُ السَّبِيْلِ لِتَلَبُّسِهِ بِهِ أَيْ بِالسَّبِيْلِ وَ الطَّرِيْقِ،
Telah
berkata [Syaikh Aḥmad
al-Muqrī] di dalam kitab al-Mishbāḥ: Dikatakan bagi musafir sebagai
ibnu sabīl [anak jalan] karena terkait erat dirinya dengannya, yakni dengan
jalan dan jalanan.
قَالُوْا: وَ الْمُرَادُ بِابْنِ السَّبِيْلِ فِي
الْآيَةِ مَنِ انْقَطَعَ عَنْ مَالِهِ انْتَهَى.
Para
ulama berkata: “Yang dimaksud dengan ibnu sabīl dalam ayat [al-Qur’ān] adalah
orang yang terputus dari hartanya.” selesai al-Mishbāḥ.
[خَاِتَمةٌ] وَ شَرْطُ آخِذِ الزَّكَاةِ مِنْ
هذِهِ الثَّمَانِيَةِ حُرِّيَّةٌ وَ إِسْلَامٌ وَ أَنْ لَا يَكُوْنَ هَاشِمِيًّا
وَ لَا مُطَّلِبِيًّا
(PENUTUP)
Dan syarat pengambil zakat dari 8 golongan ini, adalah harus merdeka dan
beragama Islam, dan keadaan dirinya bukan keturunan Hāsyim dan Muththalib,
لِقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: “إِنَّ
هذِهِ الصَّدَقَةَ أَوْسَاخُ النَّاسِ وَ إِنَّهَا لَا تَحِلُّ لِمُحَمَّدٍ وَ لَا
لِآلِ مُحَمَّدٍ”
Berdasarkan
sabda Nabi s.a.w.: “Sesungguhnya shadaqah [zakat] ini adalah kotoran-kotoran
manusia, dan sesungguhnya shadaqah [zakat] tidak halal bagi Muḥammad dan
keluarga Muḥammad.”
وَ وَضَعَ الْحَسَنُ فِيْ فِيْهِ تَمْرَةً أَيْ مِنْ
تَمْرِ الصَّدَقَةِ فَنَزَعَهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ
بِلُعَابِهِ وَ قَالَ: كِخْ كِخْ إِنَّا آلُ مُحَمَّدٍ لَا تَحِلُّ لَنَا
الصَّدَقَاتُ.
Dan
Sayyidinā Ḥasan
pernah meletakkan sebutir korma di dalam mulutnya, yakni dari korma shadaqah,
lalu Rasūlullāh s.a.w. menarik keluar korma itu berikut ludah Sayyidinā Ḥasan, dan
beliau bersabda: “Kikh, kikh, sesungguhnya kita, keluarga Muḥammad,
tidak halal bagi kita berbagai shadaqah [zakat] itu.”
وَ مَعْنَى أَوْسَاخُ النَّاسِ لِأَنَّ بَقَاءُهَا
فِي الْأَمْوَالِ يُدْنِسُهَا كَمَا يُدْنِسُ الثَّوْبَ الْوَسَخُ.
Dan
pengertian kotoran-kotoran manusia adalah karena masih tersisanya [sekedar
harta yang wajib] zakat di dalam harta-harta itu dapat mengotori harta
tersebut, sebagaimana dapat terkotori pakaian oleh kotoran.
وَ قَوْلُهُ: كِخْ كِخْ كَمَا قَالَ الصَّبَّانُ
نَقْلًا عَنِ ابْنِ قَاسِمٍ هُوَ بِكَسْرِ الْكَافِ وَ تَشْدِيْدِ الْخَاءِ
سَاكِنَةً وَ مَكْسُوْرَةً.
Dan
sabda Nabi: “Kikh, kikh”, sebagaimana telah berkata Syaikh ash-Shabbān, dengan
mengutip dari Syaikh Ibnu Qāsim: “Kalimat kikh dengan di-kasrah-kan huruf
kāf-nya, dan ber-tasydīd huruf khā’-nya, dengan tidak ber-ḥarakat
(sukūn), dan bisa pula dengan ber-ḥarakat kasrah.”
وَ عَنِ الْقَامُوْسِ جَوَازُ تَخْفِيْفِ الْخَاءِ وَ
جَوَازُ تَنْوِيْنِهَا وَ جَوَازُ فَتْحِ الْكَافِ
Dan
dari al-Qāmūs [disebutkan]: “Diperbolehkan meringankan [tidak di-tasydīd] huruf
khā’-nya, dan diperbolehkan men-tanwīn-kannya, dan diperbolehkan mem-fatḥah-kan
huruf kāf-nya.”
وَ هِيَ اسْمُ صَوْتٍ وُضِعَ لِزَجْرِ الطِّفْلِ عَنْ
تَنَاوُلِ شَيْءٍ،
Dan
kalimat kikh adalah isim shaut [sebutan untuk suara tertentu] yang difungsikan
untuk melarang anak kecil dari meraih sesuatu.
وَ نُقِلَ عَنِ الْأُصْطُخْرِيِّ الْقَوْلُ بِجَوَازِ
صَرْفِ الزَّكَاةِ إِلَى بَنِيْ هَاشِم ٍوَ بَنِي الْمُطَّلِبِ عِنْدَ مَنْعِهِمْ
مِنْ خُمُسِ الْخُمُسِ.
Dan
dikutip dari Syaikh al-Ushtukhrī sebuah pendapat mengenai dibolehkan
menyalurkan zakat kepada Bani Hāsyim dan Bani Muththalib, ketika terhalangnya
mereka dari mendapatkan khumus-ul-khumus [hak mereka 4% dari ghanimah dan 4%
dari harta fai].
قَالَ الْبَيْجُوْرِيُّ: وَ لَا بَأْسَ بِتَقْلِيْدِ
الْأُصْطُخْرِيِّ فِيْ قَوْلِهِ الْآنَ لِاحْتِيَاجِهِمْ،
Syaik
al-Baijūrī berkata: “Tidaklah buruk dengan mengikuti Syaikh al-Ushthukhrī pada
pendapatnya itu, sekarang ini, karena butuhnya mereka [Bani Hāsyim dan Bani
Muththalib] tersebut.”
وَ كَانَ الشَّيْخُ مُحَمَّدٌ الْفَضَالِيُّ رَحِمَهُ
اللهُ يُمِيْلُ إِلَى ذلِكَ مَحَبَّةً فِيْهِمْ نَفَعَنَا اللهُ بِهِمْ.
Dan
adalah Syaikh Muḥammad
al-Fadhālī raḥimahullāh
berkecendrungan [mengikuti] kepada pendapat tersebut, karena cinta terhadap
Bani Hāsyim dan Bani Muththalib, semoga Allah memberi manfaat kepada kita
dengan sebab mereka.
(وَ) رَابِعُهَا (صَوْمُ رَمَضَانَ)
(Dan) rukun Islam yang keempat adalah (berpuasa di bulan Ramadhān).
وَ فُرِضَ فِيْ شَعْبَانَ مِنَ السُّنَّةِ
الثَّانِيَةِ مِنَ الْهِجَرَةِ فَصَامَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ تِسْعَ
رَمَضَانَاتٍ وَاحِدًا كَامِلًا وَ ثَمَانِيَةً نَوَاقِصَ.
Dan
puasa Ramadhān diwajibkan pada bulan Sya‘bān di tahun kedua dari hijrah [2 H.] Maka
Nabi s.a.w. berpuasa sebanyak 9 kali Ramadhān, satu kali Ramadhān secara
sempurna [genap 30 hari] dan delapan kali Ramadhān secara kurang [hanya 29
hari].
[تَنْبِيْهٌ] اِعْلَمْ أَنَّ رَمَضَانَ
غَيْرُ مُنْصَرِفٍ لِلْعَلَمِيَّةِ إِلَّا إِنْ كَانَ الْمُرَادُ بِهِ كُلَّ
رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ تَعْيِيْنٍ وَ إِذَا أُرِيْدَ بِهِ ذلِكَ صُرِفَ لِأَنَّهُ
نَكِرَةٌ، وَ بَقَاءُ الْأَلِفِ وَ النُّوْنِ الزَّائِدَتَيْنِ لَا يَقْتَضِيْ
مَنْعَهُ مِنَ الصَّرْفِ كَمَا قَالَ الشَّرْقَاوِيُّ،
(Peringatan)
Ketahuilah bahwa lafazh Ramadhān adalah isim ghairu munsharif [tidak bertawin]
karena sebagai isim ‘alam, kecuali jika yang memaksudkan dengan lafazh Ramadhān
kepada seluruh Ramadhān, dengan tanpa menentukan. Dan apabila yang dimaksud
dengannya adalah demikian, maka lafazh Ramadhān menjadi munsharif (bertawin),
karena sesungguhnya lafazh tersebut adalah isim nakirah. Dan masih tetapnya
huruf alif dan nūn, yang keduanya sebagai tambahan tidak dapat menyebabkan
terhalangnya lafazh tersebut dari menerima tanwin, sebagaimana Syaikh
asy-Syarqāwī berpendapat.
وَ قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ الْحَرِيْرِيُّ فِيْ
كِتَابِهِ بِنْتُ اللَّيْلَةِ مِنْ بَحْرِ الرَّجَزِ:
Telah
berkata Syaikh Abul-Qāsim al-Ḥarīrī di dalam kitab beliau,
Bint-ul-Lailah, berupa Baḥr-ur-Rajaz:
وَ مِنْهُ مَا جَاءَ عَلَى
فَعْلَانَا عَلَى اخْتِلَافِ فَائِهِ أَحْيَانَا
Dan termasuk isim ghairu
munsharif adalah lafazh yang datang mengikuti wazan fa‘lāna, Dengan berbeda-beda harokat pada
fā’-nya sewaktu-waktu.
تَقُوْلُ مَرْوَانُ أَتَى
كِرْمَانَا وَ رَحْمَةُ اللهِ عَلَى عُثْمَانَا
Engkau berkata: “Marwānu atā kirmāna
[Marwan mendatangi si Kirmana],
Wa raḥmatullāhi ‘alā
‘utsmāna [Dan rahmat Allah semoga tercurah atas ‘Utsman].”
فَهذِهِ إِنْ عُرِّفَتْ لَمْ
تَنْصَرِفْ وَ مَا أَتَى مُنَكَّرًا مِنْهَا صُرِفْ
Maka kalimat isim yang mengikuti
wazan fa‘lāna ini jika dibuat isim ma‘rifat, tidak boleh di-tawīn-kan, Dan kalimat yang datang dengan
bentuk isim nakirah dari kalimat-kalimat tersebut boleh di-tanwīn-kan.
قَالَ عَبْدُ اللهِ الْفَاكِهِيُّ: أَيْ وَ مِنْ
غَيْرِ الْمُنْصَرِفِ الْعَلَمُ الْمَزِيْدُ فِيْ آخِرِهِ أَلِفٌ وَ نُوْنٌ
الْجَائِيْ عَلَى وَزْنِ فَعْلَانَ مُثَلَّثَ الْفَاءِ كَمَرْوَانَ وَ كِرْمَانَ
وَ عُثْمَانَ
Syaikh
‘Abdullah al-Fakihi berkata: “Maksudnya adalah, di antara isim ghairu munsharif
adalah isim ‘alam yang ditambahkan huruf alif dan nūn di akhir kalimatnya, yang
datang mengikuti wazan fa‘lāna dengan diharakati tiga macam huruf fā’-nya [fatḥah,
dhammah dan kasrah] seperti lafazh marwāna, kirmāna, ‘utsmāna.
فَهذِهِ إِنْ قُصِدَ بِهَا التَّعْرِيْفُ
بِالْعَلَمِيَّةِ لَمْ تَنْصَرِفْ لِوُجُوْدِ الْعِلَّتَيْنِ كَمَرَرْتُ
بِمَرْوَانَ،
Maka
kalimat-kalimat ini jika dimaksud dengannya membuat isim ma‘rifat dengan sebab
‘alamiyah [nama bagi seseorang tertentu], maka kalimat tersebut tidak boleh
di-tanwin-kan, karena adanya dua ‘illat [alasan], seperti kalimat: “Marartu bi
Marwāna [Aku melewati Marwān].”
وَ إِنْ قُصِدَ بِهَا التَّنْكِيْرُ صُرِفَتْ
لِزَوَالِ الْعَلَمِيَّةِ تَقُوْلُ: رُبَّ مَرْوَانٍ لَقَيْتُهُ بِالْجَرِّ وَ
التَّنْوِيْنِ،
Dan
jika dimaksudkan dengannya membuat isim nakirah [umum], maka kalimat tersebut
di-tawīn-kan karena hilangnya alasan sebagai isim ‘alam. Engkau dapat berkata:
“Rubba marwānin laqaituhu [Seringkali Marwān, aku berjumpa dengannya]”,
[kalimat marwānin] dengan dibaca jarr dan ber-tanwīn.”
قَالَ عُثْمَانُ فِيْ تُحْفَةُ الْحَبِيْبِ: وَ
إِنَّمَا سُمِّيَ هذَا الشَّهْرُ بِهذَا الْاِسْمِ لِأَنَّهُ مَأْخُوْذٌ مِنَ
الرَّمَضِ وَ هُوَ الْإِحْرَاقُ لِرَمْضِ الذُّنُوْبِ فِيْهِ أَيْ إِحْرَاقِهَا.
Telah
berkata Syaikh ‘Utsmān di dalam kitab Tuḥfat-ul-Ḥabīb:
“Sesungguhnya bulan ini dinamai dengan nama Ramadhān, karena sesungguhnya nama
tersebut diambil dari kata ar-Ramadh [penghangusan], yaitu pembakaran, karena
ditangugkannya dosa-dosa di bulan itu”, yakni dibakarnya dosa-dosa.
قَالَ أَحْمَدُ الْمُقْرِيِ فِي الْمِصْبَاحِ: وَ
رَمَضَانُ اسْمُ الشَّهْرِ قِيْلَ سُمِّيَ بِذلِكَ لِأَنَّ وَضْعَهُ وَافِقٌ
الرَّمْضَ وَ هُوَ شِدَّةُ الْحَرِّ وَ جَمْعُهُ رَمَضَانَاتٌ وَ أَرْمِضَاءُ.
Telah
berkata Syaikh Aḥmad
al-Muqrī di dalam kitab Al-Mishbāḥ: “Ramadhān adalah nama bulan,
dikatakan [oleh satu pendapat]: “Dinamakan bulan Ramadhān dengan nama tersebut,
karena sesungguhnya terletak bulan tersebut bertepatan dengan keadaan terik
panas, yaitu sangat panas”. Dan kalimat jama‘ ramadhān adalah ramadhānāt dan
armidhā’u.”
(تَبْصِرَةٌ) قَالَ أَحْمَدُ الْفَشَنِيُّ:
وَ قَدْ قِيْلَ الصَّوْمُ عُمُوْمٌ وَ خُصُوْصٌ وَ خُصُوْصُ الْخُصُوْصِ؛
(Renungan).
Telah berkata Syaikh Aḥmad al-Fasyanī: “Dan sungguh
telah dikatakan puasa itu ada puasa orang umum, puasa orang khusus dan puasa
orang teramat khusus.
فَالْعُمُوْمُ كَفُّ الْبَطْنِ وَ الْفَرْجِ عَنْ
قَضَاءِ الشَّهْوَةِ
Adapun
puasa orang umum adalah mengekang perut dan kelamin dari [penunaian] kehendak
nafsu syahwat.
وَالْخُصُوْصُ هُوَ كَفُّ السَّمْعِ وَ الْبَصَرِ وَ
اللِّسَانِ وَ الْيَدِ وَ الرِّجْلِ وَ سَائِرِ الْجَوَارِحِ عَنِ الْآثَامِ
Dan
puasa orang khusus adalah mengekang pendengaran, penglihatan, lidah, tangan,
kaki dan seluruh anggota dari berbagai perbuatan berdosa.
وَخُصُوْصُ الْخُصُوْصِ صَرْفُ الْقَلْبِ عَنِ
الْهِمَمِ الدِّنِيَّةِ وَ كَفُّهُ عَمَّا سِوَى اللهِ بِالْكُلِّيَّةِ.
Dan
puasa orang teramat khusus adalah memalingkan hati dari berbagai keinginan yang
rendah dan menjauhkan hati dari segala sesuatu selain Allah, secara total.”
(وَ) خَامِسُهَا (حِجُّ الْبَيْتِ) أَيْ
قَصْدُهُ لِلْحَجِّ أَوِ الْعُمْرَةِ (مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيْلًا)
(Dan)
rukun Islam yang kelima adalah (berhaji ke Baitullāh) yakni menuju Baitullāh
untuk melaksanakan haji atau umroh (oleh orang yang telah mampu melakukan
perjalanan menuju ke Baitullāh).
وَ هُوَ مِنَ الشَّرَائِعِ الْقَدِيْمَةِ بَلْ مَا
مِنْ نَبِيٍّ إِلَّا وَ حَجَّ
Dan,
haji termasuk di antara syariat-syariat yang terdahulu, bahkan tidak ada di
antara para Nabi, melainkan pasti sudah pernah beribadah haji.
خِلَافًا لِمَنِ اسْتَثْنَى هُوْدًا وَ صَالِحًا.
Berbeda
halnya pendapat ulama yang mengecualikan Nabi Hūd dan Nabi Shāliḥ.
(KS-461).
وَ رُوِيَ أَنَّ آدَمَ حَجَّ أَرْبَعِيْنَ سَنَةً
مِنَ الْهِنْدِ مَاشِيًا،
Dan
diriwayatkan bahwa Nabi Ādam berhaji selama 40 tahun, dari India, dengan
berjalan kaki. (KS-472).
وَ عِيْسَى يَحْتَمِلُ أَنَّهُ حَجَّ قَبْلَ رَفْعِهِ
إِلَى السَّمَاءِ أَوْ أَنَّهُ يَحُجَّ حِيْنَ يَنْزِلُ الْأَرْضَ،
Sedangkan
Nabi ‘Īsā dimungkinkan [dua hal], yaitu bahwasanya beliau berhaji sebelum
diangkatnya beliau ke langit, atau beliau akan berhaji ketika beliau turun
kembali ke bumi.
وَ فِي الْخَبَرِ: مَنْ قَضَى نُسُكَهُ وَ سَلِمَ
النَّاسُ مِنْ يَدِهِ وَ لِسَانِهِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَ
مَا تَأَخَّرَ. وَ إِنْفَاقُ الدِّرْهَمِ الْوَاحِدِ فِيْ ذلِكَ يُعْدِلُ أَلْفَ
أَلْفٍ فِيْمَا سِوَاهُ، رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ.
Dan
di dalam hadits [disebutkan] (KS-483): “Siapa saja yang menunaikan ibadah
hajinya, dan manusia selamat dari tangannya dan lidahnya, maka niscaya diampuni
baginya segala sesuatu yang terdahulu dari dosanya, dan segala sesuatu yang
akan datang [dari dosa-dosanya]. Dan ber-infak satu dirham dalam menjalankan
haji adalah membandingi sejuta ganjaran di waktu selain haji.” Hadits riwayat
Imām at-Tirmidzī.
وَ وَرَدَ فِي الْخَبَرِ: أَنَّ الْبَيْتَ الْحَرَامِ
يَحُجُّهُ كُلَّ عَامٍ سَبْعُوْنَ أَلْفًا مِنَ الْبَشَرِ
Dan
disebutkan di dalam hadits (KS-494): “Sesungguhnya Baitullāh al-Ḥarām, akan
berhaji ke sana setiap tahun sebanyak 70,000 manusia.
فَإِذَا نَقَصُوْا عَنْ ذلِكَ أَتَمَّهُمُ اللهُ
عَزَّ وَ جَلَّ مِنَ الْمَلَائِكَةِ،
Lalu
apabila para manusia kurang dari jumlah itu, maka Allah ‘azza wa jalla
menyempurnakan mereka, dengan para malaikat.
وَ إِذَا زَادُوْا عَلَى ذلِكَ يَفْعَلُ اللهُ مَا
يُرِيْدُ، وَ أَنَّ الْبَيْتَ الْمَعْمُوْرَ فِي السَّمَاءِ الرَّابِعَةِ تَحُجُّ
إِلَيْهِ الْمَلَائِكَةُ كَمَا تَحُجُّ الْبَشَرُ إِلَى الْبَيْتِ الْحَرَامِ.
Dan
apabila terlebih para manusia dari jumlah tersebut, maka Allah Maha berbuat
apapun yang Dia kehendaki. dan sesungguhnya para malaikat berhaji ke
Bait-al-Ma’mur yang ada pada langit ke empat sebagaimana manusia berhaji ke
Bait-ul- Haram.“
[نُكْتَةٌ] حُكِيَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ
الْمُنْكَدِرِ أَنَّهُ حَجَّ ثَلَاثًا وَ ثَلَاثِيْنَ حَجَّةً
(Masalah
Lembut) Diceritakan dari Syaikh Muḥammad bin al-Munkadir [wafat 131
H.] bahwasanya beliau berhaji sebanyak 33 kali haji.
فَلَمَّا كَانَ آخِرَ حَجَّةٍ حَجَّهَا قَالَ وَ هُوَ
بِعَرَفَاتٍ: اَللَّهُمَّ إِنَّكَ تَعْلَمُ أَنِّيْ وَقَفْتُ فِيْ مَوْقِفِيْ هذَا
ثَلَاثًا وَ ثَلَاثِيْنَ وَقْفَةً فَوَاحِدَةٌ عَنْ فَرْضِيْ وَ الثَّانِيَةُ عَنْ
أَبِيْ وَ الثَّالِثَةُ عَنْ أُمِّيْ
Lalu
tatkala beliau berada di akhir haji yang dilaksanakannya, beliau berkata di
saat beliau di ‘Arafah: “Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku
telah wuqūf di tempat wuqūf-ku ini sebanyak 33 kali. Maka satu kali wuqūf untuk
[menunaikan] kewajibanku, dan wuqūf yang kedua untuk bapakku, dan wuqūf yang
ketiga untuk ibuku.
وَ أَشْهَدُكَ يَا رَبِّ أَنِّيْ قَدْ وَهَبْتُ
الثَّلَاثِيْنَ لِمَنْ وَقَفَ مَوْقِفِيْ هذَا وَ لَمْ تَتَقَبَّلْ مِنْهُ
Dan
aku bersaksi kepada-Mu wahai Tuhanku, sesungguhnya aku meng-hibah-kan 30 kali
wuqūf-ku kepada siapa saja yang wuqūf di tempat wuqūf-ku ini, sedangkan Engkau
tidak menerima wuqūf orang itu.
فَلَمَّا دَفَعَ أَيْ رَحِلَ مِنْ عَرَفَاتٍ نُوْدِيَ
يَا ابْنَ الْمُنْكَدِرِ أَتَتَكَرَّمُ عَلَى مَنْ خَلَقَ الْكَرَمَ وَ الْجُوْدَ
وَ عِزَّتِيْ وَ جَلَالِيْ قَدْ غَفَرْتُ لِمَنْ يَقِفُ فِيْ عَرَفَاتٍ قَبْلَ
أَنْ أَخْلُقَ عَرَفَاتٍ بِأَلْفِ عَامٍ
Lalu
tatkala beliau bertolak yakni berangkat meninggalkan ‘Arafah, maka beliau
diseru: “Hai Ibn-ul-Munkadir, apakah engkau akan bersikap dermawan kepada Dzat
yang telah menciptakan kedermawanan dan kemurah-hatian. Demi kemuliaan-Ku dan
Keagungan-Ku, sungguh Aku telah memberi ampunan kepada siapa saja yang wuqūf di
‘Arafah sebelum Aku menciptakan ‘Arafah seribu tahun [sebelumnya].” (KS-505).
(تَوْضِيْحٌ) قَوْلُهُ حَجُّ بِفَتْحِ
الْحَاءِ وَ كَسْرِهَا وَ هُوَ مَصْدَرٌ مُضَافٌ لِمَفْعُوْلِهِ وَ مَنْ فَاعِلُهُ
وَ هُوَ اسْمُ مَوْصُوْلٍ مَبْنِيٌّ عَلَى السُّكُوْنِ فِيْ مَحَلِّ رَفْعٍ
(Keterangan
Tambahan). Ucapan pengarang [Syaikh Sālim bin Sumair]. “Ḥajju”
dengan di-fatḥah-kan
huruf ḥā’-nya,
dan dapat di-kasrah-kan huruf ḥā’-nya. Lafazh tersebut merupakan
mashdar yang di-idhāfah-kan kepada maf‘ūl-nya, dan kalimat man sebagai
fā‘il-nya, dan kalimat man adalah isim maushūl yang mabnī atau sukūn dalam
kedudukan rafa‘.
وَ التَّقْدِيْرُ وَ أَنْ يَحُجَّ الْبَيْتَ
الْمُسْتَطِيْعُ
Dan
perkiraan kalimatnya adalah wa ’an yaḥujja-al-Bait al-Mustathī‘u [Dan
mestilah berhaji ke Baitullāh orang yang mampu].
وَ مِثْلُ ذلِكَ مَا فِي الْحَدِيْثِ الَّذِيْ
رَوَاهُ الشَّيْخَانِ وَ هُوَ قَوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ، بُنِيَ
الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ إِلَى أَنْ قَالَ: وَ حِجُّ الْبَيْتَ كَمَا قَالَهُ
عَلِيٌّ الْأَشْمُوْنِيُّ فِيْ كِتَابِهِ الْمُلَقَّبِ بِمَنْهَجُ السَّالِكِ.
Dan
hal serupa dengan hal itu adalah kalimat yang terdapat di dalam hadits
(KS-51[^6]) yang telah diriwayatkan oleh asy-Syaikhān [Imām Bukhārī dan Imām
Muslim], yaitu sabda Nabi s.a.w.: “Islam didirikan atas lima perkara”, sampai
sabda “dan pergi haji ke Baitullāh”, sebagaimana Syaikh ‘Alī al-Asymūnī
mengatakannya di dalam kitab beliau, yang diberi nama dengan Manhaj-us-Sālik.
وَ أَمَّا حِجُّ الْبَيْتَ فِيْ قَوْلِهِ تَعَالَى:
{وَ للهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيْلًا}
((3) آل عمران:97)
Adapun
kalimat ḥijj-ul-Baiti
di dalam firman Allah ta‘ālā…. mengerjakan haji adalah kewajiban manusia
terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke
Baitullāh....” (Āli ‘Imrān [3]: 97).
فَلَا يُتَعَيَّنُ مَنْ لِلْفَاعِلِيَّةِ بَلْ
يُحْتَمَلُ كَوْنُهُ بَدَلًا مِنَ النَّاسِ بَدَلَ بَعْضٍ مِنْ كُلٍّ حُذِفَ
رَابِطُهُ لَفَهْمِهِ أَيْ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْهُمْ،
Maka
tidak dipastikan lafazh man sebagai fā‘il, akan tetapi dimungkinkan
keberadaannya sebagai badal [pengganti] dan lafazh an-Nās yaitu badal sebagian
dari keseluruhan, dibuang “lafazh penghubungnya” karena sudah dipahami,
perkiraan kalimatnya adalah man istathā‘a minhum [Siapa saja yang telah mampu
dari mereka].
وَ أَنْ يَكُوْنَ مُبْتَدَأً خَبَرُهُ مَحْذُوْفٌ
أَيْ فَعَلَيْهِ أَنْ يَحُجَّ، أَوْ شَرْطِيَّةً جَوَابُهَا مَحْذُوْفٌ أَيْ
فَلْيَحُجَّ كَمَا قَالَهُ مُحَمَّدٌ الصَّبَّانُ فِيْ حَاشِيَتِهِ.
Dan
[dimungkinkan] keadaannya sebagai mubtada’ yang khabar-nya dibuang, maksudnya
adalah fa ‘alaihi ’an yaḥujja [maka wajib baginya adalah
berhaji]”, atau sebagai syarath, yang jawab syarath-nya dibuang, perkiraan
kalimat-nya adalah fal-yaḥujja [maka hendaklah ia berhaji],
sebagaimana Syaikh Muḥammad ash-Shabbān telah
mengatakan hal itu di dalam kitab Ḥāsyiyah beliau.
وَ قَوْلُهُ إِلَيْهِ عَائِدٌ إِلَى الْبَيْتِ
مُتَعَلِّقٌ بِاسْتَطَاعَ
Dan
ucapan pengarang [Syaikh Sālim bin Sumair]: “ilaihi” sebagai ‘Ā’id [perkara
yang kembali] kepada lafazh al-Bait, yang berketerkaitan dengan lafazh
“istathā‘a”.
وَ سَبِيْلًا إِمَّا مَفْعُوْلٌ بِهِ لِاسْتَطَاعَ
أَوْ تَمْيِيْزٌ عَلَى مَا اسْتَحْسَنَهُ شَيْخُنَا عُمَرُ الْبَقَاعِيُّ وَ
عُمَرُ الْجَبْرَتِيُّ أَيْ مِنْ جِهَةِ السَّبِيْلِ.
Dan
lafazh “sabīlan” adakalanya menjadi maf‘ūl bih bagi kalimat istathā‘a atau
menjadi tamyīz, menurut pendapat yang telah dianggap baik oleh guru kami Syaikh
‘Umar al-Baqā‘ī, dan Syaikh ‘Umar al-Jabratī, yakni dari arah [segi] jalannya.
والله اعلم بالصواب